Hak atas akses internet

Hak atas akses internet, atau juga dikenal sebagai kebebasan untuk terhubung, adalah sebuah pandangan bahwa semua orang harus dapat mengakses internet supaya bisa mendapatkan dan menikmati hak kebebasan berbicara dan hak asasi manusia mereka. Pandangan ini secara tidak langsung menyatakan bahwa negara-negara di dunia memiliki kewajiban untuk menjamin ketersediaan akses internet warganya dan tidak membatasinya tanpa alasan yang jelas.

Sejarah

sunting
 
Peta internet 1024

Pada Desember 2003, pertemuan World Summit on the Information Society (WSIS) diselenggarakan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam pertemuan tersebut, terjadi perundingan antara pemerintah beberapa negara, pebisnis, dan perwakilan warga sipil yang menghasilkan sebuah deklarasi. Deklarasi tersebut memuat beberapa asas yang menegaskan kembali pentingnya masyarakat informasi untuk menjaga dan memperkuat penegakan hak asasi manusia:[1]

1. Kami, perwakilan masyarakat dunia, berhimpun di Jenewa pada 10–12 Desember 2003 untuk fase pertama World Summit on the Information Society, mendeklarasikan keinginan dan komitmen kami bersama untuk membangun Masyarakat Informasi yang berpusat pada manusia, inklusif, dan beriorientasi pembangunan, di mana semua orang dapat membentuk, mengakses, memanfaatkan, dan membagi informasi serta pengetahuan sehingga memungkinkan tiap individu, komunitas, dan masyarakat untuk dapat meraih potensi terbaiknya dalam meningkatkan perkembangkan dan kualitas hidup mereka secara berkelanjutan, sebagaimana yang didasarkan dalam asas dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menjunjung tinggi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

...

3. Kami menegaskan kembali prinsip universalitas, tidak terpisahkan, kebergantungan, dan keterikatan semua hak asasi manusia dan dasar kebebasan, termasuk hak atas pembangunan, sebagaimana yang diabadikan dalam Deklarasi Wina. Kami juga menegaskan kembali bahwa demokrasi, perkembangan berkelanjutan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan dasar kebebasan, serta pemerintahan di semua tingkat [adalah kesatuan] yang saling bergantung dan memperkuat satu sama lain. Kami juga secara lebih lanjut memperkuat hukum hubungan internasional dan nasional.

Deklarasi Asas WSIS menjelaskan referensi spesifik mengenai pentingnya hak kebebasan berekspresi dalam "Masyarakat Informasi" sebagai berikut:

4. Kami menegaskan kembali, sebagai dasar penting dari Masyarakat Informasi, dan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, bahwa semua orang memiliki hak dalam mengutarakan pendapat dan ekspresinya; hak ini termasuk kebebasan untuk mempertahankan opini tanpa interferensi serta mencari, menerima, dan memberikan informasi dan ide melalui media apapun tanpa memperhatikan batas. Komunikasi merupakan dasar proses sosial, kebutuhan dasar manusia, dan dasar semua organisasi sosial. Hal ini merupakan pusat Masyarakat Informasi. Semua orang di manapun harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dan tidak seorangpun dapat dikecualikan dari manfaat Masyarakat Informasi.

2009–2010: pemungutan suara BBC World Service

sunting

Sebuah pemungutan suara yang dilakukan oleh 27.973 orang dewasa di 26 negara, termasuk 14.306 pengguna internet[a] yang dilakukan oleh BBC World Service antara 30 November 2009 dan 7 Februari 2010 menemukan bahwa hampir 80% pengguna dan nonpengguna internet di dunia menganggap bahwa akses internet merupakan salah satu hak dasar manusia.[2] Sebanyak 50% suara menyatakan sangat setuju, 29% setuju, 9% tidak setuju, 6% sangat tidak setuju, dan 6% sisanya tidak memberikan pendapat apapun dalam pemungutan suara tersebut.[3]

2011: laporan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa

sunting

Pada Mei 2011, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk peningkatan dan perlindungan hak kebebasan berbicara, Frank La Rue, menyerahkan laporan ke Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Laporan tersebut memuat 88 rekomendasi untuk meningkatkan dan melindungi hak kebebasan berbicara di internet, beberapa di antaranya merupakan rekomendasi untuk memberikan akses internet yang aman untuk semua orang. Beberapa rekomendasi juga menyarankan negara-negara untuk menghargai anonimitas daring, menjalankan hukum terkait privasi dan perlindungan data, serta melakukan dekriminalisasi pencelaan.[4]

2012: survei pengguna internet global oleh Internet Society

sunting

Pada Juli dan Agustus 2012, Internet Society melakukan wawancara daring kepada lebih dari 10.000 pengguna internet di 20 negara. Wawancara tersebut mempertanyakan pendapat partisipan terhadap pernyataan "Akses internet harus dianggap sebagai hak dasar manusia": Hasil wawancara tersebut adalah sebagai berikut:[5]

  • 83% merespons bahwa mereka setuju atau sangat setuju
  • 14% menganggap tidak setuju dan tidak setuju
  • 3% tidak tahu.

2016: Resolusi PBB

sunting

Pada musim panas tahun 2016, Komite Hak Asasi Manusia PBB merilis resolusi tidak terikat yang mengecam gangguan disengaja terhadap akses internet oleh pemerintah.[6] Resolusi tersebut menegaskan kembali bahwa "hak yang dimilki manusia di dunia nyata juga harus ditegakkan di dunia daring."[6]

Jaminan atas ketersediaan akses internet yang terhindar dari pembatasan tak beralasan

sunting

Beberapa negara telah mengadopsi hukum yang mengatur jaminan pemerintah atas akses internet yang dapat dijangkau secara luas dan mencegah pemerintah melakukan pembatasan tak beralasan atas akses tiap individu kepada informasi di internet:

  • Kosta Rika: Keputusan hakim Mahkamah Agung Kosta Rika pada 30 Juli 2010 menyatakan: "Tanpa kekhawatiran apapun, dapat dinyatakan bahwa teknologi seperti ini [teknologi informasi dan komunikasi] telah mempengaruhi cara manusia dalam berkomunikasi serta memfasilitassi hubungan antar manusia dan institusi di seluruh dunia tanpa batasan ruang dan waktu. Saat ini, akses terhadap teknologi seperti ini telah menjadi alat utama dalam memfasilitasi hak dasar dan partisipasi demokrasi (e-democracy), pengendalian warga negara, pendidikan, kebebasan berpikir dan berekspresi, akses informasi dan layanan publik secara daring, hak untuk berkomunikasi dengan pemerintah secara elektrik dan mendapatkan transparasi administratif, dan sebagainya. Hal ini merupakan alasan bahwa akses terhadap teknologi seperti ini, terutama internet dan World Wide Web, merupakan bagian dari hak dasar."[7]
  • Estonia: Pada tahun 2000, parlemen negara ini meluncurkan program besar-besaran untuk memperluas akses internet ke daerah-daerah pedalaman. Menurut pemerintah Estonia, internet sangat penting untuk kehidupan di abad ke-21.[8]
  • Finlandia: Per Juli 2010, setiap orang di Finlandia memiliki hak untuk mendapatkan akses internet pita lebar dengan kecepatan 1 Mbps.[9]
  • Prancis: Pada Juni 2009, Dewan Konstitusional Prancis, memutuskan bahwa akses internet merupakan hak dasar manusia. Keputusan tersebut sempat bersinggungan dengan hukum HADOPI yang bertujuan melacak dan memutus akses internet kepada pengguna yang mengunduh konten pelanggar hak cipta[10]
  • Yunani: Pasal 5A dalam Konstitusi Yunani menyatakan bahwa semua orang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam Masyarakat Informasi dan negara wajib memfasilitasi produksi, pertukaran, penyebaran, dan akses informasi secara elektronik.[11]
  • India: Pada September 2019, Dewan Tinggi Kerala mulai menganggap bahwa hak untuk mendapatkan akses internet merupakan bagian dari hak atas pendidikan dan privasi di bawah Pasal 21 Konstitusi.[12]
  • Spanyol: Mulai 2011, perusahaan Telefónica milik negara wajib menyediakan layanan pita lebar berkecepatan minimal satu megabit per detik ke seluruh wilayah Spanyol dengan harga yang wajar.[13][14]

Hak terkait

sunting

Hak atas kebebasan berbicara

sunting

Hak atas akses internet sering dikaitkan dengan hak atas kebebasan berbicara dan berekspresi. Konten yang ada di internet dianggap sebagai hal yang harus dapat diakses oleh semua orang, tanpa atau dengan batasan seminimal mungkin. Pelanggaran atas hak ini dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia oleh beberapa pihak, terutama atas kebebasan berbicara.[4][15]

Internet dapat mengancam rezim pemerintahan yang berujung pada penyensoran dan pemblokiran akses internet saat masa krisis. Hal ini karena setiap orang dapat mempublikasikan apapun ke internet dan beberapa pihak dapat menandingi keterjangkauan informasi resmi dari pemerintah. Sebagai contoh, Tiongkok dan Iran merupakan dua dari beberapa negara yang menerapkan pemblokiran akses internet untuk mengatasi ancaman terhadap rezim pemerintahan.[16][17] Di sisi lain, negara seperti Amerika Serikat lebih fokus menggunakan penyensoran untuk mengamankan hak cipta dan data pribadi.[18]

Dalam sebuah laporan yang ditujukan ke Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE), Professor Yaman Akdenian menyatakan bahwa hak atas kebebasan berekspresi harus bersifat universal, termasuk teknologi pendukungnya. Pembatasan hak dan teknologi pendukungnya harus memenuhi norma internasional dan mendukung kepentingan umum. Selain itu, tindakan khusus juga perlu dilakukan untuk menjamin akses internet dan program literasi pada kelompok tertentu, seperti anak-anak.[19]

Hak atas pembangunan

sunting

Hak atas pembangunan merupakan hak generasi ketiga yang diakui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.[20] Peran internet dalam menegakkan hak ini telah menarik perhatian para ahli dan aktivis melalui berbagai macam cara. Meningkatnya akses terhadap teknologi seperti ponsel telah terbukti dapat membantu negara berkembang dalam meningkatkan perkembangan ekonomi. Meningkatkan akses internet dapat meningkatkan kualitas hidup tiap individu, contohnya internet dapat memberikan akses masyarakat berpendapatan rendah terhadap layanan finansial dan tabungan daring.[21]

Hak atas kebebasan berkumpul

sunting

Dahulu, hak atas kebebasan berkumpul mencakup pertemuan damai, seperti demonstrasi, di ruang publik secara langsung, seperti jalan raya, alun-alun, atau kantor pemerintahan. Namun seiring dengan berkembangnya internet, media sosial seperti Twitter dan Facebook dapat menjadi tempat dilakukannya protes atau demonstrasi, seperti yang terjadi saat kebangkitan dunia Arab tahun 2010-an.[22] Akses internet juga menjadi faktor penyebaran informasi dan penggerak massa demonstrasi dalam Gerakan Occupy.[23]

Implikasi dan persoalan

sunting

Penerapan

sunting
 
Tingkatan konektivitas akses internet

Penerapan hak atas akses internet dapat dilakukan dengan cara menyediakan koneksi minimum untuk tiap rumah di tiap negara.[24] Sebagai contoh, Finlandia menyediakan hak akses internet pita lebar dengan kecepatan 1 Mbps untuk setiap orang.[9] Selain itu, Panama telah menyediakan tempat yang menyediakan akses internet gratis bernama "infoplazas".[25]

Kritik terhadap hak asasi manusia atas akses internet

sunting

Beberapa kritik telah dilontarkan untuk menyanggah pandangan bahwa "internet merupakan salah satu aspek hak asasi manusia". Vint Cerf, tokoh yang sering kali disebut sebagai "bapak internet", mengklaim bahwa internet tidak dapat digolongkan sebagai hak tersendiri. Ia berargumen bahwa "teknologi merupakan alat dalam pemenuhan hak, bukanlah hak itu sendiri".[26]

Aturan tiga kali pelanggaran

sunting

Untuk merespons kasus pelanggaran hak cipta pada perangkat lunak peer-to-peer, industri kreatif memperkenalkan sebuah peraturan yang memungkinkan diputusnya akses konsumen dari layanan mereka setelah beberapa kali melanggar hak cipta. Industri tersebut berupaya mendapatkan alamat IP pelanggar hak cipta dari penyedia jasa internet untuk ditindaklanjuti.[27] Saat ini, penerapan paling populer dari usulan peraturan ini adalah dengan memutus akses internet dari konsumen yang telah tiga kali mendapatkan peringatan, atau dikenal sebagai three strike.[28]

Lihat pula

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ Pengguna internet yang dimaksud dalam pemungutan suara ini merupakan orang yang menggunakan internet dalam kurun waktu enam bulan sebelum pemungutan suara.

Referensi

sunting
  1. ^ "Declaration of Principles - Building the Information Society: a global challenge in the new Millennium". World Summit on the Information Society. 12 Desember 2003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-08. Diakses tanggal 23 November 2021. 
  2. ^ "Four in Five Regard Internet Access as a Fundamental Right: Global Poll" (PDF). BBC News. 8 Maret 2010. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2013-06-01. Diakses tanggal 16 November 2021. 
  3. ^ "Internet access is 'a fundamental right'". BBC News (dalam bahasa Inggris). 8 Maret 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-10-20. Diakses tanggal 16 November 2021. 
  4. ^ a b La Rue, Frank (16 Mei 2011). Report of the Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression, Frank La Rue (PDF). Komite Hak Asasi Manusia PBB. hlm. 4–22. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-04-02. Diakses tanggal 2021-11-16. 
  5. ^ Global Internet User Survey Summary Report (PDF). Internet Society. 20 November 2012. hlm. 4. Archived from the original on 2017-09-11. Diakses tanggal 23 November 2021. 
  6. ^ a b Vincent, James (4 Juli 2016). "UN condemns internet access disruption as a human rights violation". The Verge. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-07-04. Diakses tanggal 16 November 2021. 
  7. ^ "Judgement 12790 of the Supreme Court". Sala Constitucional Corte Suprema de Costa Rica (dalam bahasa Spanyol). 30 Juli 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 Desember 2015. Diakses tanggal 23 November 2021. 
  8. ^ Woodard, Colin (1 Juli 2003). "Estonia, where being wired is a human right". Christian Science Monitor. ISSN 0882-7729. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-05. Diakses tanggal 16 November 2021. 
  9. ^ a b Keating, Joshua (15 Oktober 2009). "Finland makes broadband access a legal right". Foreign Policy (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-31. Diakses tanggal 16 November 2021. 
  10. ^ "Top French Court Declares Internet Access 'Basic Human Right'". London Times. Fox News. 12 Juni 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-15. Diakses tanggal 23 November 2021. 
  11. ^ Mavrias, Kostas; Spiliotopoulos, Epaminondas, ed. (27 Mei 2008). The Constitution of Greece (PDF). Diterjemahkan oleh Paparrigopoulos, Xenophon; Vassilouni, Stavroula. Hellenic Parliament. hlm. 23. ISBN 960-560-073-0. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2019-12-11. Diakses tanggal 23 November 2021. 
  12. ^ "Access to Internet is a basic right, says Kerala High Court". The Hindu. 20 September 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-09. Diakses tanggal 23 November 2021. 
  13. ^ Morris, Sarah (17 November 2009). "Spain govt to guarantee legal right to broadband". Reuters. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-12-25. Diakses tanggal 23 November 2021. 
  14. ^ Martínez, David (18 November 2009). "Conexión de 1 Mbps, un derecho en 2011". Tecnologyc. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-04-21. Diakses tanggal 23 November 2021. 
  15. ^ Jørgensen, Rikke Frank (2019). "Internet and Freedom of expression" (PDF). European Master Degree in human Rights and Democratisation 2000-2001 Raoul Wallenberg Institute. International Federation of Library Associations and Institutions. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-02-06. Diakses tanggal 22 November 2021. 
  16. ^ Xu, Beina; Albert, Eleanor (17 Februari 2017). "Media Censorship in China". Council on Foreign Relations (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-26. Diakses tanggal 22 November 2021. 
  17. ^ Lee, Timothy B. (15 Agustus 2013). "Here's how Iran censors the Internet". Washington Post (dalam bahasa Inggris). ISSN 0190-8286. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-03. Diakses tanggal 22 November 2021. 
  18. ^ "Text of S. 968 (112th): Preventing Real Online Threats to Economic Creativity and Theft of Intellectual Property Act … (Reported by Senate Committee version)" (PDF). GovTrack.us (dalam bahasa Inggris). 26 Mei 2011. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-06-03. Diakses tanggal 22 November 2021. 
  19. ^ "Freedom of Expression on the Internet" (PDF). Organization for Security and Co-operation in Europe The Office of the Representative on Freedom of the Media (dalam bahasa Inggris). 15 Desember 2011. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-07-18. Diakses tanggal 22 November 2021. 
  20. ^ McHugh, Molly (9 Juni 2011). "UN declares Internet access a human right". Digital Trends (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-02. Diakses tanggal 17 November 2021. 
  21. ^ Greeley, Brendan; Ombok, Eric (8 September 2011). "In Kenya, Securing Cash on a Cell Phone". Bloomberg Businessweek. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-11. Diakses tanggal 17 November 2021. 
  22. ^ York, Jillian C. (20 April 2012). "Middle East memes: a guide | Jillian C York". The Guardian (dalam bahasa Inggris). ISSN 0261-3077. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-28. Diakses tanggal 17 November 2021. 
  23. ^ Adi, Ana (2015-11-01). "Occupy PR: An analysis of online media communications of Occupy Wall Street and Occupy London". Public Relations Review (dalam bahasa Inggris). 41 (4): 508–514. doi:10.1016/j.pubrev.2015.06.001. ISSN 0363-8111. 
  24. ^ Lebowitz, Celeste (2020). "Meaningful Connectivity — unlocking the full power of internet access". UNICEF Global Development Commons (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-28. Diakses tanggal 22 November 2021. 
  25. ^ Miller, Norma L. (2004). "Measuring the Contribution of Infoplazas to Internet Penetration and Use in Panama" (PDF). Information Technologies and International Development. 2 (2). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-11-22. Diakses tanggal 2021-11-22. 
  26. ^ Cerf, Vinton G. (5 Januari 2012). "Opinion | Internet Access Is Not a Human Right". The New York Times (Opini) (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-10. Diakses tanggal 22 November 2021. 
  27. ^ Klosek, Jacqueline; Gubins, Tamar (9 Oktober 2008). "United States: Combating Piracy And protecting privacy: A European Perspective". Mondaq. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-10-14. Diakses tanggal 23 November 2021. 
  28. ^ Anderson, Nate (19 Agustus 2008). "IFPI: "Three strikes" efforts hit worldwide home run". Ars Technica. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-08-23. Diakses tanggal 23 November 2021.