Penyensoran internet

Penyensoran internet adalah kontrol atau penekanan apa yang dapat diakses, diterbitkan, atau dilihat di Internet yang dilakukan oleh para regulator, atau atas inisiatif mereka sendiri. Para individual dan organisasi mengadakan penyensoran diri untuk alasan moral, agama atau bisnis, untuk menyelaraskan norma-norma masyarakat, karena intimidasi, atau kekhawatiran akan hukum atau konsekuensi lainnya.[1]

Kebijakan di Indonesia sunting

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai bahwa pembatasan konten di internet membutuhkan pengawasan dari lembaga independen. Hal ini dikarenakan lembaga tersebut dapat terbebas dari kepentingan politik maupun ekonomi ketika melakukan sensor terkait konten internet.[2] Selama ini, pembatasan konten di internet dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika. ELSAM di sinilah menilai bahwa hal tersebut membuat sensor yang dilakukan akan berpotensi terpengaruh oleh kepentingan politis.[3]

Dirjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, mengatakan bahwa alat pengendali internet di Indonesia menggunakan sistem crawling, bukan menggunakan sistem Deep Packet Inspection (DPI). Berdasarkan penuturannya, sistem tersebut berfungsi mengambil semua konten hasil pelaporan masyarakat melalui situs pengaduan di situs Trust Positif. Konten-konten itu dibuka dan dianalisa oleh mesin, sehingga lebih efektif dan efisien waktu. Semuel mengklaim jika mesin dengan sistem crawling tersebut dapat menumpas konten-konten negatif dengan sangat cepat dalam waktu singkat. Kendati begitu, dia tidak menjabarkan lebih lanjut persentase peningkatan kecepatan dari mekanisme manual ke mesin.[4]

Pengoperasian mesin sensor bersistem otomatis tersebut merujuk kepada UU Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya dasar hukumnya di Pasal 2 dan Pasal 40 ayat (2). Selama ini, Kemenkominfo telah mengintensifkan upaya untuk memerangi konten negatif seperti berita bohong (hoax), ucapan kebencian (hate speech), intimidasi dunia maya (cyberbullying), pornografi, penipuan, dan radikalisme di dunia maya secara manual. Melalui mesin itu, upaya penapisan konten negatif cukup dengan memasukkan kata kunci. Mesin tersebut kemudian dengan sendirinya dapat menganalisis situs-situs konten-konten negatif, dan selanjutnya pemblokiran akan dengan cepat dapat dilakukan apabila diperlukan.[5][6]

Referensi sunting

  1. ^ Schmidt, Eric E.; Cohen, Jared (11 March 2014). "The Future of Internet Freedom". New York Times. Diakses tanggal 11 March 2014. 
  2. ^ Achmad, Ady TD. "Pendekatan Co-Regulation Layak Diterapkan untuk Tata Kelola Internet". hukumonline.com (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2021-12-01. 
  3. ^ Santhika, Eka (28 November 2017). "Pengamat: Sensor Internet Perlu Badan Independen". CNN Indonesia. Diakses tanggal 1 Desember 2021. 
  4. ^ Bohang, Fatimah Kartini (9 Oktober 2017). "Kominfo Tegaskan Mesin Sensor Internet di Indonesia Bukan Mesin Sadap". Kompas. Diakses tanggal 1 Desember 2021. 
  5. ^ KOMINFO, PDSI. "Sensor Konten Negatif". Website Resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-01. 
  6. ^ KOMINFO, PDSI. "Sensor Internet Jadi Cara Baru Kemenkominfo Perangi Konten Negatif". Website Resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-01. 

Pranala luar sunting