Mandar gendang

spesies burung
(Dialihkan dari Habroptila wallacii)
Mandar gendang
Dewasa oleh Joseph Wolf, 1859
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Habroptila

G R Gray, 1861
Spesies:
H. wallacii
Nama binomial
Habroptila wallacii
Gray, 1860
       Catatan terbaru
       Catatan pra-1950
       Kota Kao
Inset menunjukkan lokasi dari Halmahera di Indonesia
Artikel ini tersedia dalam versi lisan
Dengarkan versi lisan dari artikel ini
(3 bagian, 24 menit)



Ikon Wikipedia Lisan
Berkas-berkas suara berikut dibuat berdasarkan revisi dari artikel ini per tanggal 14 Oktober 2022 (2022-10-14), sehingga isinya tidak mengacu pada revisi terkini.

Mandar gendang (bahasa Latin: Habroptila wallacii, bahasa Inggris: invisible rail, Wallace's rail, drummer rail) adalah satu spesies burung Rallidae besar yang tidak terbang, yang merupakan hewan endemik di pulau Halmahera, Maluku Utara, Indonesia. Spesies ini mendiami rawa-rawa lebat pepohonan sagu yang berdekatan dengan hutan. Bulunya didominasi warna abu-abu gelap, dengan kulit terbuka di sekitar matanya. Paruhnya yang panjang dan tebal serta seluruh kakinya berwarna merah cerah. Suaranya seperti tabuhan gendang yang perlahan, yang diiringi kepakan sayapnya. Karena sulit mengamati burung pemalu ini di habitatnya yang padat, maka informasi mengenai perilakunya juga terbatas.

Burung ini tercatat memakan tunas sagu dan serangga, serta menelan kerikil kecil untuk membantu pencernaan makanannya. Ia kelihatannya bersifat monogami, namun tidak banyak informasi mengenai perilaku masa kawinnya. Satu-satunya rupa sarang yang diketahui berbentuk mangkuk dangkal di atas tunggul pohon lapuk, yang dilapisi serpihan kayu dan daun kering. Dua ekor anak mandar gendang seluruhnya terselubung bulu bawah (down feather) berwarna hitam, khas keluarga burung Rallidae yang baru menetas.

Populasinya diperkirakan antara 3.500-15.000 ekor, dan area penyebarannya yang terbatas membuatnya digolongkan sebagai "rentan" oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN). Telah terjadi pengurangan habitat akibat pemanenan sagu dan pengalihan lahan basah menjadi persawahan, dan burung ini juga dimakan oleh penduduk setempat. Sarang yang digambarkan sebelumnya berada di daerah yang sering dikunjungi masyarakat setempat, sehingga mungkin saja burung ini telah lebih beradaptasi pada perubahan habitatnya dibandingkan perkiraan sebelumnya.

Taksonomi

Keluarga burung Rallidae berjumlah besar dan tersebar sangat luas, hampir mencapai 150 spesies. Ukuran tubuhnya kecil hingga sedang, hidup di daratan atau lahan basah, dan sering kali tubuh pendek mereka berbentuk pipih ke samping, sehingga mudah melintasi vegetasi lebat. Spesies-spesies yang tinggal pulau segera kehilangan kemampuan terbangnya; dari 53 takson di pulau yang masih ada atau baru saja punah, 32 di antaranya telah kehilangan kemampuan terbang.[2]

Mandar gendang, yang pertama kali diklasifikasikan oleh ahli zoologi Inggris George Robert Gray pada tahun 1860, adalah satu-satunya yang termasuk genus monotipik Habroptila.[1] Nama genus Habroptila berasal dari kata Yunani habros (lembut, cantik, indah) dan ptilon (bulu, sayap);[3] wallacii berasal dari nama ahli zoologi Britania Alfred Russel Wallace.[4] Nama lokalnya meliputi "soisa", "tibiales" dan "rèie".[5]

Burung ini juga ada kaitannya dengan mandar kasuari (Megacrex inepta) dan mandar bakau (Eulabeornis castaneoventris), di mana ketiga genus Australasia tersebut kemungkinan berasal dari leluhur Amaurornis.[1][6] Storrs Olson berpendapat bahwa genus Megacrex sangatlah mirip dengan Habroptila sehingga Megacrex seharusnya dianggap sebagai padanan baru dari Habroptila, yang mengakibatkan adanya dua spesies dalam genus tersebut.[7] Selanjutnya Sidney Dillon Ripley menyamakan keduanya dalam monografnya tentang Rallidae tahun 1977; ia memasukkan Habroptila dalam genus besar Rallus. Usulan ini, bagaimanapun, tidak diterima oleh Gerlof Fokko Mees, yang menunjukkan perbedaan-perbedaan tersendiri dalam bentuk dan struktur paruh.[8] Suatu analisis filogenetik molekuler berdasarkan kesamaan urutan DNA mitokondria menemukan bahwa Habroptila merupakan bagian dari radiasi evolusioner dalam genus Gallirallus yang lebih luas, yang terjadi sekitar 400.000 tahun yang lalu di wilayah tersebut.[9]

Deskripsi

 
Habroptila wallacii di perangko Indonesia tahun 2012

Mandar gendang adalah seekor burung besar yang tak dapat terbang dengan panjang 33 hingga 40 cm (13 hingga 16 in).[1] Burung dewasa memiliki tubuh yang utamanya berwarna abu-abu gelap, bulu cokelat gelap pada punggung bagian bawah, pantat dan sayap, serta ekor berwarna hitam. Bagian bawah tubuhnya sedikit lebih pucat warna abu-abunya dibanding punggungnya, kulit tak berbulu di sekitar mata, paruh yang panjang dan tebal, serta kaki-kaki yang kuat berwarna merah cerah.[10] Ia juga memiliki sebuah tulang kecil di lekukan sayapnya.[11] Mandar gendang dengan jenis kelamin yang berbeda identik dalam penampilannya; sementara bulu burung muda yang belum dewasa belum pernah terdeskripsikan.[10]

Mandar gendang secara sepintas mirip dengan mandar besar (Porphyrio porphyrio) yang baru-baru ini ditemukan di Halmahera, tetapi spesies tersebut lebih besar, memiliki paruh berwarna merah yang pendek dan tebal, dengan sebuah jengger merah; Porphyrio juga memiliki bagian bawah tubuh yang berwarna ungu, dan ekor bagian bawah berwarna putih.[10] Mandar gendang berbeda dengan mandar Calayan (Gallirallus calayanensis), di mana mandar gendang berukuran lebih besar dan tidak memiliki bulu-bulu pembatas seperti pada mandar Calayan; tidak ada saling tumpang tindih dalam rentang kedua spesies ini.[12]

Burung ini mengeluarkan suara seperti suara gendang yang pelan, disertai dengan bunyi tuk, tuk, tuk yang dibuat dengan sayapnya.[10] Sifat suaranya menciptakan sebuah legenda lokal, di mana suara itu —diceritakan— dibuat oleh burung tersebut dengan memukul-mukul dalam sebuah rongga pohon atau cabang dengan kaki-kakinya.[5] Gerd Heinrich mencatat nama lokal atau sebutan khas burung ini adalah "soisa", yang berarti gendang, dan menggambarkan suaranya sebagai sebuah gendang yang terkendali purre - purre - purre - purre - purre yang terkadang berakhir dengan suatu jeritan melengking yang nyaring. Mandar gendang juga menghasilkan suatu dengungan membosankan mirip dengan suara Sus scrofa vittatus (sebuah subspesies babi hutan), dan mengingatkan pada suara yang dihasilkan mandar dengkur (Aramidopsis plateni).[13] Suaranya paling sering terdengar pada dini hari atau malam hari, dan seseorang yang sedang mencacah batang sagu dengan sebilah parang mungkin akan mendapatkan respon dari burung tersebut.[10] Versi yang lebih tenang dari suaranya dapat terdengar pada sarangnya.[14] Orang yang mengira suara seperti jeritan nyaring berasal dari mandar gendang mungkin saja salah, karena suara seperti itu juga dihasilkan oleh Amaurornis moluccana (spesies burung yang juga termasuk familia Rallidae).[10]

Penyebaran dan habitat

 
Tanaman sagu

Mandar gendang mendiami rawa-rawa yang dipenuhi pohon sagu (rumbia) di Halmahera, terutama pada daerah rawa berlumpur yang berdekatan dengan hutan. Ada klaim yang menyatakan bahwa burung ini juga terdapat di rerumputan alang-alang, namun kerancuan tersebut diperkirakan merujuk pada spesies burung yang masih dalam satu keluarga (familia) —yaitu Amaurornis moluccana.[10][15] Seorang ahli ornitologi (ilmu yang mempelajari burung) Jerman Gerd Heinrich, yang mempersiapkan perjalanannya ke Halmahera dengan bergulir pada semak jelatang, menuliskan mengenai habitat rawa pohon sagu pada tahun 1930-an:[16]

Saya sangat yakin belum ada orang Eropa yang pernah melihat burung ini dalam keadaan hidup, sebab hal itu membutuhkan suatu tingkat ketangguhan dan hasrat pada diri seseorang yang mana tidak saya temukan dengan mudah pada orang-orang. Habroptila terlindung oleh duri-duri yang mengerikan dari rawa-rawa pohon sagu ... Dalam belantara duri ini, saya berjalan dengan bertelanjang kaki dan setengah bertelanjang badan selama berminggu-minggu.

Mandar gendang berhasil ditemukan dan diamati pada tahun 1950-2003 di suatu daerah terbatas di Kabupaten Halmahera Barat, pada pangkal semenanjung barat pulau Halmahera, namun sebelum tahun 1950 tercatat —bahkan— sampai ujung selatan pulau itu.[6] Catatan yang lebih baru menunjukkan bahwa burung ini masih terdapat pada area yang lebih luas secara signifikan, termasuk bagian timur laut pulau tersebut,[14] dan penduduk setempat mengklaim bahwa burung ini juga terdapat di rawa-rawa dekat Kao, di bagian barat laut.[6]

Perilaku

Habitat yang sulit dan sifat pemalu dari mandar gendang menyebabkan langkanya informasi perihal gaya hidupnya, dan hanya ada sedikit penampakannya yang telah dikonfirmasi.[17] Makanannya, menurut catatan, mencakup tunas tanaman sagu dan serangga. Burung ini juga makan di tunggul pohon sagu, walau tidaklah jelas apakah ia makan tanaman yang telah membusuk itu atau mencari yang lain untuk dimakan.[6] Mandar gendang menelan batu-batu kerikil kecil, sebagaimana juga semua burung dalam keluarga Rallidae, untuk membantu 'penggilingan' makanan yang dilakukan di organ ampela.[18]

Mandar gendang diperkirakan adalah burung yang monogami, tetapi sedikit yang diketahui tentang perilaku mereka dalam masa kawin sebelum bersarang. Laporan yang menyebutkan bahwa mandar gendang memiliki 4-5 anak berwarna belang (bergaris) telah lama dianggap tidak benar, karena bulu yang demikian tidaklah wajar untuk burung dalam keluarga Rallidae.[6] Dalam keluarga (familia) ini, anak-anak yang baru menetas biasanya relatif mandiri dan sudah dapat berjalan (prekosial), berbulu halus warna hitam, dengan beberapa hiasan sebatas pada kepalanya, tanpa bulu sama sekali, atau memiliki jambul.[19]

Persoalan terpecahkan pada bulan November 2010 ketika sebuah sarang ditemukan di atas suatu tunggul pohon yang telah membusuk, 1 meter di atas permukaan tanah dan 46 meter dari tepi hutan rawa kering di Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. Sarangnya sedalam 15 cm, dengan lapisan bawah yang mengandung serpihan kayu kecil di dasarnya dan selapis dedaunan kering. Kulit telurnya berwarna putih kecokelatan, ditandai dengan warna hitam dan cokelat gelap dalam berbagai ukuran berbeda. Kedua anaknya yang masih sangat muda ditutupi seluruhnya dengan bulu bawah (down feather) warna hitam. Paruhnya berwarna hitam dengan ujungnya berwarna putih, dan kaki-kakinya cokelat bergaris-garis hitam. Matanya memiliki selaput pelangi berwarna abu-abu dan pupil yang berwarna biru. Anakan Rallidae meninggalkan sarangnya segera setelah menetas, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka menjadi anak-anak hanya selama satu atau dua hari.[14]

Status

Spesies burung dengan penyebaran dalam area geografis yang terbatas sangat rentan terhadap aktivitas manusia, dan 8 dari 26 spesies burung yang hanya terdapat pada "Wilayah Burung Endemik Maluku Utara" berada dalam keadaan terancam, termasuk mandar gendang.[6] Hampir seperempat dari semua spesies burung Rallidae memiliki masalah konservasi, dan spesies pulau yang tak dapat terbang adalah yang utamanya berisiko, setidaknya 15 spesies telah punah sejak tahun 1600.[20] Populasi mandar gendang diperkirakan antara 3.500-15.000 burung,[17] sebarannya dalam area geografis yang terbatas dan populasinya yang kecil menandakan spesies ini diklasifikasikan sebagai spesies rentan menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN).[1] Walaupun spesies ini kurang begitu dikenal, mungkin saja populasinya lebih besar pada kenyataannya dibanding perkiraan.[6]

Berkurangnya habitat mandar gebang terjadi karena pemanenan sagu secara komersial,[6] atau pengalihan rawa-rawa yang menjadi habitatnya menjadi areal persawahan dan tambak ikan.[1] Mandar gendang juga menjadi bahan makanan yang disukai penduduk setempat, mereka menangkapnya menggunakan perangkap yang terbuat dari rangkaian kulit kayu dan memburunya dengan anjing.[10] Satu-satunya sarang mandar gendang, yang telah diamati, berada di daerah yang biasa digunakan penduduk setempat, dan burung tersebut mungkin saja saat ini lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan habitat dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya. Ada juga beberapa tanda-tanda keberadaan mandar gendang di wilayah timur laut Halmahera pada tahun 2008 dan 2011, memperluas daerah keberadaan burung ini yang telah teramati dalam beberapa tahun terakhir.[14]

Referensi

  1. ^ a b c d e f BirdLife International (2012). "Habroptila wallacii". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.2. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 26 November 2013. 
  2. ^ (Inggris) Hoyo, Josep del; Elliott, Andrew; Sargatal, Jordi; Christie, David A; de Juana, Eduardo (eds.) (2013). "Rails, Gallinules and Coots". Handbook of the Birds of the World Alive. Barcelona: Lynx Edicions. Diakses tanggal 13 April 2014.  (perlu berlangganan)
  3. ^ (Inggris)(Yunani) ἁβρός, πτίλον. Liddell, Henry George; Scott, Robert; A Greek–English Lexicon at the Perseus Project.
  4. ^ (Inggris) Jobling, James A (2010). The Helm Dictionary of Scientific Bird Names. London: Christopher Helm. hlm. 184, 406. ISBN 978-1-4081-2501-4. 
  5. ^ a b (Inggris) de Haan, G A L (1950). "Notes on the Invisible Flightless Rail of Halmahera (Habroptila wallacii Gray)". Amsterdam Naturalist. 1: 57–60. 
  6. ^ a b c d e f g h (Inggris) "Invisible Rail Habroptila wallacii" (PDF). Birdbase. Hokkaido Institute of Environmental Sciences. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-10-02. Diakses tanggal 17 June 2011. 
  7. ^ (Inggris) Olson, Storrs L (1973). "A classification of the Rallidae" (PDF). Wilson. 85 (4): 381–416. 
  8. ^ (Inggris) Mees, G F (1982). "Birds from the lowlands of southern New Guinea (Merauke and Koembe)". Zoologische Verhandelingen. 191: 1–188. 
  9. ^ (Inggris) Kirchman, Jeremy J (2012). "Speciation of Flightless Rails on Islands: A DNA-based phylogeny of the typical rails of the Pacific". The Auk. 129 (1): 56–69. doi:10.1525/auk.2011.11096. 
  10. ^ a b c d e f g h Taylor & van Berlo (1998) pp. 451–452.
  11. ^ (Inggris) Gray, George Robert (1860). "List of birds collected by Mr. Wallace at the Molucca Islands, with descriptions of new species, &c". Proceedings of the Zoological Society of London. 28: 365. 
  12. ^ (Inggris) Allen, Desmond; Oliveros, Carl; Española, Carmela; Broad, Genevieve; Gonzalez, Juan Carlos T (2004). "A new species of Gallirallus from Calayan island, Philippines" (PDF). Forktail: Journal of Asian Ornithology. 20: 1–7. Diakses tanggal 18 Juni 2011. 
  13. ^ (Inggris) Heinrich, Gerd (1956). "Biologische Aufzeichnungen über Vögel von Halmahera und Batjan". Journal für Ornithologie (dalam bahasa German). 97 (1): 31–40. doi:10.1007/BF01670833. 
  14. ^ a b c d (Inggris) Bashari, Hanom; van Balen, Bas (2011). "First breeding record of the Invisible Rail Habroptila wallacii". BirdingASIA. 15: 20–22. 
  15. ^ (Inggris) Flach, Michiel (1997). Sago palm: Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of underutilized and neglected crops (PDF). 13. Gatersleben, Germany/Rome: Institute of Plant Genetics and Crop Plant Research/International Plant Genetic Resources Institute. hlm. 21–23. ISBN 978-92-9043-314-9. [pranala nonaktif permanen]
  16. ^ (Inggris) Collar, Nigel J (2009). "Pioneer of Asian ornithology: Gerd Heinrich" (PDF). BirdingASIA. 11: 33–40. 
  17. ^ a b (Inggris) "Invisible Rail Habroptila wallacii". Species factsheet. BirdLife International. Diakses tanggal 16 Juni 2011. 
  18. ^ Taylor & van Berlo (1998) p. 39.
  19. ^ (Inggris) Krebs, Elizabeth A; Putland, David A (2004). "Chic chicks: the evolution of chick ornamentation in rails" (PDF). Behavioral Ecology. 15 (6): 946–951. doi:10.1093/beheco/arh078. 
  20. ^ Taylor & van Berlo (1998) pp. 56–61.

Sumber kutipan

  • (Inggris) Taylor, Barry; van Perlo, Ber (1998). Rails. Robertsbridge, East Sussex: Pica / Christopher Helm. ISBN 1-873403-59-3. 

Pranala luar