Gendhing gati (bahasa Jawa: ꦒꦼꦟ꧀ꦝꦶꦁꦒꦠꦶ, har. 'komposisi musik (untuk) berjalan/bergegas') adalah jenis gendhing (komposisi musik) gamelan Jawa yang berasal dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Gendhing gati merupakan perpaduan antara gamelan Jawa dengan tambahan alat-alat musik Eropa. Gendhing gati digunakan terutama dalam pertunjukan tari Srimpi dan Bedhaya, saat para penari akan memasuki maupun meninggalkan panggung pertunjukan (kapang-kapang). Gendhing gati juga dikenal sebagai gendhing mares (bahasa Jawa: ꦒꦼꦟ꧀ꦝꦶꦁꦩꦉꦱ꧀), yang secara etimologis berasal dari kata bahasa Belanda mars ("baris-berbaris").[1]

Penari srimpi

Sejarah

sunting

Akulturasi musik Nusantara dan Eropa telah muncul semenjak Portugis memperkenalkan tiga gaya musik Barat: musik gereja, musik sekuler, dan musik militer (drumben) ke Nusantara. Musik-musik sekuler dan militer dimainkan dari rumah ke rumah, hingga terus berkembang saat terbentuknya Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada tahun 1602. Pada masa itu, perkumpulan-perkumpulan musik Barat banyak terbentuk di kota-kota pesisir tempat masyarakat Eropa berdagang dan bermukim. Dalam naskah Babad Giyanti, yang mengisahkan tentang sejarah Kesultanan Mataram, dikisahkan bahwa saat pemindahan ibu kota Kesultanan dari Kartasura ke Surakarta pada tahun 1745, arak-arakan pasukan VOC dan bregada (prajurit keraton) sama-sama memberi penghormatan kepada Susuhunan yang bertakhta dengan tembakan salvo senapan dan meriam serta disusul dengan suara tambur, trompet, bende, serta gamelan monggang, kodhok ngorek, dan carabalen. Di luar istana-istana Jawa bagian tengah, terdapat juga ansambel musik Eropa yang telah berakulturasi, yakni tanjidor dari Batavia (Jakarta).[2]

Suara gamelan dan alat musik Eropa yang terdokumentasikan dalam Babad Giyanti saat itu masih berdiri sendiri-sendiri dan belum mencapai tahap sinkretis dan akulturasi.[3] Ketika Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mulai mengintervensi kekuasaan keraton-keraton Jawa dan menancapkan pengaruh kuatnya di Nusantara—terutama setelah meletusnya Perang Jawa 1825–1830, kalangan keraton Jawa mencoba untuk membentuk ulang sebuah saujana kebudayaan baru yang lebih tertata, serta menempatkan orang Belanda sebagai tamu yang harus dihormati dan bukan pelaku invasi. Artinya, kehadiran Eropa didomestikasi ke dalam khazanah budaya Jawa.[4]

Asal-usul gendhing mares tidak banyak didokumentasikan. Para abdi dalem penari dan pengrawit dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memandang bahwa gendhing tersebut terkait dengan gendhing sabrangan (terj. har.'dari luar wilayah atau negeri seberang'). Kata gendhing mares diyakini berasal dari masa Hamengkubuwana VII atau VIII, sementara ada juga yang mengatakan bahwa kaidah penciptaan pola gendhing mares telah dibuat semenjak masa Hamengkubuwana V. Bukti-bukti awal keberadaan gendhing mares adalah Serat Pakem Wirama yang ditulis tahun 1889, dengan mencatatkan total 13 gendhing mares beserta aturan penggunaannya; tanpa menjelaskan kapan gendhing-gendhing mares tersebut diciptakan.[5]

Pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, pemerintahannya melarang penggunaan bahasa Belanda, sehingga kata mares diusahakan untuk dicarikan bentuk ekuivalennya. Kata bahasa Jawa Kuno gati menjadi pengganti dari kata mares.[1]

Ciri-ciri

sunting

Gendhing gati memiliki jenis kendangan yang bersifat khusus, yaitu ladrang sabrangan dan menggunakan laras pelog. Laras pelog dipilih karena tangga nadanya sangat mendekati tangga nada diatonis Barat.[5] Gendhing gati awalnya memiliki kontribusi penggunaan alat musik Eropa yang terbatas, karena gamelan Jawa bertumpu pada struktur yang bersifat tetap (siklus gongan). Gendhing gati dibunyikan dengan irama tanggung, dalam permainan soran (keras), mengikuti tabuhan balungan saron. Akibatnya, hampir tidak ada upaya bagi alat musik Barat untuk mencoba berimprovisasi di dalam permainan gendhing gati.[6] Ketika gendhing gati sudah sampai ke bagian akhir, gendhing tersebut dapat diulang dari awal sesuai kebutuhan.[7]

Notasi gendhing-gendhing gati terdokumentasi dalam Serat Wiled Berdangga yang ditulis pada masa pemerintahan Hamengkubuwana VIII. Buku tersebut menggunakan notasi andha ("notasi tangga") yang dibuat seperti naik-turun tangga, dan belum diterjemahkan ke notasi Kepatihan. Dalam perkembangannya, keterlibatan alat musik barat semakin mendapat tempat untuk berimprovisasi dan dibuatkan notasinya sendiri mengikuti balungan gamelan yang ada. Hal ini terutama dilakukan setelah Keraton menciptakan gendhing gati baru, terkhususnya sejak awal dekade 2020-an ketika abdi dalem musikan (grup musik yang memainkan alat musik Eropa) diaktifkan kembali setelah vakum sejak sebelum masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda.[8]

Penggunaan

sunting

Penggunaan dalam tari Srimpi dan Bedhaya

sunting

Di awal kemunculannya, gendhing gati hanya digunakan dalam pertunjukan tari khusus perempuan, yakni Srimpi dan Bedhaya, untuk mengiringi pergerakan penari-penari baik menuju atau meninggalkan tempat pertunjukan. Pergerakan ini dikenal dengan istilah kapang-kapang. Pergerakan penari menuju tempat pertunjukan disebut kapang-kapang maju, sedangkan pergerakan meninggalkan tempat pertunjukan disebut kapang-kapang mundur. Dalam naskah Ngayogyakarta Pagelaran dijelaskan mengenai proses akulturasi musik Barat ke dalam gamelan, sebagai berikut:[9]

Bahkan pada masa Hamengkubuwana VIII, keberadaan gendhing gati ditingkatkan dengan menambah alat musik gesek biola. Hal ini terjadi karena pada masa pemerintahannya, muncul abdi dalem musikan yang bergabung dalam orkestra Kraton Orcest Djokja yang dipimpin oleh Walter Spies.[10]

Penggunaan di luar Srimpi dan Bedhaya

sunting

Di luar penggunaannya sebagai pengiring kapang-kapang, beberapa gendhing gati, terutama yang lebih tua, juga digunakan dalam acara-acara khusus. Misalnya, Gati Padhasih dan Gati Brangta yang digunakan pada upacara pernikahan, wisuda, dan penyambutan tamu agung di masyarakat.[11]

Pelestarian

sunting

Insiatif untuk mendokumentasikan gendhing gati, baik yang baru maupun yang sudah tua, telah dilakukan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Melalui Kawedanan Tandha Yekti dan Kridhamardawa, Keraton Ngayogyakarta mulai mencoba mendokumentasikan gendhing gati melalui rekaman, yang dirilis di YouTube, Spotify, dan iTunes Keraton.[12] Gendhing gati Keraton Ngayogyakarta dimuat dalam dua album, yaitu Gendhing Gati volume 1 dan 2.[11][7]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Sumarsam 2016, hlm. 99.
  2. ^ Sumarsam 2016, hlm. 100-102.
  3. ^ Sumarsam 2016, hlm. 103-104.
  4. ^ Sumarsam 2016, hlm. 108.
  5. ^ a b Sumarsam 2016, hlm. 104.
  6. ^ Sumarsam 2016, hlm. 106.
  7. ^ a b crew, kraton. "Gendhing Gati volume 2". kratonjogja.id. Diakses tanggal 2024-06-13. 
  8. ^ Divasetya et al. 2023, hlm. 101.
  9. ^ Kartahasmara 1990, hlm. 191.
  10. ^ Kartahasmara 1990, hlm. 193.
  11. ^ a b crew, kraton. "Gendhing Gati volume 1". kratonjogja.id. Diakses tanggal 2024-06-13. 
  12. ^ Divasetya et al. 2023, hlm. 96.

Daftar pustaka

sunting
  • Divasetya, A.; Fatmawati, A.; Ilmi, A.H.; Salsabila, A.H. (2023). "Praktik Dokumentasi Gendhing Gati oleh Keraton Yogyakarta". Jurnal Perpustakaan. 14 (2): 95–104. doi:10.20885/unilib.Vol14.iss2.art3. 
  • Kartahasmara, (1990). Ngayogyakarta Pagelaran. Diterjemahkan oleh Harianto, W. Yogyakarta: Mahadewa. 
  • Sumarsam (2016). "Soal-soal Masa Lampau dan Kini Seputar Hibriditas Musik Jawa-Eropa: Gendhing Mares dan Genre-Genre Hibrid Lain". Dalam Barendregt, Bart; Bogaerts, Els. Merenungkan Gema: Perjumpaan Musikal Indonesia-Belanda. Diterjemahkan oleh Simatupang, Landung. Jakarta: KITLV Jakarta dan Pustaka Obor. ISBN 9789794616352.