Gayatri (Rajapatni)

(Dialihkan dari Gayatri)

Dyah Gayatri atau Sri Rajapatni (lahir sekitar tahun 1275, meninggal tahun 1350) adalah putri bungsu raja Kertanagara dan salah satu istri dari Dyah Wijaya raja pertama Majapahit (1293-1309), merupakan nenek dari Hayam Wuruk.

Dyah Gayatri
Rajapatni Sri Rajendra Dyah Dewi Gayatri
Arca Prajnaparamita dari Prajñaparamitapuri, Boyolangu, Tulungagung.
Gayatri Rajapatni
Informasi pribadi
KelahiranSekitar 1275, Istana Singhasari,
Jawa Timur
Kematian1350
Istana Majapahit
Pemakaman
didharmakan di Prajñaparamitapuri, Kamal Pandak dan Wisesapura, Bayalangu, Kerajaan Majapahit
WangsaRajasa
AyahKertanagara
IbuSri Bajradewi
PasanganKertarajasa Jayawardhana
Anak
AgamaBuddha

Silsilah Gayatri sunting

Nagarakretagama menyebutkan Raden Wijaya menikahi empat orang putri Kertanagara, raja terakhir Singhasari, yaitu Tribhuwana bergelar Tribhuwaneswari, Mahadewi bergelar Narendraduhita, Jayendradewi bergelar Prajnyaparamita, dan Gayatri bergelar Rajapatni. Selain itu, ia juga memiliki seorang istri dari Melayu bernama Dara Petak bergelar Indreswari.[1]

Dari kelima orang istri tersebut, yang memberikan keturunan hanya Dara Petak dan Gayatri. Dari Dara Petak lahir Jayanagara, sedangkan dari Gayatri lahir Tribhuwanatunggadewi dan Rajadewi. Dari Tribhuwanatunggadewi inilah yang kemudian menurunkan raja-raja Majapahit selanjutnya.

Peranan Gayatri dalam Perjuangan sunting

Kitab Pararaton menyebutkan Raden Wijaya hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja. Pemberitaan tersebut terjadi sebelum Majapahit berdiri. Diperkirakan, mula-mula Raden Wijaya hanya menikahi Tribhuwaneswari dan Gayatri saja. Baru setelah Majapahit berdiri, ia menikahi Mahadewi dan Jayendradewi pula. Dalam Kidung Harsawijaya, Tribhuwana dan Gayatri masing-masing disebut dengan nama Puspawati dan Pusparasmi.

Pada saat Singasari runtuh akibat serangan Jayakatwang tahun 1292, Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan Tribhuwana saja, sedangkan Gayatri ditawan musuh di Kadiri. Setelah Raden Wijaya pura-pura menyerah pada Jayakatwang, baru ia bisa bertemu Gayatri kembali.

Pararaton menyebutkan, Raden Wijaya bersekutu dengan bangsa Tatar (Mongol) untuk dapat mengalahkan Jayakatwang. Konon raja Tatar bersedia membantu Majapahit karena Arya Wiraraja menawarkan Tribhuwana dan Gayatri sebagai hadiah.

Kisah tersebut hanyalah imajinasi pengarang Pararaton saja, karena tujuan utama pengiriman pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese ke tanah Jawa adalah untuk menaklukkan Kertanagara.

Setelah Jayakatwang kalah, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja ganti menghadapi pasukan Tatar. Dikisahkan dalam Pararaton bahwa, kedua putri siap untuk diserahkan dengan syarat tentara Tatar harus menyembunyikan senjata masing-masing, karena kedua putri tersebut ngeri melihat senjata dan darah. Maka, ketika pasukan Tatar, tanpa senjata, datang menjemput kedua putri, pasukan Raden Wijaya segera membantai mereka.

Gayatri Sepeninggal Jayanagara sunting

Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit sejak tahun 1293. Ia meninggal tahun 1309 dan digantikan putranya, yaitu Jayanagara. Pada tahun 1328 Jayanagara mati dibunuh Ra Tanca tanpa memiliki keturunan.

Menurut Nagarakretagama, sebagai sesepuh keluarga kerajaan yang masih hidup, Gayatri berhak atas tahta Majapahit. Akan tetapi Gayatri saat itu sudah mengundurkan diri dari kehidupan duniawi dengan menjadi Bhiksuni (pendeta Buddha). Ia lalu memerintahkan putrinya, Tribhuwanotunggadewi naik tahta mewakilinya pada tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang tidak punya keturunan.

Pada tahun 1350, Tribhuwanotunggadewi turun tahta bersamaan dengan meninggalnya Gayatri, walaupun ini diragukan kebenarannya karena menurut prasasti Singasari, Ratu Tribhuwana masih memerintah sampai tahun 1351. Karena pada tahun 1351 Tribhuwanotunggadewi masih menjadi Rajaputri, terbukti dengan ditemukannya prasasti Singasari. Nagarakretagama dan Pararaton juga memberitakan pada tahun 1362 Hayam Wuruk (raja keempat) mengadakan upacara Sraddha memperingati 12 tahun meninggalnya Gayatri Rajapatni.

Nagarakretagama memberitakan kalau takhta Jayanagara yang tidak mempunyai keturunan diwarisi Gayatri, yang kemungkinan saat itu istri-istri Raden Wijaya yang lain sudah meninggal semua dan garis keturunan yang masih tersisa adalah dari Gayatri. Mengingat Gayatri adalah putri bungsu Kertanegara dan salah satu istri Raden Wijaya. Tetapi karena Gayatri telah menjadi Bhiksuni, maka pemerintahannya pun diwakili oleh puterinya, Tribhuwanotunggadewi yang diangkat sebagai Rajaputri (Raja perempuan), sebutan untuk membedakan dengan istilah "Ratu" dalam bahasa Jawa yang berarti "Penguasa".

Tahun kelahiran dan usia Gayatri tidak diketahui secara pasti. Namun berdasarkan tahun wafatnya yang berselang 57 tahun dari berdirinya Majapahit, dipastikan ia meninggal dalam usia yang cukup tua. Raja Majapahit, Hayam Wuruk memerintahkan persiapan pembangunan candi pendharmaan untuk Rajapatni Dyah Gayatri di Bayalangu ditetapkan sebagai tempat pendarmaan itu. Tanahnya disucikan oleh pendita Sri Jinana Widhi.

1. Prajnyaparamitapuri itulah nama candi makam yang dibangun, Arca Sri Rajapatni diberkahi oleh Sang pendeta Jnyanawidi, Telah lanjut usia, paham akan tantra, menghimpun ilmu agama, Laksana titisan Mpu Barada, menggembirakan hati Baginda

2. Di Bayalangu akan dibangun pula candi makam Sri Rajapatni, Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkahi tanahnya, Rencananya telah disetujui oleh sang menteri demung Boja, Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna dibangun.

3. Candi makam Sri Rajapatni tersohor sebagai tempat keramat, Tiap bulan Badrapada disekar oleh para menteri dan pendeta, Di tiap daerah rakyat serentak membuat peringatan dan memuja, Itulah suarganya, berkat berputera, bercucu Narendra utama.

(Nagarakertagama, Pupuh 69)

Sebagaimana tercatat dalam kitab Nagarakertagama, pada tahun 1362 M berlangsung upacara Sraddha mengenang 12 tahun wafatnya Rajapatni Dyah Gayatri. Pada perayaan itu sekaligus dilangsungkan penempatan abu jenazah Rajapatni Dyah Gayatri dan arca perwujudan bernama Pradjnaparamita sebagai penghormatan kepada Rajapatni Dyah Gayatri.

Kepustakaan sunting

  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  1. ^ Her Story: Perempuan Nusantara di Tepi Sejarah. Elex Media Komputindo. 2020-01-01. ISBN 978-623-00-2063-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-29. Diakses tanggal 2021-04-17.