Gandari (Dewanagari: गांधारी; ,IASTGāndhārī, गांधारी) adalah nama seorang tokoh dalam wiracarita Hindu, Mahabharata. Ia merupakan putri Subala, Raja Gandhara (pada masa sekarang disebut Kandahar, yaitu wilayah yang meliputi Pakistan barat daya dan Afganistan timur), dan namanya secara harfiah berarti "perempuan [dari] Gandhara". Gandari menikahi Dretarastra, pangeran tertua di Kerajaan Kuru. Semenjak bersuami, Gandari sengaja menutup matanya sendiri agar tidak bisa menikmati keindahan dunia karena ingin mengikuti jejak suaminya.[1] Mahabharata mendeskripsikannya sebagai wanita cantik dan mulia, serta istri yang berbakti.

Gandari
गांधारी
Gandari
Tokoh Mahabharata
NamaGandari
Ejaan Dewanagariगांधारी
Ejaan IASTGāndhārī
Kitab referensiMahabharata
AsalKerajaan Gandhara
KediamanHastinapura, Kerajaan Kuru
Kastakesatria
DinastiKuru
AyahSubala
IbuSudarma
SuamiDretarastra
Anakseratus Korawa dan Dursala

Kehidupan awal dan pernikahan

sunting

Gandari merupakan putri Subala, Raja Gandhara. Saat gadis, Gandari masyhur akan kepribadiannya yang luhur dan lemah lembut. Gandari merupakan penitisan dari Dewi Mati.[2] Ia memiliki saudara bernama Sangkuni.

Menurut kitab Mahabharata, Gandari dijodohkan kepada Dretarastra, pangeran sulung dari Hastinapura, ibu kota Kerajaan Kuru, sebuah wilayah yang kini merupakan Delhi dan Haryana. Pernikahannya direncanakan oleh Bisma. Ketika ia mengetahui bahwa calon suaminya adalah orang yang buta, ia ikut menutup matanya sendiri agar merasakan kondisi yang sama dengan suaminya. Perasaannya saat menikahi orang buta tidak diuraikan dalam wiracarita. Dalam kisah populer dikatakan bahwa tindakan menutup mata sendiri merupakan pertanda dedikasi dan cinta. Sebaliknya, Irawati Karve dan beberapa cendekiawan mengulas bahwa tindakan menutup mata merupakan aksi protes kepada Bisma, yang telah mengintimidasi Raja Gandhara agar menikahkan putrinya kepada pangeran buta dari Hastinapura.[3]

Dalam kitab Mahabharata bagian Adiparwa bab Sambhawaparwa, dikisahkan bahwa saat masih gadis, Gandari membuat Dewa Siwa terkesan akan tapa brata yang dilakukannya, dan menerima anugerah berupa 100 orang anak. Namun alasan ia melakukan tapa brata, serta alasan meminta anugerah tersebut, tidak dijelaskan lebih rinci. Salah satu alasan Bisma memilih Gandari sebagai menantu pertama Dinasti Kuru adalah adanya anugerah tersebut, sehingga menghapus kerisauannya akan masalah ketiadaan penerus takhta kerajaan.[4]

Kitab Mahabharata menguraikan pernikahannya sebagai awal dari konflik utama cerita. Dikisahkan bahwa Sangkuni, adik Gandari merasa gusar karena pihak Hastinapura—setelah perang penaklukkan Gandhara yang menewaskan saudara-saudara Sangkuni—akhirnya menjodohkan putri negeri taklukannya dengan orang buta. Sangkuni pun bersumpah untuk menghancurkan Dinasti Kuru (keluarga raja Hastinapura), serta berperan sebagai provokator dalam konflik antara Korawa (para putra Dretarastra) dan Pandawa (para putra Pandu).[5][6]

Dretarastra ditangguhkan sebagai penerus takhta karena kebutaan yang dideritanya, meskipun merupakan putra sulung, sehingga penerus takhta jatuh kepada Pandu, adiknya. Setelah dikutuk oleh Resi Kindama, Pandu memakzulkan diri dan berkhalwat bersama dua istrinya. Setelah itu, Dretarastra menjabat sebagai penjabat takhta Hastinapura, sehingga Gandari menjadi permaisuri.[7]

Ibu para Korawa

sunting
 
Lukisan Gandari dan Kunti (kanan) karya Nandalal Bose (1919).

Dalam kitab Mahabharata disebutkan bahwa Gandari melahirkan seratus putra (secara keseluruhan dikenal sebagai Korawa) dan seorang putri bernama Dursala, yang kemudian menikahi Jayadrata, Raja Sindhu.

Sebelum memiliki putra, dikisahkan bahwa pada saat hamil, ia merasa iri dengan iparnya, Kunti yang sudah memiliki anak, sedangkan ia sendiri belum dikaruniai anak. Pada saat persalinan, yang keluar dari rahimnya bukan bayi, melainkan sebongkah daging. Gandari kemudian meminta bantuan kepada Byasa, seorang resi sakti (masih memiliki hubungan keluarga dengan Dinasti Kuru) yang telah meramalkan bahwa ia akan memiliki seratus anak. Lalu Byasa membelah-belah daging tersebut menjadi seratus potong, kemudian dimasukkan ke dalam guci dan dikubur selama setahun. Setelah guci-guci tersebut digali kembali, dari setiap potongan daging itu kemudian tumbuh seorang anak, yang kemudian menjadi Korawa.[8]

Di antara Korawa, yang terkemuka adalah Duryodana dan Dursasana, tokoh antagonis dalam Mahabharata; dalam kitab Bhismaparwa sampai Salyaparwa, dikisahkan bahwa mereka semua (kecuali Duryodana) terbunuh setelah melawan sepupu mereka di medan perang Kurukshetra, sedangkan Duryodana terbunuh di tangan Bima dalam sebuah duel yang mengakhiri perang.

Meskipun putra-putra Gandari disebut sebagai tokoh antagonis, ajaran moral dalam Mahabharata mengacu kepada Gandari. Ia berulang kali menasihati putranya agar mengkikuti darma dan berdamai dengan Pandawa. Gandari dekat dengan Kunti yang menghormatinya seperti seorang kakak ipar.

Anugerah Gandari

sunting

Suatu interpolasi kisah tradisional—tidak terdapat dalam naskah Mahabharata gubahan Byasa yang berbahasa Sanskerta—mengandung cerita bahwa Gandari pernah membuka penutup matanya, dan itu dilakukannya sekali saja demi melihat Duryodana.[9] Cerita tersebut berkaitan erat dengan perang Kurukshetra, sebuah klimaks dari wiracarita Mahabharata.

Dikisahkan bahwa pada saat perang berkecamuk di Kurukshetra, satu per satu putra Gandari gugur dalam pertempuran, tetapi Duryodana selaku putra sulung masih mampu bertahan. Karena tidak ingin kehilangan seluruh putranya, maka Gandari memberi anugerah kepada Duryodana agar putranya tersebut mendapat kekebalan terhadap berbagai serangan musuh. Ia menyuruh Duryodana mandi dan setelah itu datang menemui ibunya dalam keadaan telanjang. Pada saat Duryodana pergi untuk menemui ibunya, ia berpapasan dengan Kresna yang baru saja mengunjungi Gandari. Kresna mencemooh Duryodana yang tak tahu malu karena mau menghadap ibunya sendiri dalam keadaan telanjang. Oleh karena itu, Duryodana menutupi wilayah kemaluannya menggunakan daun, termasuk paha. Setelah itu ia pergi menemui ibunya.[10] Ketika Duryodana tiba, Gandari langsung membuka penutup matanya dan melihat Duryodana. Pada saat matanya terbuka, sinar ajaib muncul dan memberi kekuatan kepada Duryodana. Namun ketika ia mengetahui bahwa putranya menutupi wilayah kemaluannya termasuk paha, Gandari mengatakan bahwa wilayah tersebut tidak akan kebal oleh serangan musuh karena tidak mendapat siraman kekuatan. Meskipun bagian cerita ini tidak terkandung dalam naskah Mahabharata gubahan Byasa, tetapi cukup populer dalam adaptasi Mahabharata masa kini, contohnya dalam seri Mahabharata B.R. Chopra.[11]

Dalam Sauptikaparwa diceritakan bahwa menjelang perang berakhir, seluruh adik Duryodana telah gugur, kecuali Yuyutsu (adik seayah, beda ibu) dan Dursala (adik perempuan). Akhir perang ditentukan melalui duel antara Duryodana melawan Bima, dengan menggunakan senjata gada. Setelah pahanya yang tidak kebal dihantam oleh gada Bima, maka Duryodana roboh seketika. Ia mati secara perlahan dalam keadaan lumpuh dan berlumuran darah.[12]

Kutukan Gandari

sunting
 
Ratapan Gandari, suami, dan kerabatnya. Ilustrasi dalam Mahabharata oleh Romesh Chunder Dutt (1899).

Striparwa mengandung bagian cerita ratapan para janda dan ibu dari kesatria yang gugur. Dalam parwa tersebut dikisahkan bahwa setelah pertempuran besar di Kurukshetra berakhir, Gandari meratapi kematian seratus putra-putranya. Gandari menghujat Kresna yang membiarkan perang berkecamuk. Ia juga menyalahkan Kresna yang tidak mampu mencegah peperangan dan tidak bisa mendamaikan kedua pihak. Kresna berkata bahwa kewajibannya adalah melindungi kebenaran, bukan mencegah peperangan. Kemudian Gandari mengutuk Kresna, bahwa keluarga Kresna, yaitu bangsa Yadawa (klan Wresni dan Andaka) akan binasa karena saling membantai sesamanya. Kresna menerima kutukan tersebut dengan senyuman dan sadar bahwa orang Yadawa tidak akan terkalahkan kecuali oleh sesamanya.

Kisah kehancuran keluarga Kresna diceritakan dalam parwa Mahabharata ke-16, yaitu Mosalaparwa. Dalam parwa tersebut diceritakan bahwa 36 tahun setelah Gandari mengutuk Kresna, bangsa Yadawa (klan Wresni dan Andaka) melakukan pembantaian besar-besaran terhadap keluarga mereka sendiri di pantai Prabasa. Hanya Kresna, Baladewa, dan para wanita yang bertahan hidup. Setelah itu, kediaman orang Yadawa, yaitu Dwaraka, tenggelam ke dalam lautan dan memusnahkan jejak mereka. Kresna dan Baladewa bertapa ke dalam hutan dan moksa di sana, sementara para wanita mengungsi ke Kurukshetra.[13]

Kematian

sunting

Setelah Pandawa memenangkan pertempuran di Kurukshetra, Yudistira mendapat restu untuk menjadi raja.

Dalam kitab Asramawasikaparwa diceritakan bahwa Dretarastra mulai menyadari umurnya yang tua dan memutuskan untuk mengembara sebagai pertapa ke dalam hutan di Himalaya. Gandari pergi menemaninya, bersama dengan Widura, Kunti, dan Sanjaya. Di sana, Dretarastra menjalani ritual api suci yang dikelilingi oleh Kunti, Gandari, dan Sanjaya. Namun angin membuat kobaran api membesar, lalu membakar hutan tempat mereka tinggal. Gandari, Kunti, dan Dretarastra yang bertenaga lemah akhirnya meninggal ditelan api tersebut, sedangkan Sanjaya yang masih memiliki sisa tenaga mampu menyelamatkan diri.[14]

Silsilah

sunting
 
 
Pratipa
 
Sunanda
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Dewapi
 
Bahlika
 
Gangga
 
Santanu
 
 
 
 
Satyawati
 
 
 
 
 
Parasara
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Somadata
 
Bisma
 
Citrānggada
 
Wicitrawirya
 
2 istri
 
Byasa
 
 
 
pelayan
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2 putra
 
Burisrawa
 
Gandari
 
Dretarastra
 
pelayan
 
Kunti
 
Pandu
 
Madri
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
100 Korawa
 
Dursilawati
 
Yuyutsu
 
 
 
 
 
 
 
5 Pandawa
 
 
 
Widura


Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Ganguli, Kisari Mohan. The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa Translated into English Prose by Kisari Mohan Ganguli. N.p.: n.p., n.d. Web.
  2. ^ "Adi Parva Sambhava Parva : Section LXVII". Mahabharata Book 1. hlm. 139. 
  3. ^ Irawati Karve, Yuganta: The End of an Epoch, Chapter:3
  4. ^ Kisari Mohan Ganguli (1883–1896), "Shambava Parva. Section CX", The Mahabharata of Krishna Dvaipayana Vyasa, Book 1: Adi Parva, diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-03, diakses tanggal 2020-09-25 
  5. ^ "The Mahabharata, Book 1: Adi Parva: Sambhava Parva: Section CX". www.sacred-texts.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-03. Diakses tanggal 2020-09-01. 
  6. ^ varunthelannister (2019-05-17). "Why Shakuni Wanted To Destroy Hastinapur - Was It Love For His Sister or Something More?". Bonobology.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-05. Diakses tanggal 2020-09-01. 
  7. ^ Irawati Karve. Yuganta: The End of an Epoch. hlm. 29. 
  8. ^ The Mahabharata, Book : Adi Parva:Sambhava Parva : Section:CXV. Sacred-texts.com. 
  9. ^ "The Story of Gandhari". Archived from the original on 2020-11-17. Diakses tanggal 2020-11-18. 
  10. ^ "Gandhari, the Rebel". 29. Economic and Political Weekly: 1517-1519. 
  11. ^ Times Now Digital (12 Mei 2020), Why Gandhari removed her blindfold to see Duryodhana before his fight with Bhim on war's last day, Times Now News, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-09, diakses tanggal 17 November 2020 
  12. ^ "60-61". Mahabharata Book 9. Shalya Parva. 
  13. ^ Stri Parva The Mahabharata, Translated by Kisari Mohan Ganguli, Published by P.C. Roy (1889)
  14. ^ Kisari Mohan Ganguli (1883–1896), "Naradagamana-parva. Section XXXVII", The Mahabharata of Krishna Dvaipayana Vyasa, Book 15: Asramavasika Parva, Internet Sacred Text Archive, diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-02, diakses tanggal 2020-11-18