Elisabeth dari Hessen-Darmstadt
Putri Elisabeth dari Hessen und bei Rhein (Elisabeth Marie Alice Viktoria; 11 Maret 1895 – 16 November 1903) merupakan putri tunggal dari Ernst Ludwig, Adipati Agung Hessen dan istri pertamanya, Putri Victoria Melita dari Saxe-Coburg dan Gotha. Namanya diturunkan dari nenek buyutnya, Putri Elisabeth dari Prussia. Bibinya memiliki nama serupa, dan keduanya sama-sama dipanggil Ella.
Elisabeth dari Hessen-Darmstadt | |||||
---|---|---|---|---|---|
Kelahiran | Neues Palais, Darmstadt, Keharyapatihan Hessen, Kekaisaran Jerman | 11 Maret 1895||||
Kematian | 16 November 1903 Skierniewice, Ketsaran Polandia, Kekaisaran Rusia | (umur 8)||||
Pemakaman | Rosenhöhe, Darmstadt, Keharyapatihan Hessen, Kekaisaran Jerman | ||||
| |||||
Wangsa | Hessen-Darmstadt | ||||
Ayah | Ernst Ludwig, Adipati Agung Hessen | ||||
Ibu | Putri Victoria Melita dari Saxe-Coburg dan Gotha |
Elisabeth meninggal pada usia yang sangat muda, dan terdapat rumor bahwa kematiannya itu disebabkan oleh racun yang sebenarnya dimaksudkan untuk pamannya, Kaisar Nikolai II. Namun, dokter istana mengatakan bahwa penyebab kematian Elisabeth adalah demam tifoid yang parah, yang kemungkinan besar ditularkan akibat ia meminum air dari sebuah sumber yang terkontaminasi.
Kelahiran
suntingOrang tua Elisabeth, yang akrab dipanggil ‘Ernie’ dan ‘Ducky’, merupakan sepupu yang menikah atas desakan nenek mereka, Ratu Victoria. Sejak awal, pernikahan mereka tidaklah bahagia.[1] Putri Victoria Melita baru berusia delapan belas tahun saat melahirkan Elisabeth. Meskipun ia sangat menyayangi Elisabeth, ia merasa sulit menandingi kasih sayang yang dicurahkan Ernst kepada putri mereka.[2] Selain itu, Ernst meyakini bahwa hanya dia yang bisa memahami Elisabeth, bahkan sebelum putrinya itu dapat berbicara. Saat Elisabeth berusia enam bulan, terdapat rencana untuk memindahkannya ke kamar yang baru, dan sang ayah pun "berkonsultasi" dengan sang putri mengenai pilihan warna yang disukainya. Ernst mengklaim bahwa Elisabeth mengeluarkan "suara ceria" ketika ditunjukkan kain berwarna lila. Oleh karenanya, Ernst pun mendekorasi kamar tidur putrinya dengan beragam nuansa lila yang menawan.[3] Ernst juga membangun sebuah rumah bermain yang berdiri di taman pribadi untuk putrinya. Di dalam rumah bermain tersebut, orang dewasa dilarang masuk, sehingga "para perawat dan pengajar kerajaan merasa frustrasi. Mereka terlihat gelisah menunggu di luar, berharap agar anak-anak ceria mereka segera berhenti bermain dan keluar."[4]
Masa kecil
suntingMargaretta Eagar, yang merupakan pengasuh untuk para putri Tsar Nikolai II menggambarkan Elisabeth sebagai "anak yang manis dan cantik, dengan mata abu-abu-biru yang besar dan rambut gelap yang lebat. Eagar menambahkan bahwa "[Elisabeth] sangat mirip dengan ibunya, baik dari segi penampilan maupun perilaku." Elisabeth yang saat itu berusia empat tahun sangat menginginkan seorang adik perempuan dan mencoba meyakinkan bibi serta pamannya agar orang tuanya diizinkan mengadopsi salah satu sepupunya, yaitu Tatiana atau Maria.[5] Orang tua Elisabeth hanya dikaruniai satu anak lagi, yaitu seorang putra yang meninggal dunia saat lahir pada tahun 1900.
Elisabeth sangat disukai oleh nenek buyutnya, Ratu Victoria, yang memanggil gadis kecil ini dengan sebutan "my precious (kesayanganku)". Ratu Victoria tidak membiarkan Victoria dan Ernst, yang meskipun tidak bahagia menjalani pernikahan mereka, bercerai demi kebaikan Elisabeth.[6] Ratu Victoria bahkan meminta agar Elisabeth menjadi orang pertama yang memberinya ucapan selamat ulang tahun kedelapan puluh pada tahun 1899.[6] Saat gadis kecil itu mendengar suara kereta poninya yang mendekat di jalan di bawah Kastel Windsor, Elisabeth yang berusia empat tahun berlari ke balkon, melambai dan berteriak, "Granny Gran, aku di sini!" Keceriaan Elisabeth membuat sang Ratu tertawa terbahak-bahak.[7] Pada tanggal 22 Januari 1901, neneknya, Adipatni Maria dari Saxe-Coburg dan Gotha membawa Elisabeth yang saat itu berusia lima tahun untuk melihat Ratu Victoria di tempat tidur menjelang akhir hayatnya. Setelah sang Ratu tutup usia, gadis kecil itu diizinkan untuk melihat jenazahnya dan diberitahu bahwa nenek buyutnya telah pergi untuk bersama para malaikat; "tapi aku tidak melihat sayapnya," bisik Elisabeth.[8] Selama pemakaman Ratu Victoria, Elisabeth duduk di samping sepupu keduanya Pangeran Edward dari York (yang dipanggil David oleh keluarga dan teman-temannya, dan kelak menjadi Raja Edward VIII pada tahun 1936). "David kecil yang manis bersikap sangat baik selama upacara," tulis tante David, Maud, "dan didampingi oleh seorang gadis kecil dari Hesse yang menjaga dan memeluknya sepanjang waktu. Mereka terlihat sebagai pasangan kecil yang sangat menggemaskan."[8]
Dalam memoarnya yang ditulis lebih dari tiga dekade setelah kepergian Elisabeth, ayahnya mengenang putrinya yang memiliki "sensitivitas yang mendalam" dan "hati yang begitu besar". Ernst menulis, "Saya tidak pernah berjumpa dengan anak yang memiliki pengaruh sebesar itu terhadap orang dewasa. Kepribadian dalam dirinya sangat kuat, dan ia memiliki sifat alami yang membuatnya terlindungi dari sifat manja."[9] Pada bulan Oktober 1901, setelah kematian Ratu Victoria, orang tua Elisabeth akhirnya bercerai. Sang ibu pun kembali menjalin hubungan dengan sepupu lainnya, Adipati Agung Kirill Vladimirovich dari Rusia, yang kelak menjadi suaminya. Sementara itu, ayahnya, menurut surat-surat yang ditulis ibunya, diketahui terlibat hubungan dengan para pelayan rumah tangga.[10][11] Perceraian orang tuanya itu membuat Elisabeth terpaksa membagi waktunya sepanjang tahun antara Darmstadt dan rumah baru ibunya di Coburg. Pada awalnya, Elisabeth merasa skeptis dan kurang mempercayai ibunya, serta merasa kecewa dengan perceraian tersebut. Namun, Victoria berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki hubungan dengan putrinya itu saat mengunjungi Elisabeth pada musim semi tahun 1902. Meskipun usahanya tidak sepenuhnya berhasil,[12] Victoria tetap merasa senang saat mengajarkan putrinya untuk menjadi seorang penunggang kuda yang terampil.[5]
Dalam memoarnya, Ernst mengungkapkan bahwa sangat sulit baginya untuk membujuk Elisabeth agar bersedia mengunjungi ibunya, bahkan sebelum menemui ibunya, Ernst mendapati Elisabeth sedang "merengek di bawah sofa, penuh keputusasaan." Ernst meyakinkan Elisabeth bahwa sang ibu juga mencintainya, namun Elisabeth menjawab "Mama bilang dia mencintaiku, tetapi [papa] benar-benar mencintaiku."[13] Margaret Eager menganggap mata Elisabeth sebagai mata "yang paling menyedihkan yang pernah ia saksikan." "Saat melihatnya, saya sering bertanya-tanya apa yang terlihat oleh mata abu-abu-biru besar itu sehingga wajahnya tampak begitu penuh kesedihan." Eagar juga bertanya-tanya apakah Elisabeth memiliki firasat mengenai kematiannya sendiri, karena ia sering mengatakan kepada sepupunya, Adipatni Agung Olga Nikolaevna, bahwa "Aku tidak akan pernah melihat ini lagi." Walaupun mata Elisabeth terlihat sedih, sebenarnya ia adalah anak yang manis dan bahagia, serta sering berperan sebagai penengah ketika para sepupunya berselisih.[5]
Kematian
suntingPada tanggal 6 Oktober 1903, ayahnya Ernst menyelenggarakan pertemuan keluarga besar di Darmstadt untuk merayakan pernikahan keponakannya, Putri Alice dari Battenberg, dengan Pangeran Andrew dari Yunani dan Denmark. Beberapa minggu kemudian, Ernst membawa putrinya untuk menginap bersama adiknya, Alexandra, suaminya, Tsar Nikolai II, beserta keluarga mereka. Di pondok berburu keluarga kekaisaran di Skierniewice, Polandia, Elisabeth suka berjalan jauh dan berpiknik di hutan bersama sepupunya.[14]
Pengasuh Elisabeth, yang memanggilnya dengan sebutan "my baby," membangunkan gadis kecil itu di tengah malam dan membawanya ke kursi jendela di kamar supaya ia dapat menyaksikan permainan yang sedang berlangsung di halaman bawah.[5] Pada suatu pagi, gadis berusia delapan tahun itu merasakan sakit tenggorokan dan nyeri di dada saat bangun tidur. Meskipun demikian, dokter istana menganggap kondisi tersebut disebabkan oleh kegembiraan yang berlebihan saat bermain bersama para sepupunya sehari sebelumnya. Suhu tubuhnya pun naik hingga mencapai 104 derajat. Keluarga kekaisaran merasa penyakit Elisabeth tidak terlalu serius, sehingga mereka tetap pergi ke teater seperti yang sudah dijadwalkan. Namun, saat malam tiba, rasa sakit yang dirasakannya kian hebat, dan ia mulai kesulitan bernapas. Seorang spesialis kemudian dipanggil dari Warsawa, dan mencoba merangsang detak jantungnya yang melemah dengan suntikan kafein dan kamper, tetapi upaya tersebut tidak berhasil.[5]
Eagar menulis, "Tiba-tiba, dia duduk di tempat tidurnya, memandang kami semua satu per satu dengan mata terbuka lebar dan penuh ketakutan." "Dia tiba-tiba berteriak, 'Aku sekarat! Aku sekarat!'" Meskipun mereka berhasil membujuknya untuk kembali berbaring, dia tetap merasa gelisah. "Anak itu menatapku dengan cemas dan berkata, 'Kirimkan telegram ke mama.'" Eagar meyakinkannya bahwa hal itu akan segera dilakukan, dan Elisabeth menambahkan, "segera." ... Kami terus berupaya menjaga nyawanya yang semakin melemah, tetapi kondisinya terus memburuk setiap detiknya. Dia mulai berbicara dengan sepupu-sepupunya seakan sedang bermain dengan mereka. Dia bertanya soal Anastasie dan aku pun membawanya masuk ke kamar. Mata lemah itu memandangnya sebentar, dan Anastasie berkata, 'Kasihan sepupu Ella! Kasihan Putri Elisabeth!'. Setelah itu, aku membawa Anastasie keluar dari ruangan."[5] Dokter menyarankan Alexandra untuk mengabari ibu Elisabeth, tetapi telegram baru sampai keesokan harinya, ketika Elisabeth sudah meninggal.[15] Otopsi mengungkapkan bahwa penyebab kematiannya adalah tifoid ganas, meskipun ada rumor yang menyebutkan bahwa ia mengonsumsi makanan beracun yang sebenarnya ditujukan untuk sang Tsar.[16]
Pemakaman dan tinggalan sejarah
suntingJasad Elisabeth dimasukkan ke dalam peti berwarna perak yang merupakan hadiah dari Nikolai II, untuk perjalanan pulang terakhirnya ke Darmstadt. Sang ayah menyelenggarakan pemakaman dengan nuansa serba putih; ia mengganti semua perlengkapan pemakaman dengan warna putih, serta memilih bunga dan kuda putih untuk iring-iringan. Ribuan warga Hessen berkumpul untuk menyaksikan prosesi pemakaman, dan mereka "menangis terisak-isak secara bersamaan sehingga saya bisa mendengarnya," kenang Ernst.[17] Seorang sepupu, Wilhelm II, menyampaikan rasa terkejutnya atas kematian anak itu dalam sebuah surat kepada Tsar Nikolai II keesokan harinya. "Betapa ceria dan bahagianya dia pada hari itu di Wolfsgarten, saat saya berada di sana, begitu hidup, penuh kesenangan, dan sehat ... Ini adalah pukulan yang sangat menyedihkan bagi Ernie yang malang, yang sangat menyayangi dan mengagumi si pesona kecil itu!"[18] Elisabeth dikebumikan di Rosenhöhe bersamaan dengan anggota keluarga besar Hessen lainnya. Untuk menjaga makamnya, dipasang sebuah patung malaikat yang terbuat dari marmer.[19] Sebagai penghormatan terakhir kepada Elisabeth dan Ernst, Victoria Melita menempatkan lencana Orde Hessen, yang diberikan padanya saat menikah dengan Ernst, ke dalam peti mati Elisabeth.[20] Tiga puluh tahun setelahnya, Ernst masih merasakan kesedihan mendalam atas kepergian putrinya. Dalam memoarnya, Ernst menulis, "Elisabeth kecilku, adalah sinar matahari dalam hidupku."[21]
Arsip
suntingDokumen-dokumen yang berkaitan dengan kematian Elisabeth, seperti telegram dan surat dari anggota keluarga serta seorang pegawai keluarga Hessen kepada bibi Elisabeth, Putri Alexandra dari Saxe-Coburg dan Gotha disimpan di Arsip Pusat Hohenlohe (Hohenlohe-Zentralarchiv Neuenstein),[22] yang berada di Kastel Neuenstein di kota Neuenstein, Baden-Württemberg, Jerman.[23]
Leluhur
suntingSilsilah dari Elisabeth dari Hessen-Darmstadt |
---|
Catatan
sunting- ^ Sullivan, hlm. 136
- ^ Sullivan, hlm. 142–143
- ^ Sullivan, hlm. 142
- ^ Sullivan, hlm. 148
- ^ a b c d e f Eagar, Margaret (1906). "Six Years at the Russian Court". alexanderpalace.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 Oktober 2019. Diakses tanggal 10 Desember 2006.
- ^ a b Sullivan, hlm. 190
- ^ Sullivan, hlm. 196
- ^ a b Sullivan, hlm. 204
- ^ Sullivan, hlm. 217
- ^ Elsberry, Terence (1972). Marie of Romania; The Intimate Life of a Twentieth Century Queen (dalam bahasa Inggris). New York: St. Martin's Press. hlm. 62. OCLC 613611.
- ^ Sullivan, hlm. 182
- ^ Sullivan, hlm. 217–218
- ^ Sullivan, hlm. 218
- ^ Van Der Kiste, hlm. 65.
- ^ Sullivan, hlm. 223
- ^ Van Der Kiste, hlm. 65.
- ^ Sullivan, hlm. 224
- ^ Maylunas & Mironenko, hlm. 231.
- ^ Sullivan, hlm. 225.
- ^ Sullivan, hlm. 225.
- ^ Van der Kiste, hlm. 64
- ^ "Tod von Alexandras Nichte Prinzessin Elisabeth von Hessen und bei Rhein (1895-1903) - Deutsche Digitale Bibliothek".
- ^ "Hohenlohe-Zentralarchiv Neuenstein". 4 Oktober 2023.
Daftar pustaka
sunting- Eagar, Margaret (1906). "Six Years at the Russian Court". alexanderpalace.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 Oktober 2019. Diakses tanggal 10 Desember 2006.
- Maylunas, Andrei; Mironenko, Sergei, ed. (1996). A Lifelong Passion: Nicholas and Alexandra: Their Own Story (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Galy, Darya. London: Weindenfeld and Nicolson. ISBN 0-297-81520-2.
- Sullivan, Michael John (1997). A Fatal Passion: The Story of the Uncrowned Last Empress of Russia (dalam bahasa Inggris). New York: Random House. ISBN 0-679-42400-8.
- Van der Kiste, John (1991). Princess Victoria Melita: Grand Duchess Cyril of Russia, 1876-1936 (dalam bahasa Inggris). Far Thrupp: Alan Sutton Publishing Ltd. ISBN 0-862-99815-8.