Dzun-Nun al-Mishri

Sufi Mesir abad ke-9

Dhūl-Nūn Abū l-Fayḍ Thawbān b. Ibrāhīm al-Miṣrī (Arab: ذو النون المصري; w. Giza, di 245/859 atau 248/862), sering kali disebut sebagai Dhūl-Nūn al-Miṣrī atau Zūl-Nūn al-Miṣrī, adalah seorang mistikus dan asketis Muslim Mesir.[1] Nama belakangnya "al Misri" memiliki arti "Orang Mesir". Ia lahir di Akhmim, Mesir Hulu pada 796 (179 H) dan wafat tahun 859 M (245 H).

Selain dikenal sebagai ulama sufi, Dzun Nun juga termasuk dari kalangan Fuqaha' Muhadditsun (ahli fikih dan ahli hadits). Ia meriwayatkan hadits dari dari Imam Malik bin Anas, Al-Laits bin Sa’ad dan Abdullah bin Luhai’ah.

Nasab sunting

Dzun-Nun al-Mishri lahir di Ekhmim pada tahun 180 Hijriah atau 796 Masehi. Ia bernama lengkap Abu Al-Faiz Tsauban bin Ibrahim al-Mishri. Tempat kelahirannya terletak di wilayah Mesir Hulu.[2] Ayahnya merupakan keturunan suku Quraisy.[3]

Pemikiran sunting

Makrifat sunting

Dzun-Nun al-Mishri dianggap sebagai pendiri paham makrifat. Pada masa hidupnya, istilah tasawuf sudah dikenal oleh masyarakat, tetapi dasar-dasarnya baru disusun oleh al-Mishri. Dalam perjalanan mencapai makrifat, ia menetapkan keharusan melewati maqamat dan ahwal. Pemikirannya menghasilkan amalan-amalan tertentu dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Dzun-Nun al-Misri mengelompkkan makrifat berdasarkan tingkat pengetahuan manusia. Dalam pemikirannya, ia membagi makrifat menjadi makrifat kaum awam, teolog dan filsuf, serta para wali. Ia meyakini bahwa makrifat diperoleh bukan melalui belajar, usaha atau pembuktian, tetapi dari ilham yang dilimpahkan Allah ke dalam perasaan manusia. Dzun-Nun Al-Mishri berpendapat bahwa Tuhan hanya dapat dikenal melalui Tuhan itu sendiri.[4]

Bentuk kesyukuran sunting

Dzun-Nun al-Mishri membagi bentuk kesyukuran menjadi taat, balas budi dan berbuat baik. Taat merupakan bentuk kesyukuran kepada orang yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan diri sendiri. Balas budi merupakan bentuk kesyukuran kepada orang yang kedudukannya sama dengan diri sendiri. Sedangkan balas budi merupakan bentuk kesyukuran kepada orang yang kedudukannya lebih rendah dari diri sendiri.[5]

Kerusakan makhluk sunting

Dzun-Nun Al-Mishri menetapkan enam perkara yang menyebabkan kerusakan pada makhluk. Perkara pertama adalah lemahnya niat untuk berbuat amal demi akhirat. Perkara kedua ialah menjadikan tubuh sebagai jaminan terhadap nafsu. Perkara ketiga ialah membiarkan khayalan menguasai diri ketika tubuh telah mendekati ajal. Perkaraan keempat ialah lebih mengutamakan keridaan makhluk dibandingkan dengan keridaan Allah. Perkara kelima ialah meninggalkan sunnah hanya untuk menuruti keinginan hawa nafsu. Sedangkan perkara keenam adalah membela diri dengan argumen dan tidak menerapkannya sebagai perilaku.[6]

Referensi sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ Mojaddedi, Jawid, “Dhū l-Nūn Abū l-Fayḍ al-Miṣrī”, in: Encyclopaedia of Islam, THREE, Edited by: Kate Fleet, Gudrun Krämer, Denis Matringe, John Nawas, Everett Rowson. Brill Online.
  2. ^ Faqihuddin 2015, hlm. 107.
  3. ^ Faqihuddin 2015, hlm. 108.
  4. ^ Muzakkir (2018). Tasawuf: Pemikiran, Ajaran dan Relevansinya dalam Kehidupan (PDF). Medan: Perdana Publishing. hlm. 37. ISBN 978-602-5674-19-8. 
  5. ^ Buhairi, Muhammad Abdul Athi (2012). Taman, M., dan Yasir, M., ed. Tafsir Ayat-Ayat Yā Ayyuhal-ladzīna Āmanū. Diterjemahkan oleh Kasdi, A., dan Farida, U. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 45. ISBN 978-979-592-593-4. 
  6. ^ An-Naisaburi, Abul Qasim Abdul Qarim Hawazin Al-Qusyairi (2007). Asrori, A. Ma'ruf, ed. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (PDF). Diterjemahkan oleh Faruq, Umar. Jakarta: Pustaka Amani. hlm. 132–133. ISBN 978-979-1321-06-8. 

Daftar pustaka sunting

Pranala luar sunting