Djamaludin Malik

politikus, produser film, pengusaha asal Indonesia


Djamaludin Malik (13 Februari 1917 – 8 Juni 1970) adalah pengusaha, politisi, dan produser film Indonesia, yang juga dikenal sebagai Bapak Industri Film Indonesia dan penggagas Festival Film Indonesia. Lahir di Padang dari keluarga yang masih memiliki garis keturunan dengan Raja Pagaruyung di Tanah Datar, ia pada awalnya hanya bekerja sebagai pegawai perusahaan pelayaran Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij. Pada tahun 1940-an, ia terjun sebagai pengusaha dengan mendirikan perusahaan Djamaludin Malik Concern. Ia mulai terlibat dalam industri perfilman ketika ia mendirikan kelompok sandiwara Bintang Timur dan perusahaan film Persari (Perseroan Artis Indonesia). Film pertama yang diproduksinya berjudul Sedap Malam pada tahun 1950.

Djamaludin Malik
Lahir(1917-02-13)13 Februari 1917
Padang, Hindia Belanda
Meninggal8 Juni 1970(1970-06-08) (umur 53)
München, Jerman Barat
PekerjaanPengusaha, politisi, dan produser film Indonesia
Suami/istriElly Yunara
Farida (bercerai)
Elviera (bercerai)
AnakPernikahan dari Farida: 2, termasuk Camelia Malik
Pernikahan dari Elly Yunara: 3
Pernikahan dari Elviera: 1

Pada tahun 1955, setahun setelah mendirikan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) bersama Usmar Ismail, ia memelopori terselenggaranya Festival Film Indonesia I. Bersama Asrul Sani, ia juga mendirikan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin untuk menentang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang disokong oleh Partai Komunis Indonesia. Ia juga aktif berpolitik, yakni sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung. Ia pernah menjabat Ketua Dewan Film Nasional dan Ketua III Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Namun aktivitasnya di bidang politik berujung pada tuduhan ia bersimpati pada pemberontakan PRRI di Sumatra, sehingga mengakibatkan ia dipenjarakan pada tahun 1958 dan dibebaskan tak lama kemudian setelah tuduhan yang ditujukan kepadanya tidak terbukti.

Djamaludin meninggal pada tahun 8 Juni 1970 akibat penyakit komplikasi setelah beberapa lamanya dirawat di Muenchen, Jerman Barat. Jasadnya kemudian dibawa ke Jakarta untuk dimakamkan di pemakaman Karet Bivak. Ia dianugerahi gelar Bintang Mahaputra Adipradana II pada tahun 1973 dan kemudian dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Selain itu, namanya juga disandingkan dengan Usmar Ismail sebagai dwitunggal perfilman Indonesia.

Biografi

sunting

Kehidupan awal

sunting

Pada awalnya, ia hanya bekerja sebagai pegawai Koninklijke Paketvaart Maatschappij, sebuah perusahaan pelayaran Belanda di Indonesia. Karena kemampuannya dalam memumpuk modal, pada tahun 1940-an ia terjun sebagai pengusaha dan mendirikan Djamaludin Malik Concern, perusahaan yang semula hanya bergerak di bidang perdagangan komoditas, kemudian seiring berjalannya waktu, terus berkembang dan merambah berbagai sektor, termasuk perdagangan tekstil, kayu, pelayaran, dan kontraktor.

Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, ia membentuk kelompok sandiwara Bintang Timur, kemudian membeli kelompok sandiwara Pancawarna dari Njoo Cheong Seng. Kelompok ini kemudian digunakannya untuk menghibur para pejuang yang sedang menghadapi Agresi Militer yang dilancarkan Belanda di Indonesia. Dari Bintang Timur dan Pancawarna, Djamaludin kemudian mendirikan Persari (Perseroan Artis Indonesia).[catatan 1] Pada masa itu, Djamaludin Malik sebagai direktur utama telah mengendarai Chevrolet, dan bermukim di kawasan Menteng. Sutradara dan artis-artis utamanya juga ia belikan mobil, dan ditalangi untuk membeli rumah di Kebayoran Baru.

Sejak kecil, ia dikenal sebagai seorang yang dermawan. Namun meskipun suka menyenangkan orang lain, kehidupan pribadinya agak berantakan. Ia beberapa kali kawin cerai. Ia pernah menikah dengan Farida Al-Hasni, yang merupakan ibu dari penyanyi Ahmad Albar. Pasangan ini dikaruniai dua orang anak, yakni Zainal Malik dan Camelia Malik. Putri keduanya, Camelia Malik, dikenal sebagai aktris dan penyanyi dangdut.

Terakhir Djamaludin menikah dengan Elly Yunara, seorang keturunan Maroko. Dari perempuan ini ia dikaruniai dua orang anak: Yudha Asmara Malik, dan Lailasari Malik. Elly Yunara kemudian meneruskan cita-citanya untuk mengembangkan industri perfilman Indonesia dengan mendirikan PT Remaja Ellynda Film, yang telah menghasilkan film-film seperti Malin Kundang dan Jembatan Merah.

Karier perfilman

sunting

Djamaludin Malik merupakan tokoh yang banyak berjasa bagi perkembangan industri film Indonesia. Ia pertama kali memproduksi film pada tahun 1950 berjudul Sedap Malam. Dua tahun kemudian, ia melakukan produksi bersama dengan perusahaan film asal Filipina untuk film berwarna: Rodrigo de Villa (1952). Setelah itu dua film berwarna berikutnya kembali ia hasilkan, yakni Leilana (1953) dan Tabu (1953). Pada tahun 1954, bersama Usmar Ismail ia mendirikan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), dan mengajak organisasi tersebut untuk bergabung dengan Federasi Produser Film se-Asia. Hal ini bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat film Indonesia di tingkat internasional. Pada tahun 1955, ia memelopori terselenggaranya Festival Film Indonesia I. Djamal pula yang membiayai seluruh keperluan festival itu.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, Djamaludin membentuk serikat seniman Muslim yang dinamai Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi). Dalam lembaga tersebut bergabung pula Usmar Ismail sebagai ketua umum dan Asrul Sani. Bergabungnya Usmar Ismail dan Asrul Sani ke dalam organisasi ini, menanggalkan kesan mereka selama ini sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI); pada masa peralihan 1950-1960-an, semua orang-orang Minang intelek diasosiasikan sebagai anggota PSI yang menentang kediktatoran Soekarno. Lesbumi bertujuan untuk melawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang disokong oleh Partai Komunis Indonesia. Namun sejak tahun 1963, Lekra lebih sering berbentrokan dengan aktivis Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang dimotori oleh Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, dan Taufiq Ismail.

Pada tahun 1964, ia memproduksi film Tauhid. Film yang disutradarai oleh Asrul Sani dan dibintangi Aedy Moward dan Ismed M. Noor ini diproduksi atas kerja sama antara Departemen Agama dan Departemen Penerangan Indonesia.[catatan 2] Lokasi pengambilan gambarnya yang mengambil tempat di Mekkah, memberikan kepuasan tersendiri bagi kru film tersebut, karena bisa sekalian menunaikan ibadah haji.

Kehidupan akhir dan penghargaan

sunting

Hingga tahun 1966, Djamaludin telah memproduksi sebanyak 59 judul film, yang terakhir bertajuk Menyusuri Jejak Berdarah, dan memperoleh penghargaan untuk kategori tata sinematografi terbaik dalam Pekan Apresiasi Film Nasional 1967. Pada tahun 1969, ia ditunjuk sebagai Ketua Dewan Film Nasional. Posisi itu diembannya hingga ia meninggal. Pada awal 1970, ia menderita penyakit komplikasi, dan beberapa waktu lamanya ia dirawat di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, sebelum akhirnya berobat ke Muenchen, Jerman Barat. Di kota ini, pada tanggal 8 Juni 1970, Djamaludin meninggal. Jasadnya kemudian diterbangkan ke Jakarta, dan dikebumikan di pemakaman Karet Bivak. Atas jasa-jasanya, ia dianugerahi gelar Bintang Mahaputra Adipradana II pada tahun 1973 dan kemudian dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Selain itu, namanya juga disandingkan dengan Usmar Ismail, sebagai dwitunggal perfilman Indonesia.

Filmografi

sunting

Keterangan

sunting
  1. ^ Pada awal tahun 1950-an hanya ada dua studio film yang dimiliki oleh pribumi, yakni Persari yang didirikan oleh Djamaludin Malik dan Perfini yang dipimpin oleh Usmar Ismail. Kedua perusahaan film ini dijalankan dengan gaya yang berlainan. Perfini bersikap idealis dan anti terhadap film-film murahan yang hanya mengandalkan lekuk tubuh dan tari-tarian. Namun meskipun menghasilkan film-film bermutu, pendapatan Perfini agak memprihatinkan. Adapun Persari dikelola dengan cara modern, memiliki studio film yang berdiri di atas lahan yang sangat luas dengan fasilitas cukup lengkap.
  2. ^ Saifuddin Zuhri, Menteri Agama pada waktu itu, menginginkan adanya sinema yang bernapaskan Islam.

Referensi

sunting
  • Adya, Afandri. Djamaludin Malik, Bapak Industri Film Indonesia (2012).
  • Al-Malaky, Ekky (2004). Why Not? Remaja Doyan Nonton. Mizan.
  • Bintang, Ilham (2007). Mengamati Daun-daun Kecil Kehidupan.
  • Lombard, Dennys (1996). Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia.

Pranala luar

sunting