Delsy Syamsumar
Delsy Syamsumar (7 Mei 1935 – 21 Juni 2001) adalah seorang pelukis “Neoklasik” Indonesia berasal dari Sungai Puar, Sumatera Barat. Pelukis ini telah menampakkan bakat melukisnya sejak usia 5 tahun. Di waktu perang revolusi keluarganya memilih tinggal di Bukittinggi. Delsy melalui sekolah dasar dan menengah umum bahkan pendidikan agama Islam, ia selalu menonjol dalam pelajaran seni lukis dan menjadi juara pertama pada setiap sayembara di sekolah sekolah di Sumatera Barat.[1]
Delsy Syamsumar | |
---|---|
Lahir | Medan, Hindia Belanda | 7 Mei 1935
Meninggal | 21 Juni 2001 Jakarta | (umur 66)
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan | Seniman, pelukis |
Suami/istri | Adila |
Pada usia 17 tahun Delsy telah mampu melukis komik sejarah dan karangannya sendiri yang ia kirim sendiri per pos ke majalah ibukota. Karyanya seperti Komik “Mawar Putih” tentang “Bajak Laut Aceh” dimuat di majalah “Aneka” telah membuat ia terkenal diseluruh Indonesia pada usia yang amat muda.
Kalau perantau-perantau Minang umumnya cenderung mengadu nasib sebagai pedagang, maka berbeda dengan bocah Delsy ini yang di panggil ke Jakarta oleh penerbit dengan fasilitas cukup. Atas adanya kepastian itu Barulah ibunya mau melepas Delsy dan menginginkan anaknya tersebut menjadi “pelukis terkenal” seperti Raden Saleh dan Basuki Abdullah. Delsy sejak di SD sudah dibelikan cat minyak oleh ayahnya seorang yang pengukir Rumah Gadang. Meskipun Delsy dikenal sebagai sosok seorang pelukis komik sejarah,illustrator, wartawan masmedia dan penata artistik di berbagai banyak Film nasional,namun ia tidak meninggalkan kanvas dan cat minyak.
Ilustrasinya banyak mendapat sambutan literature-literatur seni di Australia dan Perancis sebagai pembuat kartun di beberapa masmedia dan cover cover novel Indonesia serta di perfilman sebagai Art Director senior. Ia sebagai seorang Art Director Film sempat meraih penghargaan pada Festival Nasional dan Asia. Disanggarnya selain ia mendidik pelukis pelukis muda berbakat juga membimbing mereka menjadi tenaga perfilman handal (peraih Piala Film dan Sinetron). Pameran tunggal Delsy pada tahun 1985 di Balai Budaya dianggap sebagai peristiwa seni nasional karena gaya cat minyaknya selaras membawakan ilustrasinya yang telah terlebih dahulu dikenal, ekspresif dan ekstensial dan selalu mudah di ingat orang (pengamat Seni Rupa Agus Darmawan T. dalam “Suara Pembaharuan”)
Khas lukisan Delsy banyak dianggap terletak pada kemahirannya melukiskan wanita. Namun sebenarnya kemampuan melukiskan ekpresi dan gerak tokoh-tokohnya yang komunikatif dengan pemandangan karyanya. Namun dalam melukiskan wanita, pengamat karyanya itu mengambil kesimpulan bahwa anatomi wanita-wanita dalam kanvas Delsy bagai menemukan “medan yang tepat dan kuat” menangkap daya hidup. Sudut pandang lukisan Delsy kadang-kadang filmis, karena mungkin kehidupannya sebagai orang film mempengaruhinya. Komposisi penuangan karya-karyanya apik dan enak dipandang bagaikan sudut pengambilan gambar lewat kamera.
Pameran tunggal Delsy pernah diadakan di Hotel Indonesia, Gedung Kesenian Jakarta. Lukisan karyanya pernah tercatat sebagai lukisan termahal yang terjual pada Pameran bersama pelukis-pelukis (Basuki Abdullah, Affandi, Lee Man Fong dsb.) ternama Indonesia yang di Gedung Kesenian Jakarta(Taman Ismail Mardzuki). Dan pada pameran-pameran bersama di Balai Budaya saat pra reformasi, lukisan-lukisan Delsy selalu mencatat rekor sebagai lukisan yang paling banyak diminati para kolektor lukisan. Pada tahun 1992 ia juga sempat melakukan pameran bersama dengan Basuki Abdullah.
Dunia film telah membenamkan Delsy cukup lama dalam kreatifitasnya dan puncaknya menjadi Art director di beberapa film legenda Indonesia, antara lain “Saur Sepuh”. Terlalu lama mendalami dunia film yang bertema legenda sejarah mendorong kreativitas Delsy di dalam banyak lukisan yang bertemakan legenda dan sejarah, termasuk di dalamnya merekam sejarah perjuangan bangsa Indonesia disekitar tahun 1945. Karyanya antara lain: Sentot Alibasya Prawiradirdja (cergam), Gadjah Mada (Cergam), Christina Maria Tiahahu (cergam) dan beberapa lukisan yang menggambarkan Heroisme Cut Mutia, Kereta Api terakhir Yogyakarta, Sepasang mata bola, Dapur Umum dan karya terakhirnya pada tahun 2000 “Gelar Perang Sentot Alibasya Prawiradirdja" cukup kolosal.
Bio Data
sunting- Nama: Delsy Syamsumar (Delsy Sjamsumar)
- Tempat/tanggal lahir: 7 mei 1935 : Lahir di Medan Asal Minang (Sungai Puar) Sumatera Barat.
- 1945 - 1949 : Basis pendidikan dari guru Arifin Zainun Exs INS Kayu Tanam 1950 –
- 1954 : Bergabung dalam SEMI (seniman Muda Indonesia) d/p Zetka dan A.A. Navis. Menjuarai berturut turut lomba melukis
- 1954 : Ditempatkan ke Jakarta oleh penerbit, untuk mengarang dan melukis komik
- 1955 – 1959 : Mendapat sambutan baik dari instansi PP&K seluruh Indonesia mengenai komik sejarah Pahlawan. Tergabung dalam “Seniman Senen” orang-orang Film, teater dan pers (masmedia) melibatkannya kerja di panggung, dapur film dan kewartawanan sekaligus illustrasi di berbagai majalah dan Surat Kabar. Mendapat sambutan baik Instansi PP&K dan Japen di seluruh Indonesia atas karyanya serial “Komik Sejarah Pahlawan Tanah Air
- 1960 : Pertama sekali sebagai Art Director film
- 1961 : Mendapat penghargaan kritisi melukis credit title film PERFINI “Pejuang” dalam bentuk sketsa
- 1962 : Sebagai Art director film “Holiday in Bali”. Persari memenangkan dekor tata warna terbaik dalam Festival Film Asia, Tokyo. Memenangkan hadiah I sayembara karikatur PWI.
- 1964 – 1966 : Dekorator Hotel Indonesia d/p Teguh Karya.
- 1966 – 1970 : Sebagai wartawan dan illustrator tetap majalah “CARAKA” Ditpom, Memperoleh predikat “I’exellent Dessinateur” (lecture seni Paris)
- 1970 – 1978 : Kembali sebagai Art Director Film. Mempelopori teknik cetak poster film dan majalah (“Lavita”, “Variasi” dan “Kartini”)
- 1978 – 1982 : Terpilih menjadi Wakil Ketua kelompok seluruh Art Director Film dan Televisi Indonesia (KFT). Ditunjuk sebagai Art Director film “Buaya Deli” yang sempat mendapat penghargaan sebagai film berlatar-belakang sejarah terbaik.
- 1982 : Terpilih jadi wakil ketua “Yayasan Bengkel Seni”
- 1983 : Menata artistik 3 film (Jayaprana” dll). Ikut pameran ikatan illustrator Indonesia, Menjadi Art Director untuk Film legenda Saur Sepuh (seri 3,4,5)
- 1985 - 1986 : Pameran tunggal di Balai Budaya – Sarinah – TIM (surprise nasional) * 1991 : Masuk nominasi artistik film “Saur Sepuh” bersama El Badrun (FFI 1991)
- 1992 - 1994 : Training animasi film kartun. Pameran lukisan bersama Basuki Abdullah. Pameran Tunggal Hotel Indonesia, Gedung kesenian.
- 1995 : Sebagai Production Designer beberapa sinetron Televisi.
- 1996 : Supervisor artistik dan arkeologi film kolosal Fatahilah.
- 1997-1998 : Pameran-pameran bersama di balai budaya – Menteng Parada dan lain lain.
- 1999 - : Diusia 64 menyatukan kreasi pada melukis cat minyak.
- 2000 : Menyelesaikan karya kolosal : Gelar Perang Sentot Prawirodirjo.
- 2001: Awal tahun 2001 sebagai aksi sosial bantuan bencana alam di Bengkulu dengan meneruskan goresanan Abdul Rahman Wahid (Gusdur) dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden Reformasi. Karyanya lukisannya tersebut dilelang untuk disumbangankan bagi peristiwa bencana Bengkulu.
- 2001 : tepat tanggal 20 Juni 2001 Delsy Syamsumar dipanggil Yang Maha Kuasa, dimakamkan di TPU Kramat Jati.
Prestasi
suntingDelsy Syamsumar adalah pelukis dengan segudang prestasi mulai dari cergamis Unggul, Art Director Film Legenda Indonesia seperti Saur Sepuh dan film sejenisnya, yang terakhir berpredikat sebagai pelukis neo klasik. Predikat ini muncul karena kecendrungannya melukis dengan tema klasik dan teknik modern.
Dimulai Dengan Komik
suntingBergaya, ekspresip dan romantik. Itulah ciri lukisan-lukisan komik ciptaan Delsy Syamsumar di awal kariernya yang sekaligus mengangkat popularitasnya sebagai pelukis di usia masih belasan. Pasukan Sentot Alibasya bermanouver mengacaukan resimen Jenderal Vol Jett dekat selarong, sementara pasukan besar Diponegoro menyerbu Yogyakarta. Atau Srikandi Ambon Martha Tiahahu berhasil membakar kapal Belanda, lalu dengan gesitnya berayun di tempali sambil “menggigit pedang”. Apa boleh buat fantasi Delsy dengan argumentasi sejarah cukup cukupan dan kecanduannya nonton film-film Amerika semacam “Aphace atau “ The buccaneer” mungkin, telah menghadirkan suatu temperamen yang khas dalam pertumbuhan ilustrasi penerbitan kita dikemudian hari, menjadikannya “applied illustrator” pertama yang digandrungi begitu banyak publik pembaca di Tanah Air. Namun tentu saja didukung oleh bakat dan kemampuan berimprovisasi melukiskan ekspresi dan situasi yang merupakan dinamika ciri khas lukisan-lukisan ilustrasi maupun cat minyaknya hingga akhir hayatnya.
Seniman Senen
suntingDelsy alias Dalasi Syamsumar asal Minang berada di Senen Jakarta sekitar 1955, bukannya berdagang di kaki lima, malah nongkrong sepanjang malam di warung kopi menyimak diskusi-diskusi “Seniman Senen” berkepanjangan, melalui tahun-tahun yang panjang pameo kelompok seniman gondrong yang terusir dari warung ke warung itu, hingga berkali-kali terpaksa mangkal di trotoar dan pom bensin. Agaknya tidak diharapkan oleh guru-gurunya melukis cat minyak ex. INS Kayutanam di Sumatera Barat yang menjagoinya untuk terus di ASRI jogja agar menjadi Delacroix atau Goya yang “momentum schilderij” kata gurunya. Delsy sendiri tidak mengerti apa itu. Malah ia lebih paham kemudian omongan rekan-rekan senior orang-orang film dan teater atau wartawan di senen seperti ceramah Misbach Yusabiran tentang neo realisme Italia, teater Ibsen dan Lorca bahas Wayhu Sihombing, Sukarno M. Noor dan Wim Umboh, lalu hal pers film oleh Zulharmans sampai debat keras mengenai batu cincin Wahid Chan. Biasanya Delsy memang jarang bicara apa-apa, cukup mojok dengan sobatnya Harmoko dan Khaidir Rachman sambil corat-coret di kertas bekas atau kertas sisi putih bungkus rokok. “Awas ada BKM liwat!” semua terkesima, melihat satu keluarga dalam beca, bapak, ibu, anak semua berkacamata. “Barisan Kaca Mata” kata Harmoko. Suasana Riuh. “Senen…Senen tercinta!” tulis bait sajak Misbach atau memori sketsa Delsy ini merekam ekspresi Alm. Bintang Film Wahid Chan dan kesibukan pedagang sayur pukul empat pagi di kertas bekas yang dikorek dari Lumpur stasiun. “Inilah neo realisme Indonesia, lukisan-lukisan Lumpur!” teriak sobatnya lagi.
Story Board
suntingGatal tangannya bikin sketsa dari sketsa masyarakat dan mungkin ikut berkubang di lumpurnya, barangkali telah makin memantapkan Delsy pada pelukisan karakter bangsa sendiri yang juga penuh “Action”, keuletan, kesatriaan, heroisme yang dijagoi, licik atau kecantikan yang pasrah dan bebal. Namun komplikasi gatal tangannya telah meningkat pada realisme bahkan karikatural, seperti komiknya sesudah itu mengangkat drama sobatnya seperguruan Motinggo Busye “Malam Jahanam” yang senapas dan ketika itu masih mondar mandir Malioboro-Pasar Senen. Pengulangan versi Pangeran Diponegoro dalam komik berwarna Delsy kemudian percuma saja. Pangeran itu sebenarnya memang tidak menyerah di Magelang, tapi kalah total di pasaran komik menyaingi “Pangerannya Cinderella” atau pahlawan baru “Superman”. Tetap dalam lingkaran rekan yang itu-itu juga dalam diskusi nasib Delsy pernah di ajak Sihombing dan Sukarno M. Noor bikin dekor panggung musikal, lalu Sitompul suruh bikin kritik film dalam karikatur artis untuk koran mingguan sampai 1963. Teguh Karya kemudian menarik Delsy ke sanggar Karya Hotel Indonesia untuk dekor entertainment sampai 1966. Namun Misbach-lah yang menobatkannya menjadi Art director film pada “Holiday in Bali” yang memenangkan dekor tata warna terbaik festival Asia, Tokyo. Ini diteruskan oleh sobatnya Motinggo Busye lagi, yang sutradara mulai 1969, dan mencoba sistem story-board Delsy (semacam komik) untuk pengarahan yang tepat adegan penting di film. Ini sangat membantu rekan-rekannya sutradara lain pula.
Ilustrasi
suntingMeledaknya novel-novel Motinggo Busye sekitar tahun 70 an membuat Delsy ikut naik daun kata pers gossip di Tanah Air. Lektur-lektur di Perancis mengenai pengarang-pengarang Indonesia, tak luput menyebut “I’exellent dessinatur Delsy Syamsumar” terutama untuk illustrasi-illustrasi untuk Motinggo Busye sesuai dengan tuntutan cerita, maka penerbitan gossip yang tadinya menyorot artis film, dengan popularitas Delsy melihat peluang lain untuk meningkatkan oplag. Disinyalir bahwa illustrasi-illustrasi Delsy yang sexy identik dengan wanita-wanita, isteri atau modelnya yang silih berganti meninggalkannya. Beberapa Koran dan majalah mingguan saling mengutip, dan polemik tak dapat dihindarkan termasuk karikatur Delsy sendiri mempertahankan diri. Dia bukan artis film, malah kuli film, katanya. Ia bukan milioner Picasso yang mampu memelihara banyak model bantahnya. Setelah kegaduhan ranjangnya ini memuncak pula jadi problem kode etik pers nasional (ditutup oleh topik majalah “Tempo” Desember 1973), maka kehidupan Delsy yang selalu stabil dalam kesulitan, suksesnya itu malah sebagai pelengkap penderita.
Pra Design
suntingKegatalan Tangan membuat poster film langsung oleh Delsy telah dimulai sejak ikut mendekor Film. Usmar Ismail Sendiri juga memesan langsung poster pertama “Pejuang” kepada Delsy untuk diteruskan oleh studio poster biasa. Dengan sanggar pertama bekas garasi sepeda yang terletak di pusat republik ini, di Menteng Raya untuk bekerja, Delsy lebih tertarik membuat eksperimen-eksperiment poster, kerja artistik, dan sebagainya, daripada membuat biro reklame yang selalu gagal. Namun ciptaan-ciptaan merek terkenal seperti logo pesawat terbang “Bouraq”, majalah jantung “Sartika” dan yang paling terkenal logo huruf majalah “Kartini” adalah gaya Delsy dalam eksperiment huruf. Eksperimen huruf berbentuk rumah minang yang dikirimnya buat Koran “Singgalang” di padang ditiru mulai dari hotel, restoran-restoran Padang, para penjahit(tailor) sampai gerobak-gerobak sate Padang diseluruh pelosok Tanah Air. Untuk kalender dan poster temple serta brosur, gaya Delsy dikenali di puskesmas dari peringatan digigit nyamuk sampai burut dan penyakit kaki gadjah. Karyanya telah mewarnai Guide Book pertama perusahaan minyak negara PERTAMINA berjudul“”penggunaan minyak pertama dalam pertempuran di laut Aceh”, yang sampai kini-pun masih dikenal dan dibicarakan pada acara-acara peringatan ditemukannya minyak pertama di Indonesia. Teristimewa dalam eksperimen poster film (1 sheet), dalam peralihan dari cetak klise timah ke offset 1970. Delsy muncul dengan poster pertamanya yang di offset “Biarkan Musim Berganti” yang disutradarai oleh Motinggo Busye” Konon 1975 rekannya sejak di senen bintang film komedi Alm, Mansursyah mengajaknya bikin perusahaan poster film secara serius. Tapi tempat yang disediakan Mansur untuk Studio di Sentiong sering Banjir dan banyak kambing milik penduduk sehingga ia harus melukis poster dengan bergelimang air dan kambing-kambing yang baunya menyengat.
Tata Artistik Film
suntingSuatu hari masih tahun 70 an, sebuah ledakan menembus genteng sanggarnya, percobaan untuk ledakan “sedang” yang harusnya dilakukan Rano Karno untuk film Busye “Sebelum Usia Tujuh Belas” ternyata terlalu “keras” melenyapkan sepotong tangan staff Delsy di produksi Film. Jika tahun 50 – 60 an sanggar ini sering didatangi seniman senen, seniman ATNI dan pangkalan seniman dari Yogja seperti Idrus Ismail, M.Nizar, Sumantri, apalagi Motinggo Busye, maka sesudah 1970 sejumlah kader artistik film seperti Iman Tantaowi, El Badrun, Taslim dan lain-lain mulai belajar praktik disini dengan segala eksperimen. Terutama di film-film nasional sejak 1965, Delsy sebagai art director yang membawahi juru rias, decorator, penata pakaian, dan efek-efek tipuan, selalu lebih tekun untuk film-film realisme sepereti “biarkan musim berganti” atau film sejarah “buaya deli” dan lain-lain. Namun Delsy akhirnya bukanlah art director yang banyak di minta oleh produser. Terakhir di Bali 1983 untuk film “Jayaprana” versi baru, terlalu banyak menyita kesedihannya, katanya. Sebuah set perkampungan bali yang siap untuk adegan kebakaran, lebih dahulu harus diruntuhkan, karena ternyata izin shooting dari Departemen Penerangan Jakarta belum di urus produser. Ketika itu sebuah surat telegram dari Padang menyatakan ibunya meninggal, kemudian dari Himpunan Karyawan Film dan Televisi (KFT) kehadiran anaknya sendiri sebagai juru rias dan mengawalnya karena sakit sakitan tidak dibenarkan karena status “Elsa” masih magang juru Rias, meskipun berbakat dan telah banyak magang di film. Dalam rapat KFT kemudian yang memutuskan skorsing buat Delsy, diakuinya ini suatu kesalahan dalam profesi. Melukis dan melukis selalu tumpuan Delsy merekam segala kegembiraan, ketegangan atau kesedihan. Itu berlaku sejak dulu coret coret di senen, lalu dipindahkan ke canvas cat minyak. Periode demi periode secara kronologis reproduksi lukisan-lukisan yang mewakilinya sebisanya ditampilkan disini.
Menjelang tahun 1970 Dunia seni rupa Indonesia pernah diguncang dengan munculnya manifestasi ilustrasi yang tertampilkan dengan ekpresif dan penuh gerak. Ilustrasi itu adalah karya Delsy Syamsumar. Seorang illustrator dan pelukis kelahiran Bukittinggi yang mengadu nasib keberuntungan seni di Jakarta. Dan karya ilustrasinya tampak di berbagai majalah serta buku cerita bahkan dalam bentuk komik.
Karyanya yang berjudul Jojing mungkin dapat dianggap sebagai karya lukisan cat minyak terbaik menurut seorang pengamat lukisan.Karena bukan Cuma pada kebinalan wanita montok berjoget yang digambarkan, tetapi juga pada isi yang ingin disampaikan. Seperti sebuah karya realisme sosial. Jojing bercerita tentang seorang lurah yang sedang mengadakan pesta hura-hura untuk menyertai penandatanganan surat tanah seharga ratusan juta rupiah. Disini segala keseronokan wanita wanita Delsy bagai menemukan medan yang kuat menggenggam daya hidup. Tidak tepat benar apabila dibandingkan dengan realisme Sudjojono yang berani terus terang menguak dunia kelam seperti itu. Kehidupan yang unik dalam bidang kanvas Seni Rupa Indonesia.. Bila dikaitkan dengan gaya penuturan spontan serta ekspresitas-kegarisan yg menggebu, sekilas pintas ada satu dua lukisan potret wanitanya dengan manifestasi Antonio Blanco, pelukis kelahiran Spanyol yg menetap di Bali. Namun Delsy Syamsumar masih kuat berdiri pada dirinya sendiri. Dengan terus mengorek dan menekuni gaya tutur yang dibawa dunia ilustrasinya, lukisan lukisannya berusaha memadatkan pribadi khas, penuh gerak dan kemelut tersebut.
Referensi
sunting- ^ Giri Lingga Herta Pratama. "Profil Delsy Syamsumar". Merdeka.com. Merdeka.com. Diakses tanggal 24 Desember 2013.
Pranala luar
sunting- "Profil Delsy Syamsumar". Indonesian Film Center. Diakses tanggal 24 Desember 2013.
- "Detail Cantuman Filmografi". Dokumentasi Perfilman Indonesia. Perfilman.pnri.go.id. Diakses tanggal 24 Desember 2013.[pranala nonaktif permanen]
- "Motinggo Boesje". Situs Taman Ismail Marzuki. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-08-02. Diakses tanggal 24 Desember 2013.
- "Delsy Syamsumar (1935 – 2001)". Cimbuak.net. 12 Desember 2013. Diakses tanggal 24 Desember 2013.[pranala nonaktif permanen]
- Hikmat Darmawan (6 Desember 2007). "Komik Perjuangan Delsy Syamsumar, Periode 1962-1978". Seni Rupa. Guratcipta’s Weblog. Diakses tanggal 24 Desember 2013.