De Tachtigers (Bahasa Indonesia: Gerakan Delapan Puluh) adalah suatu gerakan sastra yang ada di Belanda yang melejit pada tahun 1880-an. Gerakan sastra ini dianggap berpengaruh pada gerakan sastra yang ada di Indonesia, Pujangga Baru.[1] Pengaruh ini diakui oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane dalam Pujangga Baru edisi April 1983 ketika mereka memperingati Willem Kloos.[2] Latar belakang gerakan ini adalah perubahan ekonomi dan politik yang terjadi di eropa sebagai hasil Perang Prancis-Jerman pada tahun 1870, industrialisasi, dan gerakan buruh dan sosialisme. De Tachtigers dimulai kira-kira pada tahun 1880-an di kalangan mahasiswa di Amsterdam.[3] Di kafe-kafe para mahasiswa ini membicarakan kejemuan terhadap keadaan sastra Belanda saat itu, dengan mengecualikan Multatuli dan Busken Huet. Bersama beberapa penulis mereka mendirikan lingkaran sastra Flanor. Untuk menerbitkan karyanya mereka mendirikan majalah bernama De Nieuwe Gids (Pandu Baru) pada tahun 1885. Redaksinya terdiri atas Willem Kloos, Albert Verwey, Frederik van Eeden, Wouter Paap, dan Frank van der Goes. Selain sastra, majalah itu memuat pembahasan tentang politik, sosial ekonomi, dan ilmu.[4] Tahun 1894 majalah itu berhenti terbit. Tahun 1895 majalah itu terbit kembali di bawah pimpinan Kloos, tetapi sudah tidak berarti lagi.[5] Melalui De Nieuwe Gids sastrawan Gerakan Delapan Puluh mengeritik para sastrawan Belanda saat itu yang kebanyakan berasal dari kalangan pendeta dan puisinya yang dianggap lembek. De Tahtigers dipengaruhi oleh estetisme penyair semacam Keats dan Shelley, individualisme Baudelaire dan Flaubert, dan naturalisme Prancis.[4] Di antara sastrawan Gerakan Delapan Puluh terdapat pertentangan soal pandangan kesenian dan kedudukan seniman. Willem Kloos menekankan pandangan seni untuk seni (l’art pour art), sedangkan sastrawan semacam Frank van der Goes dan Wouter Paap menentangnya.[6] Individualisme seniman yang dianut Kloos juga ditentang.[5] Pandangan kesenian lainnya yang dikemukakan oleh Gerakan Delapan Puluh adalah bentuk dan isi seni harus merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Bentuk seni ditentukan oleh isinya.[6]

Referensi sunting

  1. ^ Jakob Sumardjo. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern Jilid 1. Bandung: Citra Aditya Bakti ISBN 979414610 hlm. 73
  2. ^ Jakob Sumardjo. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern Jilid 1. Bandung: Citra Aditya Bakti ISBN 979414610 hlm. 74
  3. ^ Gerard Thermorshizen. 1971. "Gerakan Delapan Puluh di Negeri Belanda" dalam majalah Basis edisi Januari tahun XX volume 4 hlm. 105
  4. ^ a b Gerard Thermorshizen. 1971. "Gerakan Delapan Puluh di Negeri Belanda" dalam majalah Basis edisi Januari tahun XX volume 4 hlm. 106
  5. ^ a b Gerard Thermorshizen. 1971. "Gerakan Delapan Puluh di Negeri Belanda" dalam majalah Basis edisi Januari tahun XX volume 4 hlm. 108
  6. ^ a b Gerard Thermorshizen. 1971. "Gerakan Delapan Puluh di Negeri Belanda" dalam majalah Basis edisi Januari tahun XX volume 4 hlm. 107