Datu Sanggul, demikian masyarakat menyebutnya, adalah seorang ulama dan tokoh masyarakat, khususnya di wilayah Tatakan, Tapin Selatan, Tapin. Ia hidup sekitar abad ke-18 M, satu zaman dengan Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Datu Sanggul
LahirSekitar 18-an Masehi
MeninggalTatakan, Tapin Selatan, Tapin
Dikenal atasUlama

Ia berasal dari Palembang[1] (lalu ke: Aceh[2]kalimantan[2]), kemudian melanglang buana ke berbagai penjuru untuk menuntut ilmu, hingga akhirnya tiba di Tatakan dan berguru dengan Datu Suban,[1][2] seorang ulama besar yang ada di Tatakan, Tapin Selatan, Tapin juga, hingga akhir hayatnya dan makamnya terus diziarahi oleh masyarakat.[1]

Atas jasa-jasanya pada masyarakat, namanya dijadikan nama sebuah rumah sakit di Rantau, RSUD Datu Sanggul[3]

Nama sunting

Dalam salah satu riwayat diceritakan, Datu Sanggul disebutkan bernama asli Syekh Muhammad Abdussamad. Dalam riwayat lainnya, disebutkan bahwa nama dia adalah Ahmad Sirajul Huda.[1][2][4]

Gelar Datu Sanggul sunting

Salah satu riwayat menceritakan, hal tersebut karena ketekunannya dalam dalam mentaati perintah gurunya di dalam khalwat khusus yang sama artinya dengan ‘menyanggul’ atau menunggu (turunnya) ilmu dari Allah SWT

Ada juga yang mengatakan ia sering menyanggul (bahasa lokal) atau menghadang pasukan tentara Belanda di perbatasan Kampung Muning, sehingga tentara Belanda pun kocar-kacir dibuatnya.

Versi lainnya lagi menyebutkan, gelar Datu Sanggul itu karena kegemaran dia menyanggul (menunggu) binatang buruan.

Ada juga yang mengatakan rambutnya yang panjang dan selalu disanggul (digelung).

Kepribadian sunting

Ketulusan hatinya dalam melaksanakan ibadah, dan ketaqwaannya dalam menegakkan kalimat-kalimat Allah, serta keramat yang diberikan Allah kepadanya, membuat ia tesrkenal sampai ke pelosok negeri.

Satu hal yang amat tergambar dalam sosok Datu Sanggul, adalah ketekunannya dalam menuntut dan menyempurnakan ilmu.

Syair sunting

Datu Sanggul sangat terkenal pula dengan syair-syairnya yang begitu puitis dan penuh makna.

Salah satu syair yang sangat terkenal adalah syair pantun “Saraba Ampat[1][5] (bahasa banjar: Serba Empat). Syair tersebut berbahasa Banjar yang sarat dengan pelajaran tasawuf. Di antara petikan syair tersebut berbunyi;

“Allah jadikan saraba ampat. Syariat tharikat hakikat ma'rifat. Menjadi satu di dalam khalwat. Rasa nyamannya tiada tersurat”.

— Datu Sanggul

Ada lagi syair ma'rifat lainnya:

“Jangan susah mencari bilah. Bilah ada di rapun buluh. Jangan susah mencari Allah. Allah ada di batang tubuh”

— Datu Sanggul

Kemudian, ada lagi syair lain yang berbunyi:

"Riau-riau padang si bundan. Di sana padang si tamu-tamu. Rindu dendam tengadah bulan. Di hadapan Allah kita bertemu”.

— Datu Sanggul

Syair itu dilantunkan Datu Sanggul saat muncul dari tengah sungai dan berjalan di atas air dengan tenangnya tanpa basah sama sekali terkecuali pada anggota wudhu.

Riwayat sunting

Shalat Jum'at sunting

Pada waktu itu, di kerajaan Banjar yang masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai agama, mewajibkan bagi laki laki yang sudah aqil balik atau sudah dewasa untuk melaksanakan shalat Jum’at di masjid kampung masing masing. Kalau tidak melaksanakan kewajiban tersebut, akan didenda.

Dalam riwayat, Datu Sanggul dipercayai memiliki keramat melaksanakan Shalat Jum’at di Masjidil Haram setiap Jum’atnya. Karena itu, setiap hari Jum’at itu pun dia harus membayar denda kepada kerajaan sampai habis harta dia, hingga suatu saat yang tertinggal hanya kuantan dan landai (alat untuk memasak nasi dan sayuran).

Dalam kondisi itu, setelah didesak oleh istri dia karena tidak ada lagi barang yang bisa dipakai untuk membayar denda, Datu Sanggul akhirnya berjanji untuk melaksanakan shalat Jum'at di masjid kampungnya. Kala itu, sungai di kampungnya sedang meluap dan hampir terjadi banjir lantaran hujan yang sangat lebat pada malam harinya.

Di saat para jamaah sedang berwudhu di pinggir sungai,tiba-tiba Datu Sanggul datang dan langsung terjun ke sungai yang sedang meluap tersebut. Dia bercebur lengkap dengan pakaiannya. Orang-orang berteriak dan menjadi gempar. Dan tiba-tiba lagi, di tengah kegemparan masyarakat itu, Datu Sanggul muncul dari tengah sungai dan berjalan di atas air dengan tenangnya, lalu langsung memasuki masjid. Lebih mengherankan, pakaian dia tidak basah sama sekali, kecuali anggota wudhunya.

Masyarakat semakin terkejut, tatkala imam mengangkat takbir memulai shalat Jum’at diikuti jamaah lain, Datu Sanggul hanya melantunkan syair tadi; "Riau-riau padang si bundan. Di sana padang si tamu-tamu. Rindu dendam tengadah bulan. Di hadapan Allah kita bertemuAllahu Akbar”.

Bersamaan ucapan Allahu Akbar itu, tubuh dia mengawang-awang hingga selesai orang mengerjakan salat Jum'at. Melihat keadaan Datu Sanggul yang demikian, orang-orang yang berada di masjid semakin keheranan.

"Aku tadi salat di Makkah. Kebetulan di sana ada selamatan dan aku meminta sedikit, mari kita cicipi bersama walau sedikit"

— Datu Sanggul

Demikian kata Datu Sanggul di saat orang-orang masih keheranan.

Sejak saat itulah, masyarakat percaya sepenuhnya bahwa Datu Sanggul adalah seorang Waliyullah. Barang-barang Datu Sanggul yang semula disita pun dikembalikan oleh kerajaan.

Bersama Datu Kelampayan sunting

Dalam riwayat lagi, keramat Datu Sanggul ini pun dibuktikan Datu Kalampayan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.[1][2]

Pada suatu hari Jum’at di Kota Mekkah, Datu Kalampayan ada di sana. Sewaktu di Masjid Mekkah untuk melaksanakan shalat Jum’at berjamaah, Datu Kalampayan melihat seseorang sembahyang di dekatnya. Dia tertarik untuk mengetahui, karena orang itu mengenakan baju palimbangan hitam dan celana hitam serta memakai laung. Datu Kalampayan yakin bahwa ia bukan orang-orang Mekkah, karena orang-orang Mekkah tidak ada yang berpakaian demikian. Pakaian seperti itu hanya dipakai oleh orang Banjar atau orang tanah Jawa. Dan peristiwa itu dilihat Datu Kalampayan selama beberapa kali Jum’at. “Tidak salah lagi, ini pasti orang Banjar,” ujar Datu Kalampayan kala itu.

Lalu, Datu Kalampayan mengulurkan tangannya, kemudian mereka bersalaman. Tak puas bertemu di masjid, Datu Kalampayan membawa orang itu ke rumahnya. Syekh Muhammad Arsyad lalu bertanya dan dijawab orang tersebut bahwa ia bernama Datu Sanggul. Datu Kalampayan bertanya pula: “Saudara ini orang mana, asal negeri mana dan sudah berapa lama tinggal di Mekkah.”

Datu Sanggul menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Saya setiap Jum’at datang ke sini untuk bersembahyang, dan aku berasal dari Banjar. Tempat diamku di Banjar. Jelasnya Tatakan,” ujarnya.

“Jauh juga. Kalau begitu melewati Martapura, Kayu Tangi. Melalui tempat tinggalku. Itu sangat jauh. Jika demikian dengan apa ke mari setiap Jum’at?,” ujar Datu Kalampayan bertanya.

Datu Sanggul pun menjawab, “Aku tidak memakai apa-apa. Hanya karena hendak ke mari saja, dan kebetulan Allah SWT memberikan kekuatan kepadaku sehingga aku sampai ke sini.”

Terpikir dalam hati Datu Kalampayan tentang kedatangan Datu Sanggul itu, apakah ia memang masih waras atau orang yang terganggu pikirannya. Jawaban Datu Sanggul tadi dirasanya tak masuk akal sehat. Sebab mungkinkah jarak yang demikian jauhnya antara Tatakan dan Mekkah bisa dicapai hanya dalam waktu begitu singkat, dan bahkan tidak memakai apa-apa. Namun dari dialek bahasanya, Datu Kalampayan yakin bahwa Datu Sanggul adalah berasal dari Banjar.

Untuk menguji ketidakpercayaannya itu, Datu Kalampayan pun kemudian berkata kepada Datu Sanggul. “Kalau betul engkau pulang pergi dari Tatakan ke sini, coba tolong hari Jum’at yang akan datang bawakan aku oleh-oleh dari kampung. Aku sudah sangat lama tidak pulang. Mungkin sudah mencapai waktu 30 tahun. Selama ini aku selalu berada di Mekkah tak pernah ke mana-mana. Nah kira-kira musim buah apa di kampung kita? Bawakan ke mari untukku, terutama di Martapura sekarang ini musim apa kiranya,” ujar Datu Kalampayan.

Datu Sanggul lalu berdiri di depan jendela. Tangannya dilambaikannya ke luar jendela. Ketika ia menarik kembali tangannya, ada sebiji durian dan kuini. “Nah, Datu Kayu Tangi ambil durian dan kuini ini. Ini datang dari Sungkai,” kata Datu Sanggul.

Buah itu diterima Datu Kalampayan, dan diperiksa masih ada getah dari tangkai kuini itu. Sama seperti baru dipetik dari samping rumah. Durian dan kuini tersebut masak pula. Segera Datu Kalampayan mengupas dan memakannya. Memang betul durian dan kuini. Di Mekkah kedua buah tersebut tidak ada. Kuini Jawa saja tidak terdapat, kecuali jenis asam-asaman lain. Dan saat Datu Kalampayan kembali ke Tanah Banjar, ia semakin kaget karena ada buah kuini dari kerajaan Banjar yang tiba-tiba menghilang. Rupanya, buah kuini itulah yang dipetikkan Datu Sanggul untuk Datu Kalampayan.

Sejak pertemuan awal itu, Datu Sanggul dan Datu Kalampayan semakin sering bertemu di setiap salat Jum’at. Dan karena sering bertemu, maka terjalinlah persahabatan antara keduanya. Sering Datu Sanggul dibawa ke kediaman Syeikh Muhammad Arsyad. Datu Sanggul pun tidak pernah menolak. Dari persahabatan keduanya ini pula kemudian ada satu kitab yang dikenal Kitab Barencong.[1][2] Yakni, kitab yang dibagi dua secara diagonal. Satu bagian dipegang oleh Datu Kalampayan, dan sebagian lainnya dibawa oleh Datu Sanggul.

Wafat sunting

Datu Sanggul lebih muda wafat, yakni pada tahun pertama kedatangan Syekh Muhammad Arsyad di Tanah Banjar. Berkat keterangan Syekh Muhammad Arsyad-lah identitas kealiman dan ketinggian ilmu Datu Sanggul terkuak serta diketahui oleh masyarakat luas, sehingga mereka yang asalnya menganggap “Sang Datu” sebagai orang yang tidak pernah salat Jumat sehingga tidak layak untuk dimandikan, pada akhirnya berbalik menjadi hormat setelah diberitakan oleh Syekh Muhammad Arsyad sosok Datu Sanggul yang sebenarnya.[2]

Menjelang akhir hayatnya, Datu Sanggul minta dibawakan kain kafan kepada Datu Kalampayan apabila Datu Kalampayan selesai menuntut ilmu dari Mekkah (pulang ke Tanah Banjar). Dan ternyata, kain kafan itu digunakan untuk mengkafani Datu Sanggul sendiri yang berpulang ke hadirat Allah bertepatan dengan pulangnya Datu Kalampayan dari Mekkah ke Tanah Banjar.[1]

Makam sunting

Makam Datu Sanggul ramai diziarahi oleh masyarakat, terlebih apabila hari libur panjang tiba. Para peziarah tidak hanya warga Tapin tetapi juga berasal dari Barikin, Hulu Sungai Tengah (HST), bahkan mobil berpelat KH (Kalteng) dan KT (Kaltim) pun tampak parkir di halaman kompleks makam tersebut.[6]

Menurut penjaga Makam Datu Sanggul Rantau, Misrani, sudah menjadi kebiasaan setiap tahun, pascalebaran satu hari, banyak orang menziarahi Makam Datu Sanggul.[7]

Lihat juga sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h Khairil/Dillah (Media Kalimantan) (25 Oktober 2014). "Datu Sanggul Waliyullah Nan Berlimpah Karomah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-01-31. Diakses tanggal 2015-01-26. 
  2. ^ a b c d e f g Berimbang (site) (2 Desember 2014). "Riwayat Datu Sanggul". [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ Find the Best (site). "RSU Datu Sanggul Rantau". [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ Admin. "Datu Sanggul". [pranala nonaktif permanen]
  5. ^ Jalan Sufi (site) (Februari 2004). "[[Syair Serba]] Empat".  Konflik URL–wikilink (bantuan)
  6. ^ Hendra Gunawan (Tribun News) (17 Mei 2012). "Libur Panjang Makam Datu Sanggul Dipenuhi Peziarah". 
  7. ^ Widiyabuana Slay (Tribun News) (1 September 2011). "Makam Datu Sanggul Jadi Incaran Peziarah di Hari Lebaran". 

Pranala luar sunting