Dang Hyang Nirartha

(Dialihkan dari Danghyang Dwijendra)

Dang Hyang Nirartha, dikenal juga dengan berbagai nama seperti Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh, Mpu Nirartha, dan Dang Hyang Dwijendra, beliau dikenal sebagai Pangeran Sangupati di Lombok serta Tuan Guru Semeru di Sumbawa. Ia adalah seorang pendeta Hindu aliran Saiwa yang lahir di Jawa pada masa akhir Kerajaan Majapahit dan menghabiskan sebagian besar hingga akhir hidupnya di Bali. Di Bali, beliau diangkat sebagai Bagawanta atau pendeta kerajaan di Kerajaan Gelgel, Dalam naskah Paniti Gama Tirta Pawitra ia juga digambarkan sebagai Sang Atungga Dharma atau sebagai seorang pengembara yang menyebarkan ajaran agama dharma, ia juga dikenal sebagai seorang pujangga dan sastrawan terkemuka. Sosoknya dipandang sebagai reformis yang paling berpengaruh pada ajaran Hindu Bali dan warisan ajarannya hingga kini masih dipraktekkan di berbagai wilayah di Indonesia. ia juga dipercaya sebagai penemu ajaran Tarekat Watu Telu[1]

Dang Hyang Nirartha
Patung penghormatan Dang Hyang Nirartha di Pura Uluwatu
LahirIda Dwijendra
Abad ke-15
Daha, Majapahit
MeninggalPertengahan abad ke-16
Uluwatu, Bali
Sebab meninggalMoksa
KebangsaanMajapahit, Bali
Nama lainDang Hyang Dwijendra
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh
Tuan Guru Semeru
Pangeran Sangupati
PekerjaanPendeta Kerajaan
Guru Spritual
Dikenal atasReformis dan Guru Agama Hindu Bali
Suami/istri
  • Dyah Istri Komala Kemenuh
  • Dyah Sangawati Manuaba
  • Sri Patni Saraswati Keniten
  • Ni Gusti Luh Nyoman Genitir Manik Mas
  • Ni Jero Antapan
  • Ni Jero Beri
AnakDari istri pertama:
  • Ida Ayu Swabhawa
  • Ida Wiraga Sandi

Dari istri kedua:

  • Ida Kulwan
  • Ida Wiyatan
  • Ida Lor
  • Ida Ler

Dari istri ketiga:

  • Ida Rai Ratih
  • Ida Putu Wetan
  • Ida Telaga Ender

Dari istri keempat:

  • Ida Putu Kidul

Dari istri kelima:

  • Ida Wayan Sangsi Patapan

Dari istri keenam:

  • Ida Wayahan Temesi Bindu
Orang tua
  • Dang Hyang Smaranatha (ayah)Ida Sakti Sunyawati (ibu)
KerabatDang Hyang Astapaka (kemenakan)

Sejarah Awal

sunting

Kehidupan awal di Jawa

sunting

Catatan mengenai Dang Hyang Nirartha dapat ditelusuri secara rinci melalui berbagai sumber seperti Lontar Dwijendra Tattwa, Kakawin Dang Hyang Nirartha, Brahmana Catur, Usana Dwijendra, dan Babad Dwijendra namanya juga disebut dalam berbagai sumber lain baik di Bali dan luar Bali. Ia disebutkan sebagai putra dari seorang pendeta ternama di Majapahit bernama Dang Hyang Smaranatha juga dikenal dengan nama Mpu Punarjanna yang menjabat sebagai bagian dari dewan kependetaan istana dan ibunya bernama Ida Sunyawati, ia dilahirkan di Daha (sekarang Kediri, Jawa Timur). Sejak kecil, ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga penganut ajaran Buddha.[2]

Setelah dewasa dan menyelesaikan pendalaman ajaran agama, Dang Hyang Nirartha tercatat menjalani dua kali proses diksa (penahbisan keagamaan) yang pertama diangkat sebagai pendeta Buddha, dan kemudian sebagai pendeta Siwa setelah ia menikahi Dyah Komala seorang putri dari pendeta Siwa bernama Dang Hyang Penataran Kemenuh. Hal ini membuatnya memahami secara mendalam kedua ajaran tersebut, sebagaimana lazim pada masa sinkretik Hindu-Buddha saat itu. Ia juga diduga sempat mempelajari ajaran-ajaran dari komunitas lain seperti ajaran Islam yang dibawa oleh saudagar-saudagar dari Arab dan Melaka.

Tidak ada catatan merinci soal tanggal kelahirannya namun ia diperkirakan lahir pada masa pemerintahan Bhre Kertabhumi, di tengah ketegangan politik antara kubu Majapahit dan Girindrawardhana. Ketika konflik dan gejolak politik melanda Majapahit, Dang Hyang Nirartha memilih meninggalkan tanah kelahirannya dan menuju Pasuruan. Di sana ia menetap di pesraman (asrama keagamaan) milik Dang Hyang Panawasikan, sebelum melanjutkan perjalanannya ke Blambangan (wilayah ujung timur Pulau Jawa). Di Blambangan, ia dengan cepat diterima dan diangkat sebagai pendeta istana.

Namun, karena intrik dan fitnah dalam lingkungan kerajaan, ia diusir oleh Raja Bima Koncar dan dituduh menggunakan ilmu guna-guna untuk memikat saudari raja. Kubu Sri Bima Koncar diduga mengarang sebuah syair istana yang dikenal sebagai Syair Gita Gundah Gulana untuk menyinggung Dang Hyang Nirartha, Ia kemudian memilih untuk meninggalkan Blambangan dan pergi ke Bali.[3]

Menurut sebuah legenda, sebelum meninggalkan Blambangan, Dang Hyang Nirartha melontarkan kutukan terhadap sang raja, menyatakan bahwa kelak kewibawaannya akan runtuh dan ia akan mati dengan leher terpenggal.

Perjalanan ke Bali

sunting

Setelah peristiwa pengusirannya dari Blambangan, Dang Hyang Nirartha memutuskan untuk melanjutkan perjalanan spiritualnya ke Pulau Bali. Selama pelayaran melintasi Selat Bali, kapal yang ditumpanginya sempat terpisah dari rombongan keluarganya. Namun, mereka berhasil bertemu kembali di Bali, dan melanjutkan perjalanan secara bersama-sama.

Sebuah naskah mencatat waktu kedatangannya ke Bali dengan menggunakan candrasengkala yakni "Eka Tunggal Catur Bumi", yang merujuk pada tahun 1411 Saka atau 1489 Masehi. Disebutkan bahwa ia pertama kali berlabuh di Pantai Perancak, (kini terletak di Kabupaten Jembrana), dan pada masa itu dikenal dengan nama Kasikikang Bali Kulon.

Berkat pengetahuan keagamaan serta keterampilan spiritualnya, Dang Hyang Nirartha mulai membantu masyarakat di Desa Gading Wani. Ia terlibat dalam berbagai kegiatan seperti pengobatan tradisional dan memimpin upacara keagamaan sebagai seorang pendeta. Kepakarannya dalam menjelaskan nilai-nilai ajaran Hindu membuatnya dikenal luas oleh masyarakat. Banyak orang datang untuk mendengarkan ceramah keagamaannya dan belajar langsung darinya. Popularitasnya meningkat, dan ia mulai dikenal sebagai Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh (pendeta sakti/pintar yang baru datang). Di desa Gading Wani, ia menulis sebuah karya sastra berjudul Sebun Bangkung, yang diyakini sebagai karya pertama yang ia gubah setelah menetap di Bali.[4]

Sebelum kepergian Dang Hyang Nirartha ke timur, Ki Bendesa Gading Wani memohon agar diperkenankan menjadi muridnya. Permintaan tersebut dikabulkan oleh Dang Hyang Nirartha.

Kehidupannya di Bali

sunting

Popularitas Dang Hyang Nirartha dalam bidang keagamaan mulai menyebar ke berbagai wilayah di Bali. Setelah meninggalkan Desa Gading Wani, ia melanjutkan perjalanan menuju Desa Mas, Ubud. Di sana, Ki Bandesa Manik Mas menyambut kedatangannya dengan hangat dan mempersilakan beliau serta rombongannya untuk menetap sementara. Selama tinggal di Desa Mas, Dang Hyang Nirartha juga mengajarkan berbagai ajaran agama kepada masyarakat setempat. Ki Bandesa kemudian memohon agar dapat diangkat menjadi muridnya, dan permintaan tersebut dikabulkan.

Berita mengenai seorang pendeta yang cakap dalam ajaran agama mulai menyebar luas dan akhirnya sampai ke telinga Raja Bali saat itu, Dalem Waturenggong. Raja kemudian mengutus Kyai Penyarikan Dauh Bale Agung untuk menjemput sang pendeta. Dalam catatan tradisional, disebutkan bahwa utusan tersebut menunggangi kuda putih dengan payung putih sebagai simbol kehormatan.

Kyai Penyarikan terlebih dahulu menyempatkan diri untuk mendengarkan wejangan keagamaan dari Dang Hyang Nirartha, dan karena terlalu lama berdiskusi, ia terlambat satu hari dalam membawa sang pendeta ke istana. Setibanya di Gelgel, rombongan kerajaan ternyata sedang berada di Teluk Padang untuk menginspeksi kehidupan para nelayan disana. Atas permintaan Dalem, Dang Hyang Nirartha kemudian diminta menunggu di Parahyangan Mpu Kuturan, tempat suci yang dihormati sebagai bekas yoga Mpu Kuturan, hingga rombongan kerajaan kembali.[5]

Karena kedekatan spiritual dan intelektual yang terjalin antara keduanya, Dang Hyang Nirartha akhirnya diangkat sebagai Bagawanta atau pendeta utama kerajaan oleh Dalem Waturenggong. Ia dengan cepat menjadi penasihat spiritual dan keagamaan di Kerajaan Gelgel. Pesramannya kemudian didirikan di Desa Siku, yang menjadi salah satu pusat pendidikan spiritual dan keagamaan pada masa itu.[6]

Dalam kapasitasnya sebagai pendeta utama kerajaan, ia dikatakan mengajarkan dan menyempurnakan berbagai ilmu pengetahuan kepada keluarga istana, para pejabat tinggi kerajaan serta masyarakat umum. Ilmu-ilmu tersebut meliputi:

  • Wedha (ketuhanan),
  • Dharma (hukum dan moral keagamaan),
  • Sesana (tata kehidupan sosial),
  • Niti (hukum dan peraturan pemerintahan),
  • Wariga (ilmu perbintangan dan penanggalan),
  • Usada (pengobatan tradisional),
  • Itihasa (kisah epik dan syair keagamaan), serta
  • Babad (sejarah dan silsilah).

Di samping tugas-tugasnya sebagai pendeta kerajaan, Dang Hyang Nirartha juga dikenal aktif melakukan perjalanan suci atau dharmayatra ke berbagai pelosok Bali. Perjalanan ini bertujuan untuk menyebarkan dan memperkuat ajaran agama di kalangan masyarakat luas.

Peran Politik

sunting

Selain sebagai penasihat spiritual, Dang Hyang Nirartha juga memiliki peran penting dalam urusan politik dan militer Kerajaan Gelgel. Ia tidak hanya menjabat sebagai Bagawanta (pendeta utama), tetapi juga disebut sebagai Bagawanta Senapati, yakni penasihat utama para panglima militer kerajaan.

Peran strategisnya tercermin dalam kebijakan ekspansi kerajaan yang dijalankan oleh Dalem Waturenggong. Ia disebut-sebut sebagai tokoh yang membantu perencanaan penaklukan wilayah Blambangan pada tahun 1501 M, serta ekspedisi militer ke wilayah Lombok dan Sumbawa pada tahun 1520.

Pada tahun 1519, wilayah pesisir timur Pulau Bali kerap diganggu oleh sekelompok bajak laut dipimpin oleh Sri Krahengan, yang berasal dari Pulau Lombok. Untuk mengatasi gangguan ini, Dang Hyang Nirartha mengusulkan strategi untuk mengusir para pengganggu dan sempat diutus sebagai duta diplomatik untuk menjalankan misi perdamaian ke Lombok. Namun, misi tersebut gagal mencapai kesepakatan.

Atas dasar kegagalan tersebut, ia kemudian memberikan nasihat kepada Dalem Waturenggong agar Lombok ditaklukkan demi keamanan Bali. Atas saran ini, pasukan Kerajaan Gelgel melancarkan ekspedisi militer dan berhasil menundukkan wilayah Lombok, memperluas kekuasaan Bali ke bagian timur Nusantara.

Perjalanan Dharmayatra ke Lombok dan Sumbawa

sunting

Menjelang akhir hayatnya, Dang Hyang Nirartha memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan suci atau dharmayatra ke wilayah timur Nusantara. Menurut sebuah naskah, suatu ketika datang sebuah utusan dari Pulau Lombok ke istana Gelgel dan melaporkan bahwa wilayah mereka sedang dilanda wabah. Atas permintaan Dalem Waturenggong, Dang Hyang Nirartha ditugaskan untuk membantu rakyatnya di Lombok.

Ia berangkat ke Lombok untuk kedua kalinya bersama sekitar 40 orang murid. Di sana, ia tidak hanya melaksanakan tugas kemanusiaan, tetapi juga menyebarkan ajaran agama dan spiritualitas. Salah satu kontribusi pentingnya di Lombok adalah memperkenalkan konsep keagamaan yang dikenal sebagai agama Wetu Telu, sebuah bentuk sinkretisme antara ajaran Hindu, Buddha, dan Islam yang kemudian berkembang di kalangan masyarakat Sasak. Di Lombok, ia dikenal dengan sebutan Pangeran Sangupati.

Setelah menyelesaikan tugas di Lombok, ia berencana melanjutkan perjalanannya ke Sumbawa. Namun sebelum berangkat, ia terlebih dahulu diminta menghadap penguasa lokal di Lombok, yaitu Sri Selaparang, yang menurut tradisi adalah putra dari Dalem Waturenggong. Di sana, ia kembali memberikan pelajaran keagamaan dan spiritual kepada kalangan istana dan rakyat.[2]

Ia kemudian menyeberang ke wilayah timur, di Sumbawa, ia kembali melaksanakan misi dharmayatra dan dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Tuan Guru Semeru. Julukan ini menunjukkan penghormatan masyarakat Sumbawa terhadap kebijaksanaan dan kesaktian spiritualnya.

Perjalanan ke Sumbawa ini diyakini sebagai perjalanan terakhir Dang Hyang Nirartha ke luar Bali sebelum ia menghabiskan sisa hidupnya kembali di Pulau Bali.

Reformis dan Warisan

sunting
 
Pengenalan tahta kosong Padmasana sebagai tempat untuk Sang Hyang Acintya adalah merupakan hasil pergerakan reformasi yang diperkenalkan dan dipimpin oleh Dang Hyang Nirartha, pada saat yang sama penyebaran agama Islam sedang meluas di tanah Jawa.[7]

Dang Hyang Nirartha dianggap sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah perkembangan keagamaan di Bali. Ia dikenal sebagai reformis spiritual yang menyempurnakan ajaran Hindu Bali yang sebelumnya telah dirintis oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11.[8] Kedekatannya dengan Raja Dalem Waturenggong memungkinkan gagasan-gagasannya dengan cepat diadopsi di seluruh wilayah kerajaan, dan diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini..[9]

Salah satu warisan terpenting Dang Hyang Nirartha adalah pengenalan konsep arsitektur suci Padmasana, yaitu singgasana bagi Tuhan yang digambarkan sebagai Sang Hyang Acintya (Yang Tak Terpikirkan dan Tak Tergambarkan). Sejak masa itu, pemujaan terhadap arca-arca antropomorfis raksasa seperti di Jawa dan jaman Bedahulu mulai ditinggalkan, dan digantikan oleh simbolisme spiritual yang bersumber langsung dari ajaran Weda.[10]

Ia juga mengembangkan ajaran Hindu di Bali menjadi lebih siwaistis, dengan menekankan bahwa Siwa adalah manifestasi tertinggi dari Tuhan. Ia disebut sebagai penyusun berbagai doa (prakīrtanam) dan mantra puja, serta merumuskan sistem kurban suci yang dikenal sebagai Mahāpañcayajña. Dalam teks-teks keagamaan, ia sering dijuluki sebagai Sang Atunggadarma—yaitu pembawa dan penegak Dharma.[11] Warisannya sangat besar hingga ia digelari Dang Guru Suci oleh masyarakat Bali.

Konsep Padmasana dijelaskan secara rinci dalam lontar Wariga Catur Wanasaari, yang menyebutkan variasi nama Padmasana berdasarkan arah letaknya:

  • Padma Kencana (timur),
  • Padmasana (selatan),
  • Padmasanasari (barat),
  • Padmasana Lingga (utara),
  • Padmasana Asta Sedana (tenggara),
  • Padma Naja (barat daya),
  • Padma Lara (barat laut),
  • Padmasaji (timur laut),
  • Padma Kurung (tengah-tengah).[12]

Di Lombok, ia dikenal sebagai salah satu tokoh yang memperkenalkan bentuk sinkretisme keagamaan yang dikenal sebagai agama Wetu Telu, yaitu perpaduan ajaran Hindu, Buddha, dan Islam. Beberapa teks lokal menyebut bahwa ajaran-ajarannya menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat setempat, dan ia juga menulis teks bernuansa Islam-Hindu seperti Suluk Ali-Fatimah dan Nurcaya Nursada.[13] Sunan Kalijaga atau Raden Mas Syaid diklaim adalah salah satu murid dari Dang Hyang Nirartha saat beliau masih di tanah Jawa [14]

Karya Sastra

sunting

Dang Hyang Nirartha juga dikenal sebagai pujangga spiritual yang sangat produktif dalam menghasilkan karya sastra. Ia dan para muridnya menghasilkan sejumlah karya sastra keagamaan dan filsafat yang sangat berpengaruh dalam perkembangan literatur ilmu pengetahuan Bali. Beberapa di antaranya meliputi: Sebun Bangkung, Kawya Dharma Putus, Sarakusuma, Ampik, Ewer, Dharmatattwa, Mahisa Langit, Wasistapraya, Anyang Nirartha, Kakawin Usana Bali, Rareng Canggu, Wilet, Manyura, Anting-anting Timah Karasnagara, Sagaragunung, Jagal Tua, Amurwatembang, Rangga Wuni, Amerthamasa, Gitataken, Patal, Sahawiji, Raren Taman, Rarakedura, Kebo Dungkul, Tepas, Kakasen, Kakawin Arjuna Pralaba, Nusa Bali Tahun, Legarang, Dharma Pitutur, Gagutuk Menur, Brati Sasana, Sundarigama, Aras Negara, Siwa Sasana, Nurcaya Nursada, Suluk Ali-Fatimah, Smaragama, dan Mulaning Pati.[15]

Pura-Pura Peninggalan

sunting

Beberapa pura utama di Bali dipercaya sebagai tempat persinggahan atau didirikan oleh Dang Hyang Nirartha selama perjalanannya. Di antaranya:

  • Pura Perancak
  • Pura Rambut Siwi (menyimpan potongan rambut beliau)
  • Pura Pakendungan (menyimpan keris beliau, Ki Baru Gajah)
  • Pura Pulaki
  • Pura Melanting
  • Pura Sakti Mundeh
  • Pura Petitenget (menyimpan tempat sirih beliau)
  • Pura Gandamayu
  • Pura Taman Pule (bekas asrama spiritual beliau)
  • Pura Hulu Watu
  • Pura Pojok Batu
  • Pura Masceti
  • Pura Tengkulak
  • Pura Tanah Lot
  • Pura Giri Tambora (Dompu, Sumbawa)
  • Pura Kaprusan (Lombok)
  • Pura Batu Bolong (Lombok)
  • Pura Batu Selayar (Lombok)
  • Pura Baleku (Lombok) [16]

Pura-pura tersebut hingga kini menjadi pusat pemujaan penting dalam Hindu Bali, dan menunjukkan jejak spiritual serta warisan budaya yang diwariskan oleh beliau.[17]

Keluarga dan Keturunan

sunting

Dang Hyang Nirartha tercatat memiliki enam orang istri dan banyak putra-putri yang kemudian menjadi leluhur dari berbagai garis keturunan pendeta Siwa Siddhanta di Bali. Setelah konflik antara Dalem Waturenggong dan kelompok Bujangga Waisnawa di istana Gelgel,[18] posisi pendeta kerajaan tidak lagi dipegang oleh keturunan Bujangga Waisnawa, melainkan diserahkan kepada Dang Hyang Nirartha dan keturunannya. Bersama dengan Dang Hyang Astapaka, mereka membentuk landasan golongan pendeta dalam struktur tri wangsa (tiga golongan utama) di Bali.[19][20]

Menurut sumber-sumber Bali, berikut adalah daftar istri dan keturunan beliau:

  • Dyah Istri Komala, putri dari Ida Pedanda Aswamba Penataran Kemenuh di Daha. Dari pernikahan ini, lahir Ida Ayu Swabhawa dan Ida Wiraga Sandi, yang menjadi leluhur para pendeta Kemenuh di Bali.[21]
  • Dyah Sanggawati, putri dari Dang Hyang Panawasikan di Pasuruan. Dari perkawinan ini, lahir Ida Kulwan, Ida Wiyatan, Ida Lor, dan Ida Ler. Ida Kulwan dan Ida Wiyatan tetap tinggal di Jawa, sedangkan Ida Lor dan Ida Ler ikut ke Bali dan menurunkan garis pendeta Manuaba.[22]
  • Sri Patni Keniten Saraswati, adik dari Sri Bima Koncar dan putri dari Sri Mas Sembar. Dari pernikahan ini lahir tiga anak: Ida Rai Ratih, Ida Putu Wetan, dan Ida Telaga Ender, yang menjadi leluhur para pendeta Keniten.[23]
  • Ni Gusti Luh Nyoman Genitir Manik Mas, putri dari Ki Pangeran Bendesa Manik Mas II. Dari pernikahan ini lahir Ida Putu Kidul, yang menjadi leluhur para pendeta Mas.[24]
  • Ni Jero Antapan, seorang rakyat biasa yang bekerja sebagai dayang. Dari pernikahan ini lahir Ida Wayan Sangsi Patapan, leluhur para pendeta Patapan (Atapan).[25]
  • Ni Jero Beri, juga seorang rakyat biasa. Dari pernikahan ini lahir Ida Wayahan Temesi Bindu yang menurunkan keturunan Temesi.[26]

Referensi

sunting
  1. ^ Pringle, p 65
  2. ^ a b Tim Penulis. (1998). Ensiklopedi Bali. Denpasar: Yayasan Bali Galang.
  3. ^ Ida Bagus Wiana. (2004). Riwayat Dang Hyang Dwijendra. Denpasar: Pustaka Manikgeni.
  4. ^ Of Temples and Dragons Diarsipkan 2007-10-08 di Wayback Machine. Bali Plus
  5. ^ I Wayan Ardika, et al. (2006). Bali: Ancient Traditions in a New World. Denpasar: Udayana University Press.
  6. ^ I Gusti Bagus Sugriwa. (1957). Dwijendra Tattwa. Denpasar: Departemen Agama RI.
  7. ^ Bali and Lombok, p.46-47, 2001, Dorling Kindersley Limited, London ISBN 978-0-7566-2878-9
  8. ^ Tim Penyusun. (1998). Ensiklopedi Agama Hindu. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. hlm. 212.
  9. ^ (Indonesia) Sekelumit Sejarah dan Cara Sembahyang Diarsipkan 2007-09-11 di Wayback Machine. Bali Post 8 Juli 2007
  10. ^ Wiana, I Wayan. (2004). Memahami Simbol dan Makna Upacara Hindu. Surabaya: Paramita. hlm. 77–79.
  11. ^ Ardika, I Wayan. (2006). Bali: Pulau Dewata dalam Tinjauan Arkeologi dan Sejarah. Denpasar: Udayana University Press. hlm. 135–137.
  12. ^ Lontar Wariga Catur Wanasaari. Koleksi Lontar Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Disunting oleh I Made Subawa. (n.d.).
  13. ^ Sedana, I Made. (2010). Wetu Telu: Tradisi Keagamaan Sasak. Mataram: Lembaga Kajian Sasak. hlm. 44–47.
  14. ^ https://www.aswajadewata.com/mengapa-ada-atribut-islam-tersemat-di-pura-luhur-uluwatu-badung-bali/#:~:text=Kendatipun%20demikian%2C%20ternyata%20Dang%20Hyang,Sunan%20Kalijogo%20juga%20pernah%20berguru
  15. ^ Wirawan, I.B. (2015). Sastra Keagamaan Hindu Bali. Denpasar: Pustaka Bali. hlm. 52–59.
  16. ^ Sudharta, I Gusti Putu Ph.D. (1993). Babad Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Daerah Bali. hlm. 204–206.
  17. ^ Kotamadya Denpasar Bali Paradise
  18. ^ Agastia, I. B. G. (1992). Dwijendra Tattwa. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  19. ^ Goris, R. (1954). Hindu Javanaansche Godsdienstoefeningen. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
  20. ^ Ardika, I Wayan (2002). Bali: Masyarakat dan Kebudayaannya. Denpasar: Udayana University Press.
  21. ^ Lontar Usana Dwijendra. Disunting oleh I Made Titib. (1996). Denpasar: Upada Sastra.
  22. ^ Ardhana, I Ketut. (2015). Jaringan Keagamaan dan Budaya Hindu Majapahit-Bali. Yogyakarta: Ombak.
  23. ^ Babad Dwijendra. Koleksi Perpustakaan Daerah Bali.
  24. ^ Lontar Babad Geriya. Disunting oleh Pande Made Sukerta, 1998.
  25. ^ Sudhiarsa, I Wayan. (2000). Pemetaan Struktur Sosial Brahmana di Bali. Denpasar: Universitas Udayana.
  26. ^ Wiana, I Ketut. (2004). Siwa Siddhanta dan Relevansinya di Bali. Surabaya: Paramita.

Lihat pula

sunting

Pustaka lainnya

sunting