Cermin Terus adalah buku yang ditulis oleh Abdul Karim Amrullah, seorang ulama Minangkabau asal Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Buku ini diterbitkan pada 1930 oleh Drukkerij Baroe di Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) dalam bahasa Arab-Melayu setebal 238 halaman.[1][2] Judul lengkapnya yakni Cermin Terus: Berguna untuk Pengurus, Penglihat Jalan yang Lurus.

Cermin Terus
PengarangAbdul Karim Amrullah
Judul asliCermin Terus: Berguna untuk Pengurus, Penglihat Jalan yang Lurus
NegaraHindia Belanda
BahasaMelayu
GenreNon-fiksi
PenerbitDrukkerij Baroe
Tanggal terbit
1930
Halaman238 halaman
Diikuti olehPelita Jilid 1
Pelita Jilid 2 

Buku ini terutama berisi pandangan Abdul Karim Amrullah terhadap perempuan. Secara khusus, penulis menujukan buku ini kepada organisator Muhammadiyah di Minangkabau.[3][4]

Latar belakang sunting

Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Pada tahun 1917, Abdul Karim Amrullah berkunjung ke Jawa dan berjumpa dengan Ahmad Dahlan.[5] Tertarik dengan ide-ide Muhammadiyah, Abdul Karim Amrullah membawanya ke Minangkabau dengan membuka cabang di Sungai Batang pada tanggal 29 Mei 1925. Dalam tempo yang relatif singkat, ide-ide Muhammadiyah menyebar ke seluruh Minangkabau dan sejumlah cabang dibuka.[6] Perkembangan Muhammadiyah di Minangkabau diikuti pula dengan aktifnya bidang perempuan bernama 'Aisyiyah. Muhammadiyah mendorong perempuan untuk aktif berorganisasi sehingga dalam praktiknya, perempuan turut menghadiri kongres Muhammadiyah dan berpidato di depan umum.[3][4]

Walaupun memiliki andil menyebarkan Muhammadiyah di Minangkabau, Abdul Karim Amrullah tidak pernah menyatakan dirinya sebagai anggota atau pengurus. Ia malah tidak segan mengkritik beberapa praktik Muhammadiyah di Minangkabau yang dilihatnya tanpa didasari ilmu dan hanya taqlid terhadap Muhammadiyah di Yogyakarta. Kritikan-kritikannya ia sampaikan dalam berbagai khutbah sejak tahun 1928.[7][8] Di antara praktik Muhammadiyah yang ditentang oleh Abdul Karim Amrullah adalah tampilnya perempuan berpidato di depan laki-laki dan menghadiri kegiatan tanpa ditemani mahram.[3]

 
Poster Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi, 14–21 Maret 1930

Pada 24–26 Maret 1930, berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, yang merupakan kongres pertama organisasi itu di luar Jawa, Dalam kongres, pengurus 'Aisyiyah bernama Siti Rasyidah dijadwalkan akan berpidato. Namun, rencana ini memicu pertentangan dari Abdul Karim Amrullah yang menganggap hukum perempuan berpidato di hadapan majelis laki-laki adalah haram. Pertentangan akhirnya diselesaikan oleh Ahmad Rasyid Sutan Mansur sebelum kongres; demi kemaslahatan panitia meniadakan pidato pengurus 'Aisyiyah dalam rangkaian acara.[3]

Melihat Muhammadiyah tidak menunjukkan perubahan, Abdul Karim Amrullah kembali menegaskan pendiriannya.[3] Pada tahun 1930, ia menerbitkan buku berjudul Cermin Terus: Berguna Untuk Pengurus, Penglihat Jalan yang Lurus. Buku ini berawal dari khutbah-khutbah yang ia sampaikan sejak tahun 1928.[7] Penulisannya selesai pada 16 Mei 1929. Buku ini dicetak oleh Drukkerij Baroe di Bukittinggi dengan sumber biaya dari Yusuf Amrullah.[1]

Isi sunting

Isi Cermin Terus dibagi ke dalam topik-topik dalam 238 halaman. Ada 12 topik dalam buku yang membahas pandangan Abdul Karim Amrullah terhadap perempuan, kewajiban suami memberi nafkah, dan zakat fitrah.

Salah satu topik tentang perempuan membahas batas aurat perempuan. Di sini, Abdul Karim Amrullah mengharamkan perempuan untuk berpakaian ketat lantaran dianggap tidak sesuai dengan syariat. Adapun topik terkait Muhammadiyah berisi kritikannya terhadap pengumpulan zakat serta fenomena utusan 'Aisyiah berpidato di hadapan majelis laki-laki dan bepergian sendirian tanpa mahram.[2][3][4]

Polemik sunting

 
Abdul Karim Amrullah

Setelah diterbitkan pada tahun 1930, beberapa pernyataan Abdul Karim Amrullah dalam Cermin Terus menuai polemik. Dalam buku ini, Abdul Karim Amrullah mengkritik penggunaan kebaya pendek yang menonjolkan bentuk dan lekuk tubuh serta tak jarang memperlihatkan bagian dada. Ia menyebutnya sebagai "pakaian wanita lacur" yang segera menjadi bahan perdebatan. Kecaman atas pernyataan Abdul Karim Amrullah soal kebaya di antaranya datang dari Rasuna Said dan Nur Sutan Iskandar.[2][4]

Melihat Cermin Terus mendapat banyak kritik, Abdul Karim Amrullah pada tahun yang sama menulis Pelita Jilid 1. Di sini, ia kembali menegaskan haramnya kebaya pendek bagi kaum wanita Islam. Pada tahun 1934, ia menulis Pelita Jilid 2 untuk membantah sanggahan lain atas buku Cermin Terus dari seseorang bernama Kamaluddin Datuk Rajo Pahlawan, seorang guru di Kota Padang.[4]

Referensi sunting

  1. ^ a b Zikri Fadila. Penerbitan Minangkabau Masa Kolonial: Sejarah Penerbitan Buku di Fort de Kock (Bukittinggi) 1901-1942. hlm. 77–78. ISBN 978-602-7677-59-3. OCLC 1090634131. 
  2. ^ a b c Yulfira Riza & Titin Nurhayati Ma’mun (2018). "Berdamai dengan Perempuan: Komparasi Teks antara Naskah Al-Muāshirah dan Kitab Cermin Terus". Manuskripta. 8 (2): 113–136. doi:10.33656/manuskripta.v9i1.134. 
  3. ^ a b c d e f Hamka (1974). Muhammadiyah di Minangkabau. Yayasan Nurul Islam. hlm. 47–53. OCLC 610593110. 
  4. ^ a b c d e Hamka. Ayahku: Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra. Jakarta: Ummind. 1982. hlm. 192-193.
  5. ^ Historia.id (13 Juni 2019). Kisah Persahabatan Haji Rasul dengan Kyai Ahmad Dahlan. https://historia.id/politik/articles/kisah-persahabatan-haji-rasul-dengan-kyai-ahmad-dahlan-vZ5VB
  6. ^ Historia.id (3 Agustus 2015). Buya Hamka di Bawah Panji Muhammadiyah. https://historia.id/agama/articles/buya-hamka-di-bawah-panji-muhammadiyah-PRgn9
  7. ^ a b Jeffrey Hadler (2010). Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau. Freedom Institute. hlm. 283–284. ISBN 978-979-19466-5-0. OCLC 971526815. 
  8. ^ Daya, Burhanuddin (1990). Gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Tiara Wacana Yogya. ISBN 978-979-8120-13-8.