Ahmad Rasyid

tokoh dan pemimpin Muhammadiyah, 1895–1985
(Dialihkan dari Ahmad Rasyid Sutan Mansur)

Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau lebih dikenal dengan nama A. R. Sutan Mansur (Jawi: أحمد رشيد سوتان منصور) (15 Desember 1895 – 25 Maret 1985) adalah seorang pendakwah dan mubalig Indonesia yang juga merupakan tokoh dan pemimpin Muhammadiyah.[2] Ia turut berkecimpung di dunia politik sebagai anggota Partai Masyumi.

Ahmad Rasyid
أحمد رشيد
Potret sebagai anggota Konstituante, 1956
Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah ke-6
Masa jabatan
4 November 1953 – 25 Maret 1959
WakilFakih Usman (1953–59)
Faried Ma'ruf (1953–59)
Ahmad Badawi (1953–56)
Muljadi Djojomartono (1956–59)
Informasi pribadi
Lahir
Achmad Rasjid

15 Desember 1895
Pesisir Barat Sumatra, Hindia Belanda
Meninggal25 Maret 1985(1985-03-25) (umur 89)[1]
Jakarta, Indonesia
MakamTaman Pemakaman Umum Tanah Kusir
Partai politikMasyumi
Suami/istri
Fathimah Karim Amrullah
(m. 1917⁠–⁠1985)

Fathimah Abdullah
(m. 1928; meninggal 1984)
Hubungan
AnakFathimah Karim Amrullah: 16 anak (termasuk Hanif Rasyid)
Fathimah Abdullah: 11 anak
Orang tua
  • Abdul Samad al-Kusai (ayah)
  • Siti Abbasiyah (ibu)
PendidikanSumatra Thawalib
Pekerjaan
  • Guru agama
  • pedagang
  • politisi
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kehidupan awal dan pendidikan sunting

Ahmad Rasyid lahir di Kampung Air Hangat (Minangkabau: Kampuang Aie Angek), Manindjau, Onderafdeeling Oud Agam pada 15 Desember 1895 (dalam penanggalan Hijriah: Ahad, 27 Jumadil Akhir 1313) di malam hari. Ia merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara dari pasangan Abdul Samad Al-Kusai dan Siti Abbasyiyah atau lebih dikenal dengan Uncu Lumpur. Ayahnya adalah ulama terkenal di Maninjau, sedangkan ibunya bekerja sebagai guru agama.[3] Nama "Achmad Rasjid" sebenarnya diberikan oleh ayahnya, Abdul Samad Al-Kusai. Selama masa kecilnya, ia dibesarkan oleh neneknya, Andung Bayang dengan penuh kasih sayang, dibedungnya dengan kain panjang dan dihangatkannya dengan air panas di dalam botol.

Ahmad Rasyid mengenyam pendidikan formal pertama di bangku Tweede Class School (Indonesia: Sekolah Kelas Dua) yang setara dengan Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1902 dan di Nagari Maninjau sampai tahun 1909. Controlleur Manindjaoe memberikan bantuan pendidikan berupa beasiswa dan menjadi guru apabila Ahmad Rasyid meneruskan pendidikan di Kweekschool atau dalam Indonesia: Sekolah Guru, Fort de Kock. Namun, peluang tersebut diabaikannya dengan alasan lebih suka mempelajari agama Islam dan sikapnya yang menentang bentuk penjajahan.[3] Selain itu, ia sejak awal menetapkan pendiriannya untuk berkeinginan melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar. Gurunya, Abu Hanifah—dikenal sebagai Tuan Ismail—menyarankan Ahmad Rasyid agar mempelajari ilmu agama terlebih dahulu kepada Abdul Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Haji Rasul, ayahanda Hamka di Surau Jembatan Besi. Selama menerima bimbingan dari Haji Rasul dalam kurun waktu 1910 sampai 1917, ia mempelajari ilmu tauhid, ilmu kalam, mantiq, Bahasa Arab, tarikh atau sejarah kebudayaan Islam, dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya, seperti syariat, tasawuf, Al-Quran, tafsir, dan hadis dengan mustalahnya.

Ahmad Rasyid juga berhasil berunding dengan Van der Plas, Vise Vooreitte Kood van Indie, mengenai pembatalan peraturan-peraturan Belanda bagi kaum bumiputra, dan lain-lain, dalam menghadapi Perang Dunia kedua pada tahun 1942. Ketika masa pendudukan Jepang, mereka berusaha agar para muridnya tidak melakukan kegiatan ibadah seperti puasa dan menghalangi pelaksanaan salat dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang Magrib. Bahkan, sehari setelah Jepang menduduki Indonesia, Ahmad Rasyid berunding dengan Syu Co Kung (Penguasa Jepang di Padang), menjelaskan dan meminta agar kegiatan agama tidak diganggu.[butuh rujukan]

Keluarga sunting

 
Hanif Rasyid, putra Ahmad Rasyid dari pernikahannya dengan Fathimah Karim Amrullah.

Pada tahun 1917 oleh gurunya, Abdul Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Haji Rasul memperkenalkan putri sulungnya, yaitu Fathimah binti Karim Amrullah.[4] Di usia yang masih remaja, Fathimah dinikahkan dengan Ahmad Rasyid di Sungai Batang. Sejak saat itulah Ahmad Rasyid memperoleh gelar Sutan Mansur, sesuai dengan adat Minangkabau bahwa setiap laki-laki yang menikah akan mendapatkan gelar.[5] Dari pernikahan mereka dikaruniai enam belas anak, salah satunya Hanif Rasyid, seorang mantan Ketua Umum Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Agam dari 2000 sampai 2005 dan Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Agam.[6]

Ia sebenarnya memiliki dua istri dengan nama yang hampir sama, yaitu Fathimah binti Karim Amrullah—dijuluki sebagai Umi Tuo—dan Fathimah binti Abdullah—dijuluki sebagai Umi Etek—yang menikah pada tahun 1928 dengan dikaruniai 11 orang anak,[7] termasuk Inin Salma yang merupakan tokoh akademisi pendiri sekolah keperawatan Muhammadiyah di Kalimantan Barat bersama dengan suaminya, Barry Barasilla.[8] Fathimah binti Abdullah tidak tinggal satu atap dengan Ahmad Rasyid, ia berkediaman di Rawamangun, Jakarta Timur dan meninggal dunia pada 28 April 1984.[9]

Pindah ke Pulau Jawa sunting

Ahmad Rasyid tidak diizinkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan terjadinya pemberontakan di Mesir oleh Inggris, sehingga membuatnya terhambat dalam melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar. Kegagalannya meraih cita-cita melanjutkan sekolah ke Universitas Al-Azhar membuat dirinya harus merantau ke Pekalongan dengan berdagang kain batik dan bekerja sebagai guru agama Islam untuk kaum perantauan dari Sumatra dan lainnya pada tahun 1921.[3] Ia merantau dengan meninggalkan istri pertamanya, Fathimah Karim Amrullah, saat itu sedang hamil dititipkan kepada Haji Rasul.

Di Pekalongan, Ahmad Rasyid tidak semata-mata berbisnis saja, tetapi juga menyelenggarakan pengajian rutin. Melalui kelompok pengajian yang diberi nama Nurul Islam ini, ia dapat menerangkan dakwah Islam yang sesuai dengan dinamika masyarakat. Kemudian, pada tahun 1922, Ahmad Rasyid mengikuti suatu kelompok pengajian yang digelar di Pekajangan. Kyai yang mengisi pengajian tersebut adalah Ahmad Dahlan yang saat itu menjabat Ketua Umum Pengurus Besar MuhammadiyahBelanda: President Hoofdbestuur Moehammadijah—datang ke Pekalongan guna mengadakan tablig Muhammadiyah. Selain itu, Ahmad Dahlan juga meresmikan perkumpulan "Ambudi Agama"—sekarang bernama Muhammadiyah Cabang Pekajangan—pimpinan Kyai Haji Abdurrahman. Sejak saat itulah, Ahmad Rasyid mulai mengenal Ahmad Dahlan dan bergabung dengan Muhammadiyah pada 1922.

Peristiwa tersebut ternyata mengubah perjalanan hidupnya. Ahmad Rasyid begitu terkesan dengan kefasihan Ahmad Dahlan dalam menjelaskan berbagai persoalan agama, sehingga ia banyak menimba ilmu pengetahuan Muhammadiyah dari Ahmad Dahlan. Selain mengenal Ahmad Dahlan di tahun yang sama, Ahmad Rasyid juga mengenal tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, semisal Abdul Rozak Fachruddin dan Mas Mansur. Akibat pengaruh Muhammadiyah, Ahmad Rasyid semakin mengenal Islam tidak hanya dari aspek hukumnya, melainkan juga aspek sosial kemasyarakatan dan ekonomi dari dua tokoh tersebut.

Pada tahun 1923, Ahmad Rasyid bekerja sebagai guru dan mubalig Muhammadiyah. Muridnya terdiri dari berbagai kalangan, antara lain para bangsawan jawa, yakni Raden Ranoewihardjo, Raden Tjitrosoewarno, dan Raden Oesman Poedjoetomo. Beberapa muridnya juga berasal dari kalangan keturunan Arab dan perantau Minangkabau yang menetap di Kota Pekalongan dan sekitarnya. Selepas dua tahun kemudian, Ahmad Rasyid kembali ke tanah kelahirannya sebagai mubalig Muhammadiyah untuk daerah Sumatra. Ahmad Rasyid diberikan tugas untuk kembali ke Pekalongan pada tahun 1928, sebelum akhirnya ditugaskan ke Kalimantan setahun setelahnya.

Sekitar tahun 1924, sewaktu Ahmad Rasyid berada di Pekalongan ada fragmen lain yang menarik, yaitu datangnya Hamka dengan tujuan silaturahmi dan belajar agama Islam. Ketika itu, Hamka berusia remaja merantau ke Yogyakarta pada 1921 sebelum akhirnya mendatangi Pekalongan.[10] Di daerah itu, Hamka diperkenalkan dengan banyak tokoh Islam sekaligus pergerakan, salah satunya Mohammad Roem. Hamka kembali ke Padang Panjang pada tahun 1925.[11] Setahun setelahnya, Hamka menulis novel pertamanya dengan tajuk Si Sabariah.[12]

Perjalanan karier sunting

Sejak tahun 1915 hingga tahun 1917, Ahmad Rasyid bekerja sebagai guru agama di pondok pesantren milik Abdul Karim Amrullah. Pada saat perkumpulan Sumatra Thawalib, Ahmad Rasyid oleh kerabat-kerabatnya dipercayai sebagai guru agama. Oleh karenanya, Sumatra Thawalib langsung mengutusnya menjadi guru di daerah Kuala Simpang, Aceh, selama dua tahun, yakni dari 1918 sampai 1919, setelah itu kembali ke Minangkabau.[13] Ketika mengenal dengan Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, Ahmad Rasyid tertarik dan bergabung sebagai anggota "Persjarikatan Moehammadijah" pada tahun 1922 dan mendirikan suatu pergerakan Muhammadiyah ketika pendudukan Belanda dipersulit perizinannya dengan menggunakan nama samaran yang dinamakan sebagai Perkumpulan Nurul Islam bersama dengan para pedagang yang merantau dari Sungai Batang dan Maninjau yang telah bergabung dengan Muhammadiyah di Pekalongan.[a][3]

Selain memimpin Muhammadiyah di Pekalongan, Ahmad Rasyid juga aktif mengajar sebagai guru agama Islam Madrasah Muhammadiyah dalam kurun waktu dua tahun, antara 1923 sampai 1925. Ia juga terlibat aktif dalam Kongres Islam Hindia Belanda yang dilaksanakan di Cirebon dan Surabaya bersama Oemar Said Tjokroaminoto dan Agus Salim untuk memimpin umat sesuai Al-Quran dan masalah amaliyah Islam. Ketika tahun 1926, Ahmad Rasyid ditugaskan memimpin Muhammadiyah di Minangkabau dan setahun setelahnya ditugaskan ke Aceh dengan tugas yang sama. Ahmad Rasyid diutus oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah (bahasa Indonesia: Pengurus Besar Muhammadiyah) semasa pemberontakan antara kelompok komunis dengan Muhammadiyah pada akhir 1925 untuk memimpin dan menata organisasi Islam tersebut yang mulai tumbuh di Minangkabau. Salah satu kalimat populernya semasa memimpin Muhammadiyah di tanah Minangkabau, yaitu "Muhammadiyah di-Nagarikan, Nagari di-Muhammadiyahkan."

Ahmad Rasyid juga diberi tugas sebagai mubalig Muhammadiyah untuk menjadi Guru Kulliyatul Muballighin atau Kulliyatul Muallimin Muhammadiyah di Padang, antara tahun 1932 hingga 1942. Seringkali Ahmad Rasyid diminta untuk menjadi penasihat dalam ihwal agama, baik secara pribadi maupun institusi.

Ketika masa Hindia Belanda, Soekarno sempat diasingkan ke Bengkulu tahun 1938.[15] Ahmad Rasyid saat itu ditunjuk sebagai penasihat Soekarno.Soekarno berguru kepada Ahmad Rasyid mengenai ajaran agama Islam. Bahkan, Soekarno dengan Fatmawati dinikahkan langsung oleh Ahmad Rasyid sebagai penghulu dari pernikahan mereka.

Pada masa Pendudukan Jepang di Indonesia, ia dilantik menjadi anggota Tsuo Sangi-kai dan juga sebagai anggota Tsuo Sangi-in atau saat ini setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk daerah Minangkabau.

Kemerdekaan Indonesia sunting

Pada 19 Agustus 1945, Ahmad Rasyid seperti biasanya mengadakan kuliah subuh dihadapan para jemaahnya. Saat itu, ia mengumumkan bahwa Kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan oleh dua tokoh bangsa, yaitu Soekarno dan Mohammad Hatta.[16] Ia pun menggelorakan resolusi jihad dan menyuruh para jemaahnya untuk kembali pulang ke rumah mereka masing-masing. Resolusi jihad dilakukan atas upaya mempertahankan kemerdekaan.

Pasca kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi Islam yang menghadapi krisis identitas: apakah akan terlibat atau tidaknya dalam panggung politik praktis. Kepemimpinan Ahmad Rasyid, antara lain keikutsertaan Muhammadiyah sebagai anggota istimewa Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan berpartisipasi dalam memeriahkan Pemilu 1955. Tidak lama di panggung politik praktis, Muhammadiyah lalu keluar dari Masyumi.

Setelah kemerdekaan Indonesia, oleh Mohammad Hatta, Ahmad Rasyid diangkat menjadi Imam (pemuka agama Islam) bagi TNI Komandemen Sumatra yang berkedudukan di Kota Bukittinggi, antara tahun 1947 hingga 1949. Ahmad Rasyid lagi-lagi diminta menjadi Penasihat TNI Angkatan Darat dan berkantor di Markas Besar TNI Angkatan Darat usai pengakuan kedaulatan RI pada tahun 1950. Namun, permintaan tersebut ditolak, karena ia harus berkeliling semua daerah di Sumatra untuk bertablig selaku pemuka Muhammadiyah. Pada tahun 1952, Soekarno pernah memintanya lagi menjadi penasihatnya dengan syarat harus memindahkan dan memboyong keluarganya dari Kota Bukittinggi ke Jakarta. Justru permintaan tersebut lagi-lagi ditolaknya dengan alasan hanya ingin menjadi penasihat secara tidak resmi, sehingga tidak perlu pindah.

Ahmad Rasyid pernah menjabat di beberapa lembaga legislatif pasca kemerdekaan RI, salah satunya Komite Nasional Indonesia Pusat. Ia mengemban amanat sebagai anggota badan legislatif tersebut terhitung sejak 29 Agustus 1945, hingga masa pembubarannya pada tanggal 15 Februari 1950. Selanjutnya, Ahmad Rasyid menduduki kursi Fraksi Majelis Syuro Muslimin Indonesia selaku anggota Konstituante untuk daerah pemilihan Sumatra Tengah mulai pada 9 November 1956 hingga mengakhiri masa jabatannya tanggal 5 Juli 1959. Ia berpihak kepada Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia karena didasari oleh kebenciannya pada Partai Komunis Indonesia dan kediktatoran Soekarno, meskipun tidak terlibat secara langsung. Ketika berada di Partai Masyumi, ia sempat menjabat di jabatan strategis, yakni Wakil Ketua Majelis Syura dari 1949 sampai 1952. Selain sebagai seorang guru, Ahmad Rasyid juga berprofesi sebagai dosen di Fakultas Falsafah Hukum Muhammadiyah, Padang Panjang, dalan rentang tahun 1953 hingga 1956.

Setelah terpilih dan dikukuhkannya sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1953–1956, Ahmad Rasyid berpindah ke Yogyakarta.

Mengembangkan Muhammadiyah sunting

Sejatinya, sebelum Ahmad Rasyid, pikiran-pikiran dari Muhammadiyah sudah lebih dahulu disebarluaskan oleh Haji Rasul, bahkan beberapa cabang Muhammadiyah sudah berdiri di Maninjau dan Kota Padang Panjang.[b] Dengan kata lain, Haji Rasul telah membuka jalan bagi Ahmad Rasyid untuk dapat mengembangkan Muhammadiyah di Minangkabau. Perkembangan organisasi Islam ini justru semakin pesat, setelah dia mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dan sejumlah alim ulama "kaum mudo", yakni kelompok reformasi Islam di ranah Minangkabau. Penyebaran Muhammadiyah dilakukan Ahmad Rasyid melalui pengajian-pengajian yang sesuai dengan metode dakwah.

Melalui pengajian yang disampaikan oleh Ahmad Dahlan di Pekajangan membuat Ahmad Rasyid mengenal Muhammadiyah, seusai salah satu jemaah bertanya mengenai pembahasan tentang tafsir Surah Al-Ma’un dilakukan secara berulang-ulang.[18] Pada saat itulah, Ahmad Dahlan menyampaikan Surah Ali Imran ayat 104, bahwa untuk menjelaskan maksud tafsir Surah Al-Ma’un dibutuhkan gerakan yang bersifat sistematis dan terencana, yaitu melalui Persyarikatan Muhammadiyah. Konon, penjelasan rasional inilah yang telah menarik hati Ahmad Rasyid untuk bergabung dalam Muhammadiyah.[19]

Ahmad Rasyid juga aktif di organisasi Islam lainnya, seperti Kongres Al-Islam dan Sarekat Islam. Pada "Zaman Bergerak", antara tahun 1912 hingga 1926, ketika dunia perpolitikan di Indonesia mengalami pengaruh besar terhadap ideologi Sosialisme-Marxis melalui kelompok Sarekat Islam Semarang.[20] Gerakan Muhammadiyah dan Kongres Al-Islam tidak lepas dari infiltrasi ideologi kiri. Ia termasuk tokoh yang membela Muhammadiyah dan menentang pergerakan spektrum politik kiri. Di Minangkabau, tokoh penggerak komunisme dipimpin oleh Datuk Batuah dengan usahanya mempengaruhi para santri dan pemuda Minangkabau untuk bergabung dalam Sarikat Rakyat (SR).

Selaku mubalig tingkat pusat Muhammadiyah, Ahmad Rasyid ditugaskan mengadakan tablig keliling ke beberapa bagian Sumatra Tengah dan Sumatera Selatan. Aktivitasnya juga melatih pemuda-pemudi dalam Lembaga Kulliyatul Muballighin yang didirikannya untuk menjadi kader Muhammadiyah. Adapun metode yang digunakan untuk latihan itu adalah mujadalah atau kelompok diskusi. Murid-muridnya antara lain Duski Samad (adik kandungnya sendiri), Abdul Malik Ahmad (penulis tafsir Al-Quran), Zein Jambek, Marzuki Yatim (mantan Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Sumatera Barat), Hamka, Fatimah Latif, Khadijah Idrus, Fatimah Jalil, dan Jawanis.

Ketika berdirinya Muhammadiyah Cabang Padang Panjang yang didirikan oleh Saalah Yusuf Sutan Mangkuto, Ahmad Rasyid, selaku perwakilan Hoofdbestuur (Indonesia: Pengurus Besar) Muhammadiyah Hindia Timur, untuk memimpin sidang peresmian pada tanggal 2 Juni 1926, meskipun saat itu, Padang Panjang sedang dipengaruhi oleh ideologi komunis yang berbasis "Groep Sarekat Rakjat" Padang Panjang. Pada awalnya, Muhammadiyah Cabang Padang Panjang ini dinamakan sebagai "Perkoempoelan Tani".[21] Setelah diresmikannya, organisasi Naqsyabandiyah ramai berbondong-bondong menjadi anggota Muhammadiyah.

Pada tahun 1930, diselenggarakan Kongres ke-19 Muhammadiyah di Minangkabau. Salah satu keputusannya adalah perlunya jabatan Konsul Besar Muhammadiyah di setiap keresidenan. Maka berdasarkan Konferensi Daerah di Kota Payakumbuh tahun 1931, dipilihlah Ahmad Rasyid sebagai Konsul Besar Muhammadiyah untuk wilayah Minangkabau hingga 1943. Kemudian atas usul Konsul Aceh dan konsul-konsul seluruh Sumatra setuju untuk mengangkat Ahmad Rasyid sebagai Imam Muhammadiyah Sumatra. Selain itu, ia mendirikan sekaligus memimpin Kulliyah Al-Muballighin Muhammadiyah di Padang Panjang sebagai tempat membina mubalig tingkat atas. Disinilah tempat para kader muda Muhammadiyah diberikan pengetahuan agama dengan bertugas memperkenalkan Muhammadiyah dan ajaran agama Islam di Minangkabau dan daerah-daerah sekitarnya. Kelak, para mubalig tersebut akan memainkan peran penting untuk memimpin dan menggerakkan roda Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta.

Perkembangan dan kemajuan Muhammadiyah di Minangkabau mendapat perhatian khusus dari Pengurus Besar Muhammadiyah Yogyakarta. Maka pada akhir tahun 1926, Muhammadiyah mengutus Ahmad Rasyid untuk mengawal perkembangan persyarikatan itu agar tidak melenceng ke arah yang tidak dikehendaki.

Ia juga mendirikan "Djihad" untuk mengembalikan dan meluruskan umat Islam kembali kepada agamanya dalam rentang tahun 1949 sampai 1952. Kemudian pada tahun 1943, Ahmad Rasyid selaku Konsul Besar Muhammadiyah melebarkan sayap wilayahnya untuk seluruh Indonesia saat itu, hingga 1953. Ia berperan dalam membentuk Muhammadiyah Cabang Lubuk Jambi, ketika Dasin Jamal dan Sulaiman Khatib meminta mandatnya pada awal September 1933.[22]

Lika-liku pengalamannya dalam mengembangkan Muhammadiyah sampai kepada titik yang teratas. Ketika berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto, Banyumas pada tahun 1953, hampir seluruh peserta kongres memilih Ahmad Rasyid sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah, sehingga terpilihlah dia untuk periode 1953–1956.[23] Maka dengan demikian, ia menjadi tokoh luar Jawa pertama yang menduduki kursi eksekutif di Muhammadiyah. Menyelesaikan periode pertama kepemimpinannya, kemudian ia terpilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-33 di Yogyakarta selama tiga tahun menjabat untuk periode 1956 sampai 1959. Pada Kongres Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 dan kongres setelahnya, ia diangkat sebagai Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah hingga tahun 1980. Setiap Ahad Subuh senantiasa memberikan pelajaran agama Islam, khususnya tauhid di ruang pertemuan Kantor Perwakilan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan gedung dakwah milik Muhammadiyah.

Ahmad Rasyid dalam dua periode kepemimpinan di Muhammadiyah berhasil merumuskan khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah atau biasa disebut Khittah Palembang. Kandungan dari Khittah Muhammadiyah, yaitu hakikat Muhammadiyah, lalu Muhammadiyah dan masyarakat, Muhammadiyah dan politik, Muhammadiyah dan Ukhuwah Islamiyah, serta dasar dan program Muhammadiyah. Antara poin-poin Khittah Palembang yang dijabarkannya adalah menanamkan setiap anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadhu', meningkatkan mutu akhlak, meningkatkan wawasan dalam ilmu pengetahuan, dan memajukan Muhammadiyah dengan penuh tanggung jawab. Dirincikan pula bahwa setiap anggota harus menjalankan kemuliaan akhlak, menjaga keutuhan organisasi dan menata birokrasi, meningkatkan amal, membentuk kader dengan mempertinggi kualitas anggota, menjaga tali persaudaraan, dan menuntun penghidupan bagi seluruh anggota Muhammadiyah.[24][25]

Ahmad Rasyid dikenal mempunyai sifat toleran dalam bidang fikih, misalnya ketika adanya perbedaan pendapat terkait furu'iyyah atau hukum agama yang tidak pokok, akan tetapi ia tidak terlalu mempermasalahkan. Hasil Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang belum ditemukan pendapat yang lebih kuat, sehingga tidak mengikat anggota-anggota Muhammadiyah.

Perjuangannya dalam mengembangkan, mengenalkan, dan menyebarluaskan Muhammadiyah di Sumatera Barat membuat dia memiliki julukan yang diberikan oleh Muhammad Yunus Anis, yaitu sebagai "Bintang Barat Muhammadiyah", setelah Mas Mansoer dipandang sebagai "Bintang Timur Muhammadiyah". Hamka menjulukinya sebagai ideolog Muhammadiyah. Ahmad Rasyid pun dipandang selaku tokoh utama Muhammadiyah dari generasi pertama, setelah Ahmad Dahlan, A. R. Fachruddin, Kyai Haji Ibrahim, Abdul Mu'thi, Mukhtar Bukhari, dan Mas Mansur.

Pandangan sunting

Pentingnya jihad dibahas olehnya secara khusus dalam ceramahnya antara tahun 1952 sampai 1957 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ahmad Rasyid menilai bahwa asalnya jihad adalah dari pengharapan manusia untuk dibela atau ditolong oleh Allah. Namun, Allah hanya akan menolong, apabila hambanya bersedia menolong agama Allah. Jihad terdiri dari tiga tahap yang harus ditempuh, yaitu adanya roh suci yang menghubungkan antara sang makhluk dengan sang pencipta. Roh suci yang dia maksudkan adalah beriman kepada Allah yang menjadi pokok dari jihad.[26] Selanjutnya, terdapat tenaga ilmu dan tenaga benda. Menurutnya, ketiga hal tersebut dapat menyempurnakan jihad. Akan tetapi, semua tetap berpangkal pada keimanan.

Rasul itulah yang behadapan dengan umat yang mempunyai ciri kebangsaannya sendiri-sendiri dengan segala macam peradaban (kebudayaannya) masing-masing. Bagi tiap umat itu telah dibangkitkan seorang rasul yang membawa risalah kepada suatu peradaban dan tingkat kemajuan umat itu sendiri.

— Ahmad Rasyid Sutan Mansur, 1982

Jihad dan iman, menurutnya, bersumber dari petunjuk-Nya dan balasan atas jihad tersebut adalah anugerah-Nya, berupa baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, maksudnya adalah negara yang aman, makmur, dan Allah mengampuni para penghuninya.

Menurut Ahmad Rasyid, jihad terjadi dalam dua kondisi, yakni dalam masa perang dan masa damai. Di masa perang tidak semata-mata berada di barisan terdepan, melainkan persiapan mendukung peperangan itu sendiri, seperti halnya urusan logistik. Sedangkan jihad pada masa damai bertugas untuk membangun, menegakkan, dan menyusun. Jihad akan mengalami kekalahan apabila kebudayaan asing telah masuk.

Masa tua sunting

Perjuangan dakwah terus dilakukan sejak masa muda hingga akhir hayat Ahmad Rasyid. Ketika memasuki umur 80-an, ia kembali ke kampung halamannya di Maninjau, Agam, Sumatera Barat dan pada akhirnya berpindah ke Jakarta sampai akhir hayatnya.[27][28] Ia beralamat di Jalan Lontar Atas, Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Di masa tuanya justru banyak tetamu yang mengunjungi rumahnya untuk belajar ilmu tauhid, terutamanya Hamka selepas meletakkan jabatannya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia.[9]

Pada 22 Maret 1985, A. R. Fachruddin bersama dengan pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah datang menjenguk Ahmad Rasyid di Rumah Sakit Islam, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Setelah sebulan mendapat perawatan medis, ia meninggal dunia pada hari Senin, 25 Maret 1985 Masehi, bertepatan tanggal 3 Rajab 1405 Hijriyah di usia 89 tahun.[1] Jenazah almarhum dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir setelah disalatkan di Masjid Kompleks Muhammadiyah. Pemakamannya dihadiri oleh Munawir Sjadzali selaku Menteri Agama, Mohammad Natsir, dan sejumlah tokoh agama lainnya.

Karya sastra sunting

Sebagai seorang penulis produktif, Ahmad Rasyid banyak menuliskan artikel-artikel mengenai Islam, terutamanya Islam Sunni. Dirincikan doktrin-doktrin Islam secara sistematis dan mengaitkannya dengan tauhid dengan cara pembahasan terhadap ayat-ayat Al-Quran dan Hadis. Penerbit Panji Masyarakat sendiri banyak mengumpulkan buku-buku cetakan lama yang ditulis oleh Ahmad Rasyid dari beberapa kolektor untuk dicetak ulang. Berikut merupakan daftar karya sastra berupa buku yang ditulis oleh Ahmad Rasyid.[29]

  • Pokok-Pokok Pergerakan Muhammadiyah (Al-Hidayah, ?)
  • Hidup di Tengah Kawan dan Lawan
  • Ruh Islam (Bulan Bintang, 1965)
  • Panggilan Illahi
  • Seruan Kepada Kehidupan Baru
  • Jihad (Panjimas, 1982)
  • Tauhid Membentuk Pribadi Muslim (Pustaka Panjimas, 1975)[27]
  • Penerangan Asas Muhammadiyah
  • Ruh Jihad (Panji Masyarakat, ?)

Dalam budaya populer sunting

Catatan sunting

  1. ^ Pergerakan Muhammadiyah sebelumnya dilakukan di setiap daerah dengan nama yang berbeda-beda, seperti Nurul Islam di Pekalongan, Sidiq Amanah Tabligh Fathonah di Solo, Al-Munir di Ujung Pandang, Al-Hidayah di Garut, dan lain-lain. Pemerintah Hindia Belanda baru mengeluarkan perizinan diperbolehkannya Muhammadiyah bergerak di luar Yogyakarta sendiri baru keluar pada tanggal 2 September 1921.[14]
  2. ^ Kantor Cabang Muhammadiyah pertama di Minangkabau, saat ini telah diubah fungsinya sebagai Madrasah Tsanawiyah Swasta Muhammadiyah Sungai Batang.[17]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b Administrator (1985-03-30). "Meninggal dunia". Tempo.co. Diakses tanggal 2021-06-13. 
  2. ^ Al-Hamdi, Ridho (Juli 2020). Paradigma Politik Muhammadiyah. Diva Press. hlm. 185. Setelah masa kepemimpinannya di Muhammadiyah, A. R. Sutan Mansur terpilih sebagai Penasihat PP Muhammadiyah selama lima periode berturut-turut dari 1962 sampai dengan 1977. 
  3. ^ a b c d Nursalikah, Ani (2020-06-12). "Buya AR Sutan Mansur: Imam Muhammadiyah Sumatra". Republika.co.id. Diakses tanggal 2021-10-02. 
  4. ^ Aisyah Rasyid 2009, hlm. 24.
  5. ^ Silfia Rahmah Harahap (12 November 2022). "Gelar Adat Minangkabau, Makna dan Cara Pemberiannya". iNews. Padang. Diakses tanggal 14 Mei 2023. 
  6. ^ "Agam Berduka, Buya Hanif Rasyid AR Wafat". Kaba12. 2017-03-18. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-01. Diakses tanggal 2021-10-01. 
  7. ^ "Mengenang Buya Sutan Mansur". Okezone.com. 2008-04-25. Diakses tanggal 2021-10-03. 
  8. ^ "Inin Salma AR Sutan Mansur, Perempuan Penggerak Pendidikan Muhammadiyah Kalbar". Suara Muhammadiyah. 2022-10-07. Diakses tanggal 2023-03-22. 
  9. ^ a b Administrator (1982-02-20). "Sutan mansur, buya yang lain". Tempo.co. Diakses tanggal 2021-10-03. 
  10. ^ "Objek wisata Rumah Kelahiran Buya Hamka". Antara News. 2008-08-21. Diakses tanggal 2023-03-22. 
  11. ^ Nurfatoni, Mohammad (2020-08-28). "AR Sutan Mansur Ideolog Muhammadiyah". PWMU. Diakses tanggal 2021-10-04. 
  12. ^ "Hamka". Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2023-02-08. Diakses tanggal 2023-03-22. 
  13. ^ "Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur (Ketua 1956–1959)". Muhammadiyah. 2021-02-17. Diakses tanggal 2021-10-03. 
  14. ^ "Sejarah:Proses Masuknya Muhammadiyah ke Jawa Barat". Muhammadiyah Jawa Barat. Diakses tanggal 2021-10-04. 
  15. ^ "Buya AR Sutan Mansur". 123dok. Diakses tanggal 2021-10-03. 
  16. ^ Hanif Sufyan, Fikrul (2019-10-22). "Resolusi Jihad Buya Sutan Mansur". IBTimes.id. Diakses tanggal 2023-03-22. 
  17. ^ Yudistira, Rudi (2019-05-12). "Menggali Sejarah Lahirnya Muhammadiyah di Pulau Sumatra dan Ketokohan A.R Sutan Mansur". 123dok. Diakses tanggal 2021-10-04. 
  18. ^ Aisyah Rasyid 2009, hlm. 26.
  19. ^ "AR Sutan Mansur: Buya Tuo dari Maninjau". ibtimes.id. 2018-12-07. Diakses tanggal 2021-10-05. 
  20. ^ Takashi Shiraishi 2005.
  21. ^ "Tokoh Naqsyabandiyah Bergabung ke Muhammadiyah Demi Lawan Komunis". Rakyat Merdeka. 2020-09-15. Diakses tanggal 2021-10-05. 
  22. ^ "Sejarah Muhammadiyah Riau". Muhammadiyah Riau. Diakses tanggal 2021-10-04. 
  23. ^ Virgiawan, Ryan (2019-11-19). "Mengenal Semua Ketua Umum Muhammadiyah dari Masa ke Masa". MiNews. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-04. Diakses tanggal 2021-10-04. 
  24. ^ Aisyah, Novia (2021-09-16). "7 Butir Khittah Palembang Muhammadiyah, Siswa Madrasah Perlu Tahu". detikcom. Diakses tanggal 2021-10-04. 
  25. ^ "Buya H. Ahmad Rasyid Sutan Mansur Adalah Guru dan Ulama Besar Minangkabau". Sumbar Today. 2018-01-31. Diakses tanggal 2021-10-05. 
  26. ^ "Jihad di Mata AR Sutan Mansur". Jejak Islam. 2017-02-09. Diakses tanggal 2021-10-05. 
  27. ^ a b "Buya AR Sutan Mansyur: Tauhid Membentuk Pribadi Muslim". TablighMu. 2015-01-02. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-01. Diakses tanggal 2021-10-01. 
  28. ^ "Ahmad Rasyid Sutan Mansur". Tempo.co. 2016-02-12. Diakses tanggal 2021-10-03. 
  29. ^ Rasyid, Ahmad. "Cerita menarik". 
  30. ^ "Film "Buya Hamka" dirilis pada 20 April 2023 sambut Ramadhan". Antara News. Jakarta. 2023-03-14. Diakses tanggal 2023-03-21. 

Pranala luar sunting

Jabatan organisasi Islam
Didahului oleh:
Bagus Hadikusumo
Ketua Umum PB Muhammadiyah
1953–1959
Diteruskan oleh:
Muhammad Yunus Anis