Budi daya ikan adalah salah satu bentuk budi daya perairan yang khusus membudidayakan ikan di tangki atau ruang tertutup, biasanya untuk menghasilkan bahan pangan, ikan hias, dan rekreasi (pemancingan). Ikan yang paling banyak dibudidayakan adalah ikan mas, salmon, lele, dan tilapia (sejenis ikan nila).[1]

Aqua-Boy, kapal Norwegia yang digunakan untuk mengangkut ikan hidup
Melepaskan telur dari ikan Oncorhynchus mykiss betina
Kolam pemeliharaan ikan di Oaxaca, Meksiko
Kolam pemuliaan dan penetasan ikan di Pangasinan, Filipina

Terdapat permintaan yang tinggi untuk ikan di seluruh dunia sehingga menyebabkan overfishing di sektor perikanan tangkap. Budi daya ikan menyediakan sumber alternatif penyediaan ikan. Namun, budi daya ikan karnivora seperti salmon tidak selalu mengurangi usaha perikanan tangkap karena nutrisi yang dibutuhkan ikan salmon spesifik dan sering kali sulit dibudidayakan, seperti ikan kecil yang mengandung minyak ikan yang menjadi mangsa utama ikan salmon di alam liar. Namun ilmuwan kini telah mengembangkan pakan alternatif berbasis tumbuhan untuk budi daya ikan karnivora.[2]

Berdasarkan data FAO, total ikan yang dibudidayakan secara global pada tahun 2008 mencapai 33,8 juta ton dengan nilai mencapai US$60 miliar.[3]

Spesies utama

sunting
Spesies utama ikan yang dibudidayakan pada tahun 2010[4]
Budi daya air tawar Hasil (ton) Budi daya air laut Hasil (ton) Budi daya air payau Hasil (ton)
Ctenopharyngodon idella 4,337,114 Salmo salar 1,421,647 Epinephelus tauvina 3,677,691
Hypophthalmichthys molitrix 4,116,835 Larimichthys crocea 378,622 Mugil cephalus 333,322
Catla catla 3,869,984 Epinephelus tauvina 215,028 Oreochromis niloticus 107,489
Cyprinus carpio 3,444,203 Salmo trutta 143,751 Lates calcarifer 49,234
Hypophthalmichthys nobilis 2,585,962 Seriola quinqueradiata 139,077 Oxyeleotris marmorata 34,123
Carassius carassius 2,217,798 Sparus aurata 118,212 Dicentrarchus labrax 23,313
Oreochromis niloticus 1,990,275 Lateolabrax japonicus 107,903 Oreochromis mossambicus 17,103
Labeo rohita 1,167,315 Dicentrarchus labrax 102,538
Pagrus auratus 73,924

Metode

sunting

Pemeliharaan ikan dapat dilakukan dengan berbagai metode di berbagai tempat. Metode yang paling banyak digunakan adalah dengan menggunakan kolam ikan, tangki akuaponik, dan kandang.

Akuaponik

sunting

Akuaponik adalah sistem budi daya berkelanjutan yang mengkombinasikan akuakultur dan hidroponik dalam lingkungan yang bersifat simbiotik. Dalam akuakultur yang normal, ekskresi dari hewan yang dipelihara akan terakumulasi di air dan meningkatkan toksisitas air jika tidak dibuang. Dalam akuaponik, ekskresi hewan diberikan kepada tanaman agar dipecah menjadi nitrat dan nitrit melalui proses alami, dan dimanfaatkan oleh tanaman sebagai nutrisi. Air kemudian bersirkulasi kembali ke sistem akuakultur.

Karena sistem hidroponik dan akuakultur sangat beragam bentuknya maka sistem akuaponik pun menjadi sangat beragam dalam hal ukuran, kerumitan, tipe makhluk hidup yang ditumbuhkan, dan sebagainya.[5]

Kandang

sunting

Kandang ikan adalah kandang yang ditempatkan di danau, kolam, sungai, atau laut untuk melindungi ikan hingga ikan siap dipanen.[6][7] Kandang dapat didesain dari berbagai jenis bahan. Ikan yang dipelihara di dalam kandang dapat diberi pakan maupun dibiarkan memakan pakan yang datang dari lingkungan sekitarnya. Tipe pemeliharaan dengan kandang memiliki keuntungan yaitu dapat dipelihara sesuai dengan habitat ikan tersebut (air tawar, payau, atau laut) sehingga spesies ikan yang dipelihara sangat beragam. Kandang ikan juga dapat dipelihara bersamaan dengan pemanfaatan air lainnya seperti rekreasi dan irigasi.[6] Kekurangan sistem kandang adalah risiko lepasnya ikan ke lingkungan. Jika spesies ikan yang dipelihara bukan spesies endemik, dapat menjadi spesies invasif.[6] Pencemaran perairan setempat dapat menjadi risiko bagi ikan yang dipelihara dan begitu juga sebaliknya, pemeliharaan ikan dapat menyebabkan pencemaran lokal, terutama dari sisa pakan dan obat-obatan. Penyakit dan hama dapat berpindah lebih mudah dari lingkungan ke kandang dan sebaliknya.

Logam paduan tembaga banyak digunakan sebagai bahan untuk membuat kandang karena memiliki sifat antimikroba dan algasida sehingga dapat mencegah menempelnya organisme di rangka kandang (biofouling)

Budi daya ikan komposit

sunting

Budi daya ikan secara komposit adalah teknologi yang dikembangkan di India pada tahun 1970-an dengan mendayagunakan ikan lokal dan ikan non-lokal yang dikombinasikan. Ikan-ikan tersebut dipilih karena memiliki jenis makanan dan cara makan yang berbeda-beda. Pada percobaan di India, ikan yang digunakan adalah Cirrhinus cirrhosus dan ikan mas sebagai konsumen dasar kolam, ikan Labeo rohita yang memakan di antara permukaan dan dasar kolam, dan ikan Catla catla dan Hypophthalmichthys molitrix sebagai konsumen permukaan. Ikan yang mampu memakan feses dari ikan lain juga bisa dipelihara sehingga meningkatkan efisiensi pakan. Metode ini mampu memproduksi hingga 6000 kg ikan per hektare per tahun.[8][9]

Permasalahan

sunting

Permasalahan pada budi daya ikan pada dasarnya sama dengan permasalahan pada budi daya perairan. Yang paling menonjol adalah efisiensi pada budi daya ikan karnivora, seperti budi daya salmon, yang membutuhkan nutrisi lebih banyak dari yang dihasilkannya. Namun kebutuhan pasar terhadap ikan salmon masih tinggi sehingga pembudidayaan masih berkembang. Para pembudi daya sudah mampu mensubstitusi protein menggunakan sumber dari tumbuhan, tetapi kebutuhan lemak, terutama Omega 3, masih sulit untuk dipenuhi dari sumber tumbuhan sehingga masih membutuhkan suplai dari hewani.

Permasalahan berikutnya adalah kepadatan ikan yang dipelihara jauh melebihi kepadatan di habitat alaminya, hingga mencapai 6 ekor per meter persegi.[10] Kepadatan yang tinggi dapat menyebabkan luka pada ikan karena tingginya kontak dan gesekan antar ikan dan dengan komponen kandang. Konsentrasi amonia dari urin dan feses ikan yang tinggi juga dapat berdampak pada kesehatan ikan.

Meski demikian, beberapa jenis ikan juga cenderung membentuk populasi dengan kepadatan tinggi di alam liar (fish school) seperti ikan herring, untuk memudahkan mencari mangsa dan menghindari predator. Para pembudidaya mencoba untuk mengoperasikan sistem pemeliharaan yang sesuai supaya tidak mengurangi rasio konversi pakan (kg pakan kering/kg hasil daging ikan). Pengukuran tingkat kesejahteraan hewan menjadi salah satu metode ilmiah dalam menentukan kesuksesan budi daya ikan.[11]

Pembudidayaan dengan kepadatan tinggi dapat menyebabkan kerusakan habitan di sekitar area pemelihataan. Tingginya feses yang diproduksi dengan campuran sisa pakan dan obat-obatan dapat mencemari perairan setempat.[12] Dekomposisi sisa pakan dan feses dapat meningkatkan populasi bakteri yang mampu menguras kandungan oksigen terlarut sehingga mampu membunuh kehidupan di perairan. Berbagai usaha budi daya sering kali berpindah setelah tempat awal sudah tidak sehat sehingga nelayan yang mengusahakan perikanan tangkap menjadi terganggu oleh kerusakan lingkungan yang diakibatkan para pembudidaya berpindah ini.[13]

Kekhawatiran terhadap keberadaan penyakit dan parasit ikan membuat para pembudidaya menggunakan obat-obatan dan antibiotik untuk menjaga agar tingkat kematian ikan tidak tinggi (meski tidak 100 persen sembuh[14]). Dalam banyak kasus, terutama pemeliharaan di alam terbuka menggunakan sistem kandang, obat-obatan dan antibiotik ini mampu mengalir ke lingkungan di luar area pemeliharaan sehingga mempengaruhi ekosistem sekitar.[15] Penggunaan antibiotik juga dapat menyebabkan hama dan penyakit lebih tahan sehingga menciptakan resistensi antibiotik. Antibiotik juga bersifat persisten dan dapat terkonsumsi oleh manusia.[16] Pemanfaatan vaksin kini lebih ditekankan untuk mengurangi penggunaan obat-obatan dan antibiotik.[17]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ FAO FishStat database
  2. ^ "Budidaya Ikan Tanpa Minyak Ikan". Deutsche Welle. 6 Desember 2013. 
  3. ^ Fishery and Aquaculture Statistics: Aquaculture Production 2008 FAO Yearbook, Rome.
  4. ^ FAO FishStat Plus (2012)
  5. ^ Rakocy, James E.; Bailey, Donald S.; Shultz, R. Charlie; Thoman, Eric S. "Update on Tilapia and Vegetable Production in the UVI Aquaponic System" (PDF). University of the Virgin Islands Agricultural Experiment Station. Diakses tanggal 11 March 2013. 
  6. ^ a b c http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1679-62252011000400024
  7. ^ "Off-shore fish farming term". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-02-04. Diakses tanggal 2014-02-03. 
  8. ^ http://www.fao.org/docrep/field/003/AC229E/AC229E07.htm
  9. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-09. Diakses tanggal 2014-02-04. 
  10. ^ ""Fuss Over Farming Fish", Alaska Science Forum, June 27, 1990". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-19. Diakses tanggal 2014-02-04. 
  11. ^ Journal of Fish Biology 68 (2): 332-372 February 2006
  12. ^ Naylor RL, RJ Goldburg, H Mooney, et al (1998) "Nature's Subsidies to Shrimp and Salmon Farming" Science, 282 (5390): 883–884. DOI:10.1126/science.282.5390.883
  13. ^ Salmon Farming Tactics Produce Unhealthy Fish
  14. ^ Lymbery, P. CIWF Trust report, "In Too Deep - The Welfare of Intensively Farmed Fish" (2002)
  15. ^ Barrionuevo, Alexei (July 26, 2009). "Chile's Antibiotics Use on Salmon Farms Dwarfs That of a Top Rival's". The New York Times. Diakses tanggal 2009-08-28. 
  16. ^ Facts About Antibiotic Resistance
  17. ^ "UNH Aquaculture website". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-08-10. Diakses tanggal 2014-02-04. 

Bahan bacaan terkait

sunting

Pranala luar

sunting