Barbara Cho Chung-i

Barbara Cho Chung-i (1781-1839) adalah martir Katolik Korea. Ia adalah istri dari Sebastianus Nam I-gwan. Dia lahir pada tahun 1781 di keluarga bangsawan ternama. Dia menikah dengan Sebastianus Nam ketika dia berusia 16 tahun dan melahirkan seorang putra namun putranya meninggal tak lama setelah dilahirkan.

Ketika penganiayaan pada tahun 1801, banyak dari kerabatnya menjadi martir, dan suaminya dibuang ke pengasingan. Barbara hidup bersama dengan adik laki-lakinya, namun adiknya itu membuat dia tidak senang. Dia tidak dapat menjalankan agamanya dengan setia, karena tidak ada seorang imam pun di Korea pada waktu itu, dan dia tinggal di tempat yang jauh dari umat Katolik lainnya. Ketika dia berusia sekitar 30 tahun, dia berangkat ke Seoul dan tinggal bersama dengan sebuah keluarga Katolik yang saleh. Kemudian, Barbara memiliki kesempatan untuk menjalankan agamanya dengan setia.

Dia adalah sepupu dari Paulus Chong Ha-sang, dan dia membantu Paulus dalam mempersiapkan untuk perjalanannya ke Peking untuk membawa misionaris asing ke Korea. Setelah Pastor Pasifikus Yu datang ke Korea, suami Barbara dibebaskan dari pengasingan pada tahun 1832, dan Barbara dapat membantu imam dari Tiongkok itu. Setelah Pastor Yu kembali ke Tiongkok, Barbara membeli sebuah rumah kecil untuk ditinggali oleh Pastor Maubant dan Chastan juga Uskup Imbert. Umat Katolik datang ke rumahnya untuk berdoa, mengaku dosa, dan Misa. Dia pernah berkata: “Jika penganiayaan terjadi, kita semua harus mati. Kita harus melatih diri kita sendiri dengan nati raga demi kemuliaan Allah dan menyelamatkan jiwa kita.”

Barbara ditangkap pada bulan Juli 1839. Dia terus menerus menolak permintaan kepala polisi untuk menyangkal imannya dan untuk memberitahukan tempat persembunyian suaminya. Dia berkata: “Bahkan jika saya harus mati sepuluh ribu kali, saya tidak dapat melakukan dosa.” Akibatnya, dia disiksa dengan kejam. Kakinya dipelintir, dan dia dipukuli dengan gada sebanyak 180 kali. Bahkan setelah dia dikirim ke pengadilan yang lebih tinggi, dia dipukuli lebih kejam lagi. Setelah suaminya ditangkap, dia juga disiksa dengan kejam. Keduanya menunjukkan keberanian dan keinginan untuk mati demi iman mereka.

Barbara adalah seorang yang baik kepada sesama tahanan dan juga suka menghibur mereka. Dia mengucapkan selamat tinggal kepada mereka dan kemudian dia tertidur. Dia bangun tepat sebelum dia dibawa keluar untuk dieksekusi. Barbara dibawa ke bagian luar Pintu Gerbang Kecil Barat dan dipenggal pada tanggal 29 Desember 1839 bersama dengan enam orang umat Katolik lainnya. Ketika dia menjadi martir, dia berusia 58 tahun.[1]

Referensi sunting