Arsitektur Tradisional Suku Rote


Arsitektur Tradisional Suku Rote yaitu rumah tradisional suku Rote yang menghuni kepulauan Rote, kabupaten paling selatan Republik Indonesia. Arsitektur tradisional suku Rote menghadirkan aspek fisik dan non-fisik dalam rancangan bangunannya[1]. Aspek non fisik seperti adat, kepercayaan, dan agama yang diwujudkan dalam bentuk, simbol-simbol, hiasan-hiasan, ukiran-ukiran. Sedangkan aspek fisik tampak pada bentuk bangunan, material dan konstruksi serta struktur. Arsitektur tradisional suku Rote selalu berhubungan dengan iklim, manfaat dan bahan bangunan yang digunakan sesuai dengan berbagai macam kegiatan serta fungsinya.[2]

Luas dan Letak Geografis sunting

Kabupaten Rote mempunyai luas wilayah 1.280,10 km 2 yang terdiri dari 107 pulau, tetapi hanya 8 pulau yang berpenghuni, yaitu pulau Rote, Usu, Nuse, Ndao, Landu, dan pulau Do’o. Sedangkan 99 pulau lainnya tidak berpenghuni.[3] Kepulaan ini terletak di 10° - 110 LS dan 1210 - 1230 BT, merupakan kepulau yang paling selatan dengan iklim tropis serta angin musom yang kering. Sehingga alam kepulauan Rote gersang serta banyak ditumbuhi pohon-pohon lontar yang sangat bermanfaat bagi penduduk.[3]

Batas-batas wilawah kabupaten Rote Ndao;

Utara: Laut Sawu

Selatan: Samudera Hindia

Timur: Laut Timor

Barat: Laut Sawu dan Samudera Hindia[3]

Bentuk Arsitektur Suku Rote sunting

Bentuk arsitektur tradisional suku Rote hampir sama dengan arsitektur Belu dan Sabu, karena suku Rote dan Sabu berdasarkan asal-usul suku berasal dari kabupaten Belu. Keadaan alam, dan bahan bangunan yang digunakan juga sangat mempengaruhi bentuk arsitekur tradisional suku Rote, yaitu berbentuk persegi panjang, atap limas atau pelana dengan kemiringan lebih dari 300.[3]

Rumah tradisional atau rumah adat pada awalnya tidak mempunyai daun pintu dan jendela. Dan generasi muda dengan arsitek lokal menambahkan daun pintu dan jendela. Sedangkan arsitektur rumah raja terdiri dari tiga lantai, yaitu lanta 1 atau lantai dasar sebagai tempat penyimpanan kembang gula dan padi, lantai 2 sebagai tempat tidur dan pertemuan raja, lantai 3 sebagai tempat penyimpanan hasil bumi dan rempah-rempah.[3]

Struktur sunting

Penduduk pulau Rote membangun rumah tradisional dengan atap berbentuk limas atau pelana dengan kemiringan di atas 300. Hal itu berhubungan dengan bahan penutup atap yang digunakan, yaitu rumput alang-alang, daun nyiur, daun gewang atau gebang serta daun lontar. Pondasi rumah menggunakan konstruksi tiang kayu yang dipancangkan ke dalam tanah. Dinding rumah tradisional terbuat dari pelepah lontar atau gebang yang dirangkai dengan belahan bambu. Rangkaian pelepah itu lalu diikatkan pada balok pohon lontar atau balok kayu. Masyarakat Rote menyebut dinding dari pelepah gebang itu dengan istilah bebak. Selain pelepah lontar, dinding rumah juga menggunakkan papan kayu, papan batang kelapa atau papan batang pohon lontar.[4]

Rumah tradisional mempunyai dua pintu, yaitu pintu utama yang diposisikan tepat di tengah, dan pintu belakang yang menghubungkan dengan dapur, juga diposisikan di tengah. Bagian kedua merupakan ruang makan dan kamar tidur atau kama dale. Di ruang tamu terdapat loteng untuk menyimpan barang-barang dan cadangan pangan seperti jagung dan gula. Tetapi ada rumah yang mempunyai lumbung terpisah dan cadangan pangan disimpan lumbung. Posisi usuk atau dodoik sebagai tulang bagian atap rumah tidak boleh ditempatkan tengah-tengah pintu. Lantai rumah masih menggunakan tanah alami tanpa lapisan apapun.[4]

Konstruksi sunting

Rumah tradisional Rote di daerah menggunakan format rumah panggung dengan menggunakan lantai tanah. Seluruh bagian rumah menggunakan bahan pohon lontar atau pohon gebang. Atapnya dari daun kering, sedangkan kerangka rumah menggunakan kayu dan dinding menggunakan pelepah daun yang diatur seperti direkatkan berdempetan sisi membentuk lembaran dengan lebar beberapa puluh sentimeter (cm).[1]

Konstruksi rumah tradisional suku Rote sangat sederhana dengan bahan alami, tetapi mempunyai sifat yang sangat positif yaitu, hangat dimusim hujan dan sejuk dimusim kemarau. Karena dinding bebak berlubang-lubang, maka jendela tidak diperlukan lagi. Pintu rumah hanya dua, pintu depan dan belakang yang ditempatkan di tengah-tengah yang menghubungkan rumah induk dan dapur dengan posisi pintu di tengah panjang ruangan.[1]

Referensi sunting

  1. ^ a b c Budayaku, Seni (18 November 2017). "rumah-adat-nusa-tenggara-timur". Rumah Adat Nusa Tenggara Timur Lengkap Penjelasannya. Seni Budayaku.com. Diakses tanggal 27/11/2019. 
  2. ^ Ara Kian, ST, MT, IAI, Don (12 Oktober 2009). "Arsitek Bicara Arsitektur". Tribunnews.com. kupang.tribunnews.com. Diakses tanggal 23/3/2019. 
  3. ^ a b c d e Paulina Bullu,SE dan, Stefanus M. Saek,SE.,M.Si (2015). "Visi-misi Kabupaten Rote Ndao; Pakaian Adat Roten Ndao; Rumah Raja Tjieja Mesakh". Rotendaokab - Situs Resmi Kabupaten Rote Ndao. Rotendaokab.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-27. Diakses tanggal 23/3/2019. 
  4. ^ a b Darisandi, Roby (29 April 2014). "Rumah-Tradisional-Pulau-Rote". Perpustakaan Digital Budaya Indonesia. budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 25/3/2019.