Dr. Anwar Harjono, S.H. (8 November 1923 – 16 Februari 1999)[1] merupakan tokoh Partai Masyumi yang juga merupakan salah satu pendiri GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia).[1]

Portret resmi sebagai anggota DPR, 1956

Riwayat Hidup

sunting

Dari Harjono ke Anwar Harjono

sunting

Ketika di Jakarta pada 27 Rajab 1364 (8 Juli 1945) dibuka Sekolah Tinggi Islam (STI) (sekarang Universitas Islam Indonesia), Harjono yang merupakan alumni Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, sudah satu tahun menimba ilmu kepada Hadratusy Syaikh K. H. M. Hasyim Asy'ari di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Mendengar STI telah dibuka, Harjono terpanggil untuk masuk STI. Hasrat hatinya dikemukakan langsung kepada K. H. A. Wahid Hasjim. Beliau mendukung penuh keinginan Harjono sehingga Harjono berangkat ke Jakarta untuk masuk STI.

Setibanya di Jakarta, Harjono bertemu dengan Rektor STI, K. H. Abdoel Kahar Moezakir, bekas Direktur Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta yang telah lama mengenal Harjono. “Nama Saudara sekarang ditambah?” tanya Mudzakkir. Harjono tersenyum. Kepada gurunya, ia menjelaskan bahwa sejak nyantri di Tebuireng dia menambahkan “Anwar” pada nama aslinya, sehingga lengkaplah nama lelaki kelahiran Krian, Sidoarjo itu menjadi “Anwar Harjono”.

Di STI, Harjono tercatat sebagai salah seorang pendiri Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Menurut Anwar Harjono sendiri, GPII didirikan di Jakarta pada 2 Oktober 1945 oleh para mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI).[2] Ia pernah menjadi Sekretaris Umum sebelum akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum.

Membentuk Liga Demokrasi

sunting

Tidak lama sesudah Presiden Sukarno membubarkan DPR dan membentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR) yang seluruh anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden (padahal menurut UUD 1945 (yang telah diberlakukan kembali oleh Dekrit Presiden Sukarno) DPR tidak bisa dibubarkan oleh Presiden), Harjono bersama K. H. Faqih Usman (Masyumi), Mr. Mohamad Roem (Masyumi), K. H. M. Dachlan (Ketua Liga Muslimin), Imron Rosjadi (Ketua GP Ansor), I. J. Kasimo (Partai Katolik), Albert Mangaratua Tambunan (Parkindo), J. R. Koot (Parkindo), Subadio Sastrosatomo (PSI), Hamid Algadri (PSI), Sugirman (IPKI), Hamara Effendy (IPKI), Dachlan Ibrahim (IPKI), Haji J. C. Princen (IPKI), dan Ir. Abdul Kadir (IPKI) membentuk Liga Demokrasi pada 24 Maret 1960.

Dalam anggaran dasar yang terdiri 7 pasal dinyatakan bahwa Liga Demokrasi dibentuk dengan tujuan “Membela Negara, Bangsa, Agama, dan Demokrasi” melalui berbagai usaha yang tidak bertentangan dengan UUD. Menurut Liga Demokrasi, pembentukan DPR-GR untuk menggantikan DPR hasil pilihan rakyat bertentangan dengan asas-asas demokrasi yang dijamin oleh UUD. Perubahan perimbangan di dalam DPR-GR, menurut Liga Demokrasi, pada hakikatnya memperkuat pengaruh dan kedudukan dari satu golongan tertentu yang mengakibatkan kegelisahan di dalam masyarakat dan memungkinkan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan.

Berhadapan dengan kekuasaan Presiden Seumur Hidup, yang juga Pemimpin Besar Revolusi, Liga Demokrasi semakin tidak berdaya. Pada 27 Februari 1961, Presiden Sukarno selaku Penguasa Perang Tertinggi mengeluarkan Peraturan Peperti No. 8 Tahun 1961 tentang Larangan Adanya Organisasi Liga Demokrasi. Asas dan tujuan Liga Demokrasi dianggap tidak sesuai dengan Manifesto Politik (Manipol).[1]

Menjadi Tahanan Politik

sunting

SETELAH Partai Masyumi membubarkan diri pada awal September 1960, sebagian besar tokoh dan para aktivisnya dimasukkan ke penjara. Ada yang empat tahun lebih. Ada juga yang “hanya” dua bulan setengah. Entah lama atau sebentar, yang pasti pemenjaraan tokoh dan aktivis Partai Masyumi, Partai Sosialis Indonesia, Ketua Gerakan Pemuda Anshor, dan sejumlah tokoh yang kritis terhadap kekuasaan Presiden Sukarno itu sama sekali tidak melalui proses hukum. Di antara yang terseret oleh gelombang besar penangkapan itu adalah Juru Bicara Partai Masyumi, Anwar Harjono (1923-1999). Dia ditangkap pada hari pembukaan Games of the New Emerging Forces (Ganefo), 10 November 1963.

Ketika masyarakat Jakarta dan sekitarnya berbondong-bondong menuju Istora Senayan untuk menyaksikan upacara pembukaan Ganefo, Harjono digiring ke markas Komando Daerah Angkatan Kepolisian (Komdak, kini Kepolisian Daerah Metro) Jakarta Selatan. Dari Komdak, Harjono dibawa ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Keagungan, Taman Sari, Jakarta Barat. Setelah dua setengah bulan ditahan di RTM, Harjono dikeluarkan dan statusnya diubah menjadi tahanan kota. Status tahanan kota itu berakhir seiring dengan tumbangnya rezim Sukarno.[1] Sampai akhir hayatnya, Harjono tidak pernah tahu alasan penangkapan dirinya pada 1963 itu. Dia menduga gelombang besar penangkapan pada waktu itu sekadar untuk menjaring lawan-lawan politik Bung Karno yang bersikap kritis terhadap Soekarno dan Harjono termasuk salah seorang yang kritis terhadap Presiden Sukarno.[1]

Melanjutkan Kuliah

sunting

Setelah Masyumi dipaksa membubarkan diri, DPR dan Liga Demokrasi juga dibubarkan, Harjono kemudian cepat mengambil langkah lain. Karena di dunia politik Harjono merasa tidak dapat berkiprah lagi, sementara dunia bisnis bukan bidangnya, akhirnya ia memilih melanjutkan kuliah yang tertunda oleh revolusi kemerdekaan di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Islam Djakarta (FHIPK-UID).

Waktu itu belum ada sistem kuliah terpimpin seperti sekarang, sehingga Harjono bisa bebas kuliah sambil secara diam-diam tetap melakukan aktivitas politiknya. Semua buku yang berhubungan dengan bidang studinya, dibeli dan dipelajari. Jika merasa sudah siap, Harjono menghubungi dosen mata kuliah yang bersangkutan untuk minta diuji. Hampir semua ujian dilakukan secara lisan. Ujian tertulis hanya satu-dua mata kuliah saja. Dengan sistem belajar bebas, mahasiswa tidak terikat oleh tingkat atau semester. Mata kuliah apapun, asal siap, boleh diambil. Dengan ketekunan dan semangat belajar yang tinggi, pada 1963 Harjono menyelesaikan kuliah di FHIPK-UID dan dinyatakan lulus sebagai Sarjana Hukum.

Sesudah lulus sebagai sarjana hukum, Harjono menghubungi Prof. Dr. Hazairin, S.H. Kepada Guru Besar Hukum Islam itu, Harjono menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan studi guna mencapai derajat doktor dalam ilmu hukum. Prof. Hazairin bukan hanya mendukung niat Harjono, bahkan menyatakan kesediaannya menjadi promotor. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Hazairin, Prof. Dr. H. M. Rasjidi, dan Prof. Dr. H. Sumedi, Harjono mempersiapkan segala sesuatu untuk meraih gelar doktor dalam ilmu hukum. Dengan status sebagai tahanan kota, sambil terus membina komunikasi dengan K. H. Faqih Usman (salah seorang tokoh Masyumi yang tidak ikut tertangkap), Harjono melakukan penelitian dan menulis disertasi. “Alhamdulillah, pada 22 Januari 1968, saya diuji dan dinyatakan lulus dengan yudisium memuaskan,” kenang Harjono. Promosi Doktor Harjono disaksikan antara lain Tokoh Proklamator Kemerdekaan, Mohammad Hatta. Disertasi Harjono berjudul “Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya” kemudian diterbitkan menjadi buku pada tahun 1968 dan 1987.[1]

Definisi Asas Legalitas

sunting

Anwar Harjono (Ali, 2000: 117) berpendapat bahwa asas kepastian hukum juga berarti tidak ada suatu perbuatan pun dapat dipidana kecuali atas kekuatan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu. Hal yang dikemukakan oleh Anwar Harjono juga bisa disebut sebagai asas legalitas.[3]

Hukum Sebagai Hubungan Antar Manusia

sunting

Selain itu, ia memaknai hukum sebagai salah satu bentuk hubungan antar manusia (ubi societas, ibi ius).[4]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f Rokhman, Saeful (2017-12-21). "Dr. Anwar Harjono, Dari Gerakan Pemuda Hingga Gerakan Dunia (1) -". Diakses tanggal 2018-12-31. 
  2. ^ Online, Rakyat Merdeka. "Quo Vadis GPI Dan GPII?". rmol.co. Diakses tanggal 2019-01-01. [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ 1930-, Ali, Mohammad Daud, (1990). Asas-asas hukum Islam : hukum Islam I : pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di Indonesia (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Rajawali Pers. ISBN 979421261X. OCLC 65760509. 
  4. ^ Hasnati (2018-06-22). "Pertautan Kekuasaan Politik dan Negara Hukum". dx.doi.org. Diakses tanggal 2019-01-01.