Aktivisme Internet

Aktivisme Internet (juga dikenal sebagai aktivisme daring, kampanye digital, aktivisme digital, pengorganisasian daring, advokasi elektronik, activisme cyber, e-kampanye, dan e-aktivisme) adalah penggunaan teknologi komunikasi elektronik seperti media sosial, terutama Twitter, Facebook, YouTube, surel, dan siniar untuk berbagai bentuk aktivisme untuk memungkinkan komunikasi lebih cepat dengan masyarakat dan penyampaian informasi lokal untuk khalayak yang lebih besar. Teknologi internet digunakan untuk tujuan yang berhubungan dengan penggalangan dana, pembangunan komunitas, pelobian, dan pengorganisasian.

Sandor Vegh membagi aktivisme daring menjadi tiga kategori utama: kesadaran/advokasi, organisasi/mobilisasi, dan tindakan/reaksi. Ada cara lain untuk mengklasifikasikan jenis aktivisme daring, misalnya dengan tingkat ketergantungan pada internet. Dengan demikian, peretasan internet bisa dipandang sebagai bentuk murni aktivisme daring, sedangkan gerakan Receh untuk Prita Mulyasari, misalnya, hanya daring sebagian.

Internet adalah sumber daya utama bagi aktivis independen, atau E-aktivis, khususnya mereka yang menyuarakan pesan-pesan yang mungkin bertentangan dengan arus utama. "Terutama ketika pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia terjadi, internet sangat penting dalam melaporkan kekejaman ke dunia luar."[1] Listservs seperti BurmaNet dan Freedom News Group membantu mendistribusikan berita yang seharusnya dapat diakses di negara-negara tersebut.

Aktivis internet juga menyampaikan E-petisi untuk dikirim ke pemerintah dan organisasi publik dan swasta untuk memprotes atau mendesak demi perubahan kebijakan yang positif di bidang perdagangan senjata hingga pengujian hewan. Banyak badan nirlaba dan amal menggunakan metode ini, mengirim surel petisi kepada orang-orang di daftar email mereka, dan meminta orang untuk meneruskannya. Internet juga memungkinkan organisasi seperti LSM untuk berkomunikasi dengan individu secara murah dan tepat waktu. Pertemuan dan protes dapat diatur dengan masukan dari penyelenggara dan peserta. Pelobian juga dibuat lebih mudah melalui internet, berkat surel massa dan kemampuannya untuk menyiarkan pesan secara luas dengan biaya kecil.

Situs jejaring sosial utama, khususnya facebook.com, juga menyediakan alat e-aktivis bagi pengguna mereka. Sebuah budaya partisipatif aktif dijalankan oleh masyarakat di situs jejaring sosial karena mereka memungkinkan komunikasi antar kelompok. Dalam artikel "Why We Argue about Virtual Community: A Case Study of the Phish.net Fan Community," Nessim Watson menekankan perlunya komunikasi dalam komunitas online. Dia bahkan lebih lanjut mengatakan bahwa "Tanpa keberlangsungan komunikasi antar peserta, masyarakat akan luntur." Kemampuan konstan untuk berkomunikasi dengan anggota masyarakat memperkaya pengalaman komunitas online dan mendefinisikan ulang pengertian komunitas.[2]

Selain itu, serangan menolak-layanan, mengambil alih dan merusak suatu situs web, mengunggah virus Trojan, dan mengirimkan bom e-mail (surel massal) adalah juga contoh aktivisme Internet.[3]

Proses perkembangan

sunting

Dalam suatu studi, diskusi tentang model perkembangan mobilisasi politik dibahas. Ketika warga bergabung dengan kelompok dan menciptakan diskusi mereka mulai tahap pertama keterlibatan mereka. Makin diharapkan bahwa mereka akan mulai menandatangani petisi online dan lanjut ke kontak offline selama organisasi menyediakan warga jenjang langkah keterlibatan.[4]

Aktivis Internet

sunting

Dampak terhadap diskusi politik sehari-hari

sunting

Menurut beberapa pengamat, internet berpotensi cukup besar untuk menjangkau dan terlibat dengan pusat opini yang mempengaruhi pemikiran dan perilaku orang lain. Menurut Institute for Politics, Democracy and the Internet, "warga politik online tujuh kali lebih mungkin ketimbang warga umumnya untuk berfungsi sebagai pembentuk opini di kalangan teman, kerabat dan rekan mereka... Penelitian kami menemukan bahwa 69% dari warga politik online adalah tokoh masyarakat."[5]

Di Indonesia, dengan pengguna internet yang kian meningkat dan ditambah kemudahan akses internet di mana-mana, kampanye melalui media sosial ataupun dengan situs web sangat efektif untuk berinteraksi dengan massa. Dengan adanya percakapan yang di fasilitasi oleh jejaring sosial maka masyarakat dapat mengenal lebih dekat sosok caleg atau capres tersebut.[6]

Rujukan

sunting
  1. ^ "Classifying Forms of Online Activism: The Case of Cyberprotests Against the World Bank" dalam Cyberactivism: Online Activism in Theory and PRACTICE, Ed. Ayers, Michael D., Mccaughey, Martha, hal. 72-73. New York: Routledge. 2003
  2. ^ Watson, Nessim. “Why We Argue about Virtual Community: A Case Study of the Phish.net Fan Community” hal. 103-104. SAG Publications. 1997
  3. ^ "Classifying Forms of Online Activism" dalam Cyberactivism: Online Activism in Theory and Practice, hal. 71-95. New York: Routledge. 2003
  4. ^ Vitak, J., Zube, P., Smock, A., Carr, C. T., Ellison, N., & Lampe, C. (2011). It's Complicated: Facebook Users' Political Participation in the 2008 Election. Cyberpsychology, Behavior & Social Networking, 14(3), 107-114.
  5. ^ "Political Influentials in the 2004 Presidential campaign." Institute for Politics, Democracy and the Internet, Graduate School of Political Management. 2004.
  6. ^ Kampanye Capres di Media Sosial, Efektifkah? news.liputan6.com. diakses 28/06/2014

Pranala luar

sunting

(Indonesia) news.liputan6.com Gerakan Sosial Digital