Santa Agatha Kim A-gi adalah seorang martir Katolik Korea. Ia berasal dari keluarga yang belum mengenal Kristus, demikian juga dengan suaminya. Pada masa itu, ajaran Katolik dianggap sebagai ajaran sesat setelah kejadian pada tahun 1791, ketika Paulus Yun Chi-ch’ung membakar tablet berhala leluhurnya. Peristiwa itu memicu terjadinya gelombang penganiayaan kepada umat Katolik yang dimulai pada tahun 1801.

Pada mulanya Agatha dan suaminya tidak tertarik untuk mempelajari iman Katolik karena takut dianiaya. Namun demikian, suatu hari, seorang saudari Agatha yang lebih tua datang berkunjung. Saudarinya itu adalah seorang Katolik yang taat. Di ruangan depan di rumah Agatha terdapat sebuah peti beras yang besar dan di atasnya terdapat tablet berhala leluhur. Di sana juga terdapat gambar yang aneh yang berada di dinding. Saudari Agatha ini menganggap semuanya itu adalah dosa besar.

“Mengapa kamu menyimpan benda-benda itu di rumahmu? Semua itu adalah takhayul yang tidak berguna. Buang semua itu dan jangan percaya kepada benda itu lagi.”

“Apa yang bisa saya lakukan? Saya menikah dengan seseorang yang mempercayainya”

“Hanya ada satu yang menguasai seluruh dunia. Yaitu Kristus. Sekarang waktunya bagi kamu untuk bangun dari kegelapan untuk belajar dan menjalankan kebenaran.”

Melalui saudarinya itu, Agatha mulai merasakan kerinduan untuk mengenal Kristus. Ia lalu memutuskan mengikuti katakese agar dapat dibaptis menjadi seorang katolik. Meski sadar akan penganiayaan yang dialami oleh umat Katolik di masa itu, namun ia siap menghadapi segala sesuatu yang akan terjadi. Agatha memang terlambat mengenal iman Katolik namun setelah dia memulainya, dia bertumbuh dengan cepat dan penuh bersemangat.

Selama masa katakese, Agatha tidak terlalu menonjol. Ia dianggap lamban karena walau telah berusaha sangat keras, namun ia tetap saja tidak dapat melafalkan doa-doa dasar (yang pada masa itu masih diucapkan dalam bahasa Latin). D ikalangan umat Katolik Korea, Agatha dikenal sebagai seorang wanita yang tidak tahu apa-apa kecuali melafalkan nama “Yesus, Maria” dengan penuh iman.

Pada bulan September 1836 Santa Magdalena Kim Ob-i dan Santa Barbara Han A-gi ditangkap bersama-sama. Tidak diketahui dengan pasti apakah Santa Agatha Kim A-gi juga ditangkap saat bersama mereka atau di rumahnya sendiri. Dalam suatu kejadian, mereka bertiga dibawa ke penjara bersama-sama.

Di penjara mereka berkumpul bersama beberapa umat Katolik yang telah ditangkap duluan. Mereka adalah Santo Damianus Nam Myong-hyok yang ditahan dengan tuduhan menyembunyikan jubah Uskup, Santo Petrus Kwon Tug-in yang dituduh menjual salib dan gambar-gambar suci, Santa Anna Pak A-gi yang tetap berada di penjara walaupun suami dan anaknya telah murtad, dan Santa Agatha Yi, kakak perempuan dari Santo Petrus Yi Ho-yong.

Diantara umat beriman ini, orang pertama yang diinterogasi adalah Anna Pak A-gi. Walaupun telah menjalani siksaan yang hebat, namun imannya tidak tergoyahkan. Dia juga menjawab pertanyaan para penyiksanya dengan tenang, “Walau suami dan putra saya telah murtad! Saya memilih untuk mempertahankan iman saya dan mati untuk itu.” Atas jawabannya ini, Wawnita pemberani ini kembali disiksa dengan mengerikan sampai tubuhnya berlumuran darah dan wajahnya hampir tidak dapat dikenali lagi.

Selanjutnya adalah Santa Barbara Han A-gi. Tidak kalah berani dari Anna Pak A-gi, Barbara tetap mempertahankan imannya walau disiksa dengan keji. Agatha Kim kemudian dipanggil untuk menjalani pemeriksaan.

“Benarkah kamu percaya akan Gereja Katolik?” tanya petugas penjara.

“Saya tidak tahu apapun selain Yesus dan Maria.”

“Jika kamu dapat menyelamatkan hidupmu dengan menolak Yesus dan Maria, akankah kamu menolak Mereka?”

“Saya lebih baik mati daripada menolak Mereka.”

Walaupun disiksa, Agatha tidak dapat dibujuk untuk mengubah pikirannya. Melihat hal ini, komisaris polisi kembali memasukkan mereka ke dalam penjara. Ketika tahanan Katolik lainnya melihat Agatha Kim A-gi tiba, mereka bersukacita menyambut dia.

Sebelumnya, karena ketidak-mampuannya untuk belajar agama dan melafalkan doa, Agatha Kim A-gi belum sempat dibaptis. Dia kemudian menerima pembaptisan di penjara selama masa penganiayaan berlangsung. Pembaptisan memberikan dia kekuatan baru, dan oleh karenanya dia dapat mengatasi siksaan dan hukuman yang kejam.

Setelah seluruh penyelidikan dan cobaan, hukuman mati dijatuhkan kepada Damianus Nam Myong-hyok, Petrus Kwon Tug-in dan Anna Pak A-gi pada tanggal 11 Mei 1839. Pada hari berikutnya, Agustinus Yi Kwang-hon dan Lusia Pak Hui-sun juga dijatuhi hukuman mati. Tiga hari kemudian Magdalena Kim Ob-i, Barbara Han A-gi, dan Agatha Kim A-gi juga dihukum karena mempercayai iman Katolik dan menolak untuk murtad. Para pahlawan iman ini akan dieksekusi bersama-sama pada tanggal 24 Mei 1839.

Sembilan orang menjadi martir pada pukul tiga siang hari itu, jam yang sama ketika Yesus menghembuskan nafas-Nya yang terakhir di kayu salib puluhan abad yang lalu. Berdasarkan hukum waktu itu, jenazah mereka dibiarkan di tempat eksekusi selama tiga hari.

Santa Agatha Kim A-gi, Santa Magdalena Kim Ob-i, dan Santa Barbara Han A-gi dibeatifikasi bersama Para Martir Korea pada tanggal 5 Juli 1925 dan bersama-sama dikanonisasi pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido, Seoul oleh Paus Yohanes Paulus II.[1]

Referensi

sunting