Abraham Kuyper (29 Oktober 1837 – 8 November 1920) adalah seorang teolog, pemikir, dan perdana menteri Belanda dari tahun 1901-1905. Sebagai perdana menteri, kebijakannya yang berdampak terhadap Hindia Belanda adalah politik etis.

Abraham Kuyper
Potret Abraham Kuyper oleh Jan Veth
Perdana Menteri Belanda
Masa jabatan
1 Agustus 1901 – 17 Agustus 1905
Daerah pemilihanBeberapa
Informasi pribadi
Lahir29 Oktober 1837
Maassluis, Belanda
Meninggal8 November, 1920
Den Haag, Belanda
Partai politikPartai Anti Revolusioner
Suami/istriJohanna Hendrika Schaay
Tanda tangan
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kehidupan Kuyper

sunting

Ayahnya, J.F. Kuyper, yang adalah pendeta Hervormde Kerk, bukanlah seorang penganut liberal modernis maupun Reformed yang ortodoks. Kuyper bersekolah di rumah sampai ayahnya mengambil pendidikan kependetaan di Leiden. Di Leiden pulalah Kuyper masih menghabiskan enam tahun lagi untuk pendidikannya. Setelah lulus pada tahun 1855, ia kuliah di Universitas Leiden, di mana dia dikelilingi oleh modernisme. Kuyper lulus dengan menyandang gelar sarjana sastra pada tahun 1857 dan sarjana filosofi pada tahun 1858.

Kemudian Kuyper masuk ke Sekolah Teologi Leiden untuk belajar kependetaan. Sekali lagi, dia dikelilingi oleh modernisme. Setelah lulus, Kuyper berusaha meraih gelar doktor dan mendapatkannya pada Mei 1862. Namun, Ia jatuh sakit karena kelelahan. Perlu waktu delapan bulan untuk memulihkan diri. Setelah pulih, ia diangkat menjadi majelis di Hervormde Kerk di Beest pada tahun 1863.

Kuyper mulai beralih dari aliran modernisme ke aliran Reformed yang ortodoks pada tahun 1866. Dia menentang sistem hierarki dan peran raja pada Hervormde Kerk, serta berorasi untuk memisahkan gereja dan negara.

Pada tahun 1867, Kuyper pindah ke Utrecht dan ia diminta untuk melayani di sebuah gereja yang paling terkemuka di Amsterdam pada tahun 1870. (Sebagai catatan, Hervormde Kerk menggunakan sistem yang menyerupai sistem yang digunakan pada universitas. Jadi, semua jemaat di seluruh kota menjadi bagian dari gereja tersebut. Ada 140.000 anggota jemaat, 136 majelis, dan 28 pendeta di seluruh kota Amsterdam saat itu.) Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun ajaran Reformasi dikumandangkan di Hervormde Kerk, Amsterdam.

Pada tahun 1871, Kuyper mulai menulis di surat kabar De Heraut. Setahun kemudian, ia juga memulai surat kabarnya sendiri, De Standaard. Pada tahun 1873, ia mencalonkan diri sebagai anggota parlemen, tetapi upayanya ini tidak berhasil. Ia baru terpilih sebagai anggota parlemen pada tahun 1874. Karena itu, Kuyper memaksakan dirinya lagi sehingga dia terpaksa mengundurkan diri untuk memulihkan kesehatan mentalnya.

Kuyper mendukung penyama-rataan dana untuk sekolah negeri dan agama, sebuah aksi yang menyebabkan terbentuknya Partai Anti-Revolusioner pada tahun 1879. Dan pada tahun 1880, ia mendirikan Vrije Universiteit di Amsterdam, universitas Kristen berbasis prinsip-prinsip teologi Reformasi. Di universitas itu, dia menjabat sebagai profesor teologi.

Pembentukan Doleantie

sunting

Kuyper juga memimpin pemisahan diri dari Nederlandse Hervormde Kerk (NHK) pada tahun 1886. Dolerenden (yang bersedih hati) meratapi hilangnya keunikan Reformed dalam tubuh NHK, yang tidak lagi membutuhkan kehadiran majelis dalam setiap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan norma-norma Reformed.

Kuyper dan gereja Amsterdam bersikeras bahwa para majelis dan jemaat gereja harus mengacu kepada pengakuan Reformed. Hal ini mengakibatkan munculnya sejumlah kubu (classis). Akibatnya, Kuyper bersama sekitar delapan puluh anggota jemaat Amsterdam diskors dari gereja pada Desember 1885. Keputusan tersebut ditetapkan melalui rapat sinode provinsi pada 1 Juli 1886.

Tidak terima diskors, Kuyper berkhotbah di hadapan para pendukungnya di sebuah auditorium pada hari Minggu, 11 Juli 1886. Karena kesedihan mereka atas keputusan NHK, kelompok itu menyebut diri mereka Doleantie (kaum yang bersedih hati).

Kelompok itu akhirnya menamakan diri mereka sebagai Nederduitsche Gereformeerde Kerken. Pada tahun 1889, kelompok ini mempunyai lebih dari 200 jemaat, 180.000 anggota, dan sekitar 80 pendeta.

Pemisahan tersebut sebenarnya bukan satu-satunya keinginan mereka. Dolerenden juga berusaha berkoalisi dengan gereja-gereja Afscheiding, Christelijke Gereformeerde Kerken. Koalisi itu terbentuk pada tahun 1892 sehingga terbentuklah Gereformeerde Kerken di Belanda. (Seperti yang sering terjadi, beberapa gereja Afscheiding memisahkan diri dan membentuk kelompok mereka sendiri yang juga bernama Christelijke Gereformeerde Kerken.)

Keterlibatan politik

sunting

Kuyper kembali dipilih sebagai anggota parlemen pada tahun 1894. Ia memperluas model pemungutan suara dari satu suara tiap satu kepala keluarga (hak pilih sensus) menjadi satu suara tiap satu warga negara (hak pilih universal/umum). Hal ini memecah Anti-Revolutionary Party (ARP - Partai Anti-Revolusioner) menjadi dua kubu. Salah satunya membentuk Christian-Historical Union (CHU), partai yang menentang hak pilih universal.

Kuyper memimpin ARP sampai ia wafat pada tahun 1920. Pada tahun 1901-1905, ARP membentuk pemerintahan dengan Kuyper sebagai perdana menteri. Namun setelah CHU terbentuk pada tahun 1901, kekuatan ARP memudar. Pada tahun 1905, partai tersebut menjadi partai oposisi.

 
Kuyper di tahun 1905

Selama menjabat sebagai perdana menteri, Kuyper adalah orang yang berperan dalam pengimplementasian politik etis di Hindia Belanda. Setelah ia mulai menjabat, Kuyper menuliskan pidato mengenai politik etis yang kemudian dibacakan oleh Ratu Wilhelmina di depan Parlemen Belanda pada tanggal 17 September 1901.[1] Pidato ini dianggap sebagai awal dari perubahan sikap pemerintah Belanda dari eksploitasi ekonomi menjadi tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan rakyat kolonial.

Sekali lagi pada tahun 1912, Kuyper harus istirahat dari politik karena kesehatannya. Ia kembali aktif pada tahun 1913. Meskipun Belanda tidak memihak negara mana pun dalam Perang Dunia I, Kuyper memihak Jerman karena Inggris adalah musuh Belanda selama Perang Boer (1880-1881 dan 1899-1902).

Anugerah bagi umat manusia

sunting

Kuyper mempunyai banyak profesi: pendeta, penerbit, filsuf, politikus, dan teolog. Pemikirannya sering kali orisinal. Ia mendukung presumptive regeneration, sebuah ide yang menyebutkan bahwa kita harus mengasumsikan kelahiran baru anak-anak berdasarkan pada keyakinan orang tuanya. Meskipun pemikiran tersebut sudah tidak dipercaya oleh orang banyak setelah zaman Kuyper, ajaran ini masih dipegang teguh oleh banyak tradisi Reformed.

Gagasan penting Kuyper lainnya adalah antitesis, jurang yang sangat lebar antara dunia yang jatuh dalam dosa dan gereja yang diselamatkan membuat orang-orang Kristen harus mempunyai partai politik, sistem sekolah, dan serikat kerja mereka sendiri.

Konsep ketiga, yang mungkin lebih filosofis daripada teologis, adalah "ruang lingkup kekuasaan" — bahwa setiap bidang kehidupan mempunyai peraturannya masing-masing. Jadi, undang-undang yang mengatur sebuah negara seharusnya tidak mengatur agama — atau sebaliknya. Adalah pekerjaan filsuf, ilmuwan, dan praktisi untuk mengungkapkan peraturan-peraturan yang mengatur setiap bidang kehidupan. Gagasan ini nantinya akan lebih dikembangkan oleh Herman Dooyeweerd.

Sumbangan teologis Kuyper yang paling besar adalah doktrin anugerah umum bagi seluruh umat manusia (common grace) yang mengajarkan bahwa Allah telah bermurah hati untuk mengendalikan kuasa dosa dalam dunia kita yang sudah rusak ini sehingga dunia kita tidak mungkin menjadi dunia yang terburuk yang mungkin terjadi.

Beberapa karya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:

  1. Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme (ISBN 9789793292014)
  2. Iman Kristen dan Problema Sosial (ISBN 9789798131462)
  3. Mendekat kepada Allah (ISBN 9789793292823)

Pranala luar

sunting
Didahului oleh:
Hendrik Goeman Borgesius
Menteri Dalam Negeri Belanda
1901–1905
Diteruskan oleh:
Pieter Rink
Didahului oleh:
Nicolaas Pierson
Perdana Menteri Belanda
1901–1905
Diteruskan oleh:
Theo de Meester


  1. ^ Heslam, Peter S. (2020). "An Ethical Policy for an Islamic People: The Colonial Policy of the Kuyper Cabinet (1901–1905) and the Challenge of Human Development". Journal of Markets & Morality. 23 (2): 298.