Abimanyu

Tokoh dalam wiracarita Mahabharata
(Dialihkan dari Abhimanyu)

Abimanyu (Dewanagari: अभिमन्यु; ,IASTAbhimanyu,; diucapkan 'abi-man-yu') adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putra Arjuna dan Subadra. Dalam wiracarita Mahabharata, ditetapkan bahwa Abimanyulah yang akan meneruskan Yudistira sebagai pewaris takhta. Riwayatnya dituturkan sebagai pahlawan yang tragis. Ia gugur dalam pertempuran besar di Kurukshetra sebagai salah satu kesatria termuda dari pihak Pandawa, karena baru berusia enam belas tahun. Abimanyu menikah dengan Utari, putri Raja Wirata dan memiliki seorang putra bernama Parikesit, yang lahir tak lama setelah ia gugur.

Abimanyu
अभिमन्यु
llustrasi Abimanyu dari buku Maha-Bharata, The Epic of Ancient India oleh Romesh Dutt, 1899.
llustrasi Abimanyu dari buku Maha-Bharata, The Epic of Ancient India oleh Romesh Dutt, 1899.
Tokoh Mahabharata
NamaAbimanyu
Ejaan Dewanagariअभिमन्यु
Ejaan IASTAbhimanyu (Abhi-man-yu)
Nama lainPartasuta, Partatmaja, Saubadra, Sakratmajatmaja
Versi wayang:
Angkawijaya, Jaka Pengalasan, Jaya Murcita, Wanudara, Wirabatana
Kitab referensiMahabharata
AsalKerajaan Kuru
Kediaman
Kastakesatria
DinastiKuru
KlanCandrawangsa
Senjatapanah
AyahArjuna
IbuSubadra
Istri
  • Utari
  • Sasirekha (Mahabharata versi Telugu)
  • Siti Sundari (versi wayang Jawa)
AnakParikesit

Menurut mitologi Hindu, Abimanyu adalah inkarnasi Warcasa, putra Dewa bulan. Ia membuat perjanjian bahwa putranya tinggal di Bumi hanya selama 16 tahun, sebagaimana ia tak dapat menahan perpisahan dengan putranya. Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam pertempuran.[1]

Arti nama

sunting

Abimanyu terdiri dari dua kata Sanskerta, yaitu abhi (artinya 'berani') dan manyu (artinya 'tabiat'; diucapkan seperti kata 'maniyu'). Dalam bahasa Sanskerta, kata Abhimanyu (diucapkan seperti 'Abimaniyu') berarti "ia yang memiliki sifat tak kenal takut" atau "yang bersifat kepahlawanan".[2] Partasuta (पार्थसुत; Pārthasuta) atau Partatmaja (पार्थात्मज; Pārthātmaja), yang berarti anak Parta (nama lain Arjuna), adalah nama yang biasanya muncul dalam naskah adaptasi Mahabharata berbahasa Kawi, contohnya Kakawin Bharatayuddha. Beberapa nama lainnya juga terdapat dalam naskah Mahabharata berbahasa Sanskerta, antara lain:

  • Sakratmajatmaja (शक्रात्मजत्माज; Śakrātmajatmāja), anak dari putranya Dewa Sakra (yang dimaksud putra Dewa Sakra yaitu Arjuna).[2]
  • Arjuni (आर्जुनि; Ārjuni), patronim dari nama Arjuna.[2]
  • Arjunatmaja (अर्जुनात्मज; Arjunātmaja), putra Arjuna.[2]
  • Saubadra (सौभद्र; Saubhadra), putra Subadra.[2]
  • Janmawira (जन्मविर; Janmavira), pemberani sejak lahir.[2]

Kehidupan awal

sunting

Dalam kitab Mahabharata dikisahkan bahwa semasih berada dalam rahim ibunya, Abimanyu sudah dapat mendengarkan percakapan antara ibu dan ayahnya. Mahabharata menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia bisa menguping pembicaraan Arjuna yang sedang mengajari Subadra tentang suatu formasi mematikan yang sulit ditembus bernama Cakrabyuha. Setelah Arjuna selesai membahas cara memasuki Cakrabyuha, akhirnya Subadra tertidur, sehingga Abimanyu tidak memiliki kesempatan untuk tahu bagaimana cara meloloskan diri dari formasi itu.[3] Setelah lahir, Abimanyu tinggal bersama ibunya di Dwaraka.

Dalam Sabhaparwa dikisahkan bahwa para Pandawa (termasuk Arjuna, ayah Abimanyu) kalah berjudi dengan para Korawa. Taruhannya adalah hukuman pengasingan selama 12 tahun, ditambah hidup dalam penyamaran selama setahun. Pada masa pengasingan itu, Abimanyu diasuh di bawah bimbingan pamannya, Kresna.

Dalam Wirataparwa dikisahkan bahwa Arjuna mengakhiri masa hukumannya di keraton Raja Wirata dengan menyamar sebagai guru tari. Setelah penyamarannya diakhiri, Arjuna menikahkan Abimanyu dengan Utari, putri Raja Wirata, untuk mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata, selain untuk menjalin persekutuan apabila perang antara Pandawa dan Korawa tak bisa dielakkan.[4]

Perang di Kurukshetra

sunting

Abimanyu turut serta membela ayahnya dalam perang di Kurukshetra, yang menjadi klimaks wiracarita Mahabharata. Perang itu dilatarbelakangi dengan pertikaian antara para Pandawa dan para Korawa. Dikisahkan bahwa setelah masa hukuman para Pandawa sudah habis, dan sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa yang dipimpin Yudistira berniat mengambil kembali kerajaan yang seharusnya menjadi hak mereka. Namun, Duryodana, pemimpin para Korawa tidak mau menyerahkan kerajaan kepadanya. Perundingan untuk mendamaikan mereka dilakukan oleh Kresna, tetapi gagal. Akhirnya, pertempuran tidak dapat dielakkan. Mereka memilih Kurukshetra—suatu lapangan di sebelah utara kerajaan mereka—sebagai medan perang. Mahabharata mencatat bahwa pertempuran berlangsung selama 18 hari.[5]

Sebagai cucu Dewa Indra—dewa senjata ajaib sekaligus dewa peperangan—Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani dan ganas. Karena dianggap setara dengan kemampuan ayahnya, Abimanyu mampu melawan kesatria-kesatria besar dari pihak Korawa seperti Drona, Karna, Duryodana dan Dursasana. Ia dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayah, paman, dan sekutunya.[6]

Kematian

sunting
 
Ilustrasi karya Pratap Mullick yang menggambarkan pertahanan terakhir Abimanyu di tengah formasi Cakrabyuha.
 
Abimanyu dibunuh beramai-ramai oleh para perwira Korawa. Ilustrasi dari Raja Ravi Varma Press.

Pada pertempuran pada hari ketiga belas, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi tempur melingkar yang dikenal sebagai Cakrabyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi tempur. Pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan Raja Susarma dari Trigarta dan laskar Samsaptaka yang dikenal tahan banting. Karena Pandawa telanjur menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan selain menaruh harapan kepada Abimanyu yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Cakrabyuha, tetapi tidak tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan mengawal Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari Cakrabyuha.[7]

Abimanyu berhasil menembus Cakrabyuha. Pandawa bersaudara dan sekutu mereka mencoba untuk mengikuti, tetapi dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa sehingga mampu menahan serangan para Pandawa—kecuali Arjuna—hanya untuk satu hari. Setelah tertinggal, Abimanyu berjuang sendirian dalam menghadapi serangan pasukan Korawa. Abimanyu membunuh beberapa kesatria yang mendekatinya, termasuk putra Duryodana, yaitu Laksmana. Menyaksikan putra kesayangannya terbunuh, Duryodana menjadi murka dan memerintahkan segenap perwira Korawa yang ada di sana—meliputi Dursasana, Sangkuni, Aswatama, Karna—untuk segera membunuh Abimanyu. Tanpa menghiraukan aturan perang, mereka menyerang Abimanyu secara serentak. Setelah gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putra Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada.[5]

Abimanyu gugur saat istrinya sedang hamil tua. Putra Abimanyu, yaitu Parikesit, lahir setelah kematiannya. Ia merupakan satu-satunya keturunan Arjuna yang masih hidup setelah Bharatayuddha, dan melanjutkan garis keturunan Dinasti Kuru. Abimanyu sering kali dianggap sebagai kesatria yang terberani dari pihak Pandawa, yang mengorbankan dirinya pada peperangan dalam usia yang masih sangat muda.[1]

Pembalasan dendam Arjuna

sunting

Berita kematian Abimanyu membuat Arjuna sangat sedih dan sakit hati. Ia sadar bahwa seandainya Jayadrata tidak menghalangai para Pandawa memasuki formasi Cakrabyuha, Abimanyu pasti mendapat bantuan. Ia bersumpah akan membunuh Jayadrata pada hari berikutnya sebelum matahari tenggelam. Kalau gagal menunaikan sumpahnya, Arjuna siap membakar diri hidup-hidup. Pihak Korawa yang mengetahui sumpah tersebut segera mengatur strategi agar Jayadrata berada sangat jauh dan terlindungi dari Arjuna pada hari berikutnya. Ribuan prajurit dan kesatria Korawa mengelilingi dan mengawal Jayadrata. Arjuna berusaha menjangkau Jayadrata, tetapi ribuan pasukan Korawa mengahalanginya. Hingga matahari hampir terbenam, Jayadrata masih jauh dari jangkauan Arjuna.

Karena khawatir bahwa Arjuna tidak mampu menuntaskan sumpahnya, maka Kresna terpaksa memanfaatkan kesaktiannya. Dengan pusaka sakti Cakra Sudarsana, ia menutupi sebagian matahari, sehingga suasana menjadi gelap seolah-olah matahari sudah tenggelam. Baik pihak Korawa maupun Pandawa mengira hari sudah malam, dan sesuai aturan, mereka menghentikan peperangan dan kembali ke kubu masing-masing. Dengan demikian, pihak Korawa tidak melanjutkan pertarungan sehingga Jayadrata tidak berada dalam perlindungan mereka lagi. Saat kereta perang Arjuna mendekati kereta perang Jayadrata, matahari muncul kembali. Kresna segera menyuruh Arjuna agar menggunakan kesempatan tersebut untuk membunuh Jayadrata. Arjuna mengangkat busurnya dan meluncurkan panah, memutuskan leher Jayadrata. Tepat setelah itu, hari sudah sore, matahari tenggelam dan Arjuna berhasil menuntaskan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata.

Pewayangan Jawa

sunting
 
Lukisan wayang kulit Raden Angkawijaya alias Raden Abimanyu

Dalam khazanah pewayangan Jawa, Abimanyu merupakan tokoh penting. Di bawah ini dipaparkan ciri khas tokoh ini dalam budaya Jawa, yang sudah berkembang dan berbeda daripada tokoh yang sama di India.

Riwayat

sunting

Dalam pewayangan Jawa, Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pengalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan putra Arjuna (salah satu dari lima kesatria Pandawa) dengan Dewi Sembadra atau Roro Ireng (putri Prabu Basudewa [penguasa Mandura] dengan Dewi Dewaki). Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada. Abimanyu merupakan kesayangan dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat "Wahyu Hidayat", yang mampu membuatnya mengerti dalam segala hal. Dikisahkan bahwa karena pertapaannya yang khusyuk, Abimanyu mendapatkan Wahyu Makutha Raja, yaitu wahyu yang menyatakan bahwa keturunannya akan menjadi penerus takhta penguasa Astina.[8][9]

Dalam pewayangan, Abimanyu diceritakan sebagai tokoh yang bersifat lembut, bertingkah laku baik, jujur, berhati teguh, bertanggung jawab, dan pemberani. Pendidikan militernya diajarkan langsung oleh ayahnya, sedangkan ilmu kebatinan ia dapatkan dari kakeknya, Bagawan Abiyasa. Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang istri, yaitu:

  • Dewi Siti Sundari, putri Prabu Kresna, raja negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi. Kisah pernikahan Abimanyu dengan Siti Sundari pertama kali muncul dalam Kakawin Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, dan dilakonkan dalam pentas wayang kulit dengan judul Alap-Alapan Siti Sundari atau Jaya Murcita Ngraman.[10]
  • Dewi Utari, putri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputra Parikesit. Kisah pernikahan Abimanyu dengan Utari dilakonkan dalam pentas wayang kulit dengan judul Putu Rabi Nini atau Kalabendana Gugur.[10]

Bharatayuddha

sunting
 
Wayang Abimanyu versi Bali, menggambarkan kondisi tubuh Abimanyu yang tertancap banyak senjata menjelang kematiannya di rana Bharatayuddha.

Abimanyu gugur dalam Baratayuda, yaitu pertempuran antara kubu Korawa melawan Pandawa di lapangan Kurusetra. Pada saat itu, kesatria dari pihak Pandawa yang berada di medan laga dan menguasai strategi perang hanya tiga orang, yakni Bima, Arjuna, dan Abimanyu. Gatotkaca menyingkir karena Karna merentangkan senjata Kunta Wijayadanu. Bima dan Arjuna dipancing oleh kesatria lain dari pihak Korawa agar keluar dari medan pertempuran, sehingga Abimanyu saja yang diandalkan pihak Pandawa pada saat itu.[9]

Setelah semua saudaranya gugur, Abimanyu lupa untuk mengatur formasi perang. Dia maju sendirian ke tengah barisan Korawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan musuhnya. Korawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya—dalam pewayangan digambarkan lukanya arang kranjang (banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata menancap di tubuhnya. Menurut cerita, kejadian itu merupakan risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Utari. Abimanyu pernah bersumpah bahwa dia masih bujang, dan menyatakan apabila dia mengucapkan sumpah palsu, maka dia siap mati dikeroyok dan tertusuk berbagai senjata para musuhnya. Padahal Abimanyu mengucapkan sumpah palsu, karena saat itu dia sudah menikahi Dewi Siti Sundari.[10]

Dengan berbagai senjata yang menancap diseluruh tubuhnya, Abimanyu tidak bisa berjalan lagi. Meski demikian, Abimanyu tidak menyerah. Bahkan dia berhasil membunuh calon putra mahkota Astina, yaitu Lesmana Mandrakumara putra Prabu Duryodana, dengan cara melemparkan keris Pulanggeni, setelah menembus tubuh empat prajurit lainnya. Pada saat itu pihak Korawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu, mereka harus memutus langsang yang ada di dadanya. Akhirnya Abimanyu gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, kesatria dari Banakeling.[8]

Kakawin Bharatayuddha

sunting

Kutipan di bawah ini diambil dari Kakawin Bharatayuddha, yang menceritakan pertempuran terakhir Sang Abimanyu.

Sloka Terjemahan
Ngkā Sang Dharmasutā tĕgĕg mulati tingkahi gĕĕlarira nātha Korawa, āpan tan hana Sang Wrĕkodara Dhanañjaya wĕnanga rumāmpakang gĕlar. Nghing Sang Pārthasutābhimanyu makusāra rumusaka gĕlar mahā dwija, manggĕh wruh lingirāng rusak mwang umasuk tuhu i wijili rāddha tan tama Pada saat itu Yudistira tercengang melihat formasi perang pemimpin Korawa (Duryodana), sebab Bima dan Arjuna tak ada, padahal merekalah yang dapat menghancurkannya. Hanya putra Arjuna, yaitu Abimanyu yang bersedia merusak formasi yang disusun pendeta Drona itu. Ia berkata bahwa ia yakin dapat menggempur dan memasuki formasi tersebut, hanya saja ia belum tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Sāmpun mangkana śighra sāhasa masuk marawaśa ri gĕlar mahā dwija. Sang Pārthātmaja śūra sāra rumusuk sakĕkĕsika linañcaran panah, śirṇa ngwyuha lilang tĕkap Sang Abhimanyu tĕka ri kahanan Suyodhana. Ḍang Hyang Droṇa Krĕpāpulih karaṇa Sang Kurupati malayū marīnusi. Setelah demikian, mereka segera membelah dan menyerang formasi tersebut dengan dahsyat. Sang Abimanyu merupakan kekuatan yang membinasakan formasi tersebut dengan tembakan panah. Sebagai akibat serangan Abimanyu, formasi tersebut hancur sampai ke pertahanan Duryodana. Dengan ini Drona dan Krepa mengadakan serangan balasan, sehingga Duryodana dapat melarikan diri dan tidak dikejar lagi.
Ṇda tan dwālwang i śatru śakti mangaran Krĕtasuta sawatĕk Wrĕhadbala. Mwang Satyaśrawa çūra mānta kĕna tan panguḍili pinanah linañcaran. Lāwan wīra wiśéṣa putra Kurunātha mati malara kokalan panah. Kyāti ng Korawa wangśa Lakṣmanakumāra ngaranika kasih Suyodhana. Dengan ini tak dapat dimungkiri lagi musuh yang sakti mulai berkurang, seperti Kertasuta dan keluarga Wrehadbala. Juga Satyaswara yang berani dan gila bertarung tertembak sebelum dapat menimbulkan kerusakan sedikit pun karena dihujani panah. Putra pemimpin Korawa yang berani juga gugur setelah tertusuk panah. Ia terkenal di antara keluarga Korawa, yaitu Laksmanakumara, yang disayangi Duryodana.
Ngkā ta krodha sakorawālana manah panahira lawan aśwa sarathi. Tan wāktān tang awak tangan suku gigir ḍaḍa wadana linakṣa kinrĕpan. Mangkin Pārthasutajwalāmurĕk anyakra makapalaga punggĕling laras. Dhīramūk mangusir yaśānggĕtĕm atén pĕjaha makiwuling Suyodhana.
Pada waktu itu seluruh keluarga Korawa menjadi marah, dan dengan tiada hentinya mereka menghujankan senjata. Baik kuda maupun kusirnya, badan, tangan, kaki, punggung, dada, dan muka Abimanyu terkena ratusan panah. Dengan ini Abimanyu makin semangat. Ia memegang roda keretanya dan dengan panah yang patah ia mengadakan serangan. Dengan ketetapan hati ia mengamuk untuk mencari keharuman nama. Dengan hati yang penuh dendam, ia gugur di tangan Duryodana.
Ri pati Sang Abhimanyu ring raṇāngga. Tĕnyuh araras kadi śéwaling tahas mas. Hanana ngaraga kālaning pajang lèk. Śinaśah alindi sahantimun ginintĕn. Ketika Abimanyu terbunuh dalam pertempuran, badannya hancur. Terenyuh untuk dilihat bagaikan lumut dalam periuk emas. Mayatnya terlihat dalam sinar bulan dan telah tercabik-cabik, sehingga menjadi halus seperti mentimun.

Galeri

sunting

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b "The Mahabharata, Book 1: Adi Parva: Sambhava Parva: Section LXVII". www.sacred-texts.com. Diakses tanggal 2023-02-13. 
  2. ^ a b c d e f Gandhi, Maneka (1993). The Penguin Book of Hindu Names (dalam bahasa Inggris). Penguin Books India. ISBN 978-0-14-012841-3. 
  3. ^ "Abhimanyu and the Battle of Kurukshetra". Radha Krishna Temple in Utah (dalam bahasa Inggris). 2009-11-29. Diakses tanggal 2020-08-09. 
  4. ^ "The Mahabharata, Book 4: Virata Parva: Go-harana Parva: Section LXXII". 
  5. ^ a b Mani, Vettam (1975). Puranic Encyclopedia: A Comprehensive Work with Special Reference to the Epic and Puranic Literature (dalam bahasa Inggris). Motilal Banarsidass. hlm. 1. ISBN 978-81-208-0597-2. 
  6. ^ "The Mahabharata, Book 5: Udyoga Parva: Uluka Dutagamana Parva: Section CLXXI". www.sacred-texts.com. Diakses tanggal 2023-02-14. 
  7. ^ Ganguli, Kisari Mohan (2015-01-10). "The Thirteenth Day at Kurukshetra; The Death of Abhimanyu [Chapter 3]". www.wisdomlib.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-02-14. 
  8. ^ a b Amrih, Pitoyo, Tokoh Wayang Inspiratif 
  9. ^ a b Sri Guritno, Purnomo, Soimun HP (2002), Karakter Tokoh Pewayangan Mahabrata Seri v 
  10. ^ a b c Agus Kurniawan, Mengenal Tokoh Wayang: Belajar Mengenal Tokoh Wayang Kulit "Seri A" 

Pranala luar

sunting