Yohanes Gabriel Perboyre

Orang Suci "Santa" Gereja Katolik Perancis

Santo Yohanes Gabriel Perboyre, C.M. (Inggris: John Gabriel Perboyre; Prancis: Jean-Gabriel Perboyre) (6 Januari 1802 – 11 September 1840) adalah seorang misionaris Katolik Prancis dan martir. Ia adalah imam dari Kongregasi Misi (CM). Ia dikanonisasi sebagai orang suci (santo) pada tahun 1996 oleh Paus Yohanes Paulus II.

Santo Yohanes Gabriel Perboyre

Awal Panggilan sunting

Jean-Gabriel dilahirkan di Le Puech (sekarang di sekitar kota Montgesty), Lot, Prancis, sebagai anak pertama dari delapan bersaudara dari pasangan Pierre Perboyre dan Marie Rigal. Dari delapan bersaudara ini, kelak tiga di antaranya menjadi imam CM, dua suster Puteri Kasih, satu suster Karmelites, dua yang lain menikah. Awal panggilan menjadi misionaris terjadi tidak sengaja. Semula Yohanes Gabriel sebagai anak pertama (yang paling besar) mengantar adiknya, Louis, ke seminari untuk dibina menjadi seorang pastor Desember 1818. Kebetulan rektor seminari adalah pamannya sendiri, Yakobus Perboyre CM. Pamannya ingin agar Yohanes Gabriel tidak pulang, melainkan menjaga adiknya yang masih kecil di seminari. Begitulah, akhirnya Yohanes Gabriel sendiri "diminta" pamannya untuk tetap di seminari dan akhirnya ditahbiskan menjadi imam.[1] Kelak, adiknya, Louis Perboyre menjadi imam CM yang mendahuluinya pergi misi ke Cina tetapi meninggal dalam perjalanan kapal di sekitar laut Jawa.

Sebagai anak pertama, Yohanes Gabriel Perboyre diharapkan ayahnya untuk menggantikannya bekerja di ladang. Dari seminari Montauban, ia menulis surat kepada ayahnya demikian:"Aku mulai belajar bahasa Latin. Tetapi aku bersedia berhenti jika ayah menghendaki. Aku mengerti kebutuhan dan rencana ayah. Bagiku tidak sulit belajar. Satu-satunya yang membuatku susah ialah bahwa aku sekarang tidak bisa membantu ayah. Namun, jika panggilan Tuhan memang merencanakan aku menjadi imam-Nya, aku tidak bisa menolak panggilan-Nya." [2]

Imam yang "sakit-sakitan" sunting

Yohanes Gabriel Perboyre ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 23 September 1825 di kapel Suster Puteri Kasih oleh Dubourg, uskup New Orleans. Esok harinya ia memimpin misa pertamanya. Sebagai seorang imam, ia terbilang memiliki kesehatan yang kurang bagus. Dapat dikatakan ia sakit-sakitan. Namun, semangatnya untuk pergi ke misi Cina luar biasa berkobar-kobar.

Tak lama kemudian, Yohanes Gabriel dikirim ke seminari Saint-Flour untuk mengajar teologi dogma, dan dua tahun kemudian, ia diangkat sebagai rektor seminari kecil di Saint-Flour. Suksesnya menyebabkan atasannya untuk memberikan jabatan baru sebagai wakil pemimpin novisiat di Paris pada tahun 1832 kemudian direktur novisiat. Ia memegang jabatan ini sampai keberangkatannya ke Cina tahun 1835. Sebenarnya ia sudah ingin diutus misi ke Cina jauh sebelum tahun itu. Namun, berhubung sakit-sakitan, yang berangkat lebih dulu adalah adiknya, Louis Perboyre CM, yang tak pernah sampai mendarat di Cina, keburu meninggal dalam perjalanan. Yohanes Gabriel amat sedih mendengar kabar wafat adiknya dalam perjalanan misi. Kelak, ketika dia sendiri akhirnya jadi berangkat, ia selalu mengingat adiknya dan menyebutnya sebagai "bintang" di surga yang menerangi perjalanannya pada waktu malam di tengah laut.[3]

Singgah di Surabaya sunting

Perjalanan misioner Yohanes Gabriel ke Cina dijalaninya dengan kapal yang menghabiskan waktu kurang lebih enam bulan. Sang calon Santo martir dengan menumpang kapal "Royal Georges" singgah di Batavia kemudian Surabaya selama satu bulan, sebelum melanjutkan perjalanan ke Macao, pintu gerbang ke Cina. Cerita Romo Yohanes Gabriel Perboyre CM tentang Batavia dan Surabaya dapat disimak dalam suratnya kepada pamannya, Romo Yakobus Perboyre CM:"Tanggal 23 Juni [1835] kami memasuki selat Sunda. Apa yang kami rasakan sukar untuk dilukiskan. Di sana kami melihat pulau-pulau dengan pepohonan yang buahnya harum dan manis, serta dapat diraih dengan tangan begitu saja ... Sejak 14 Juli kami berada di Surabaya dan tidak akan berangkat sebelum 10 Agustus [1835]. Kami berusaha sabar dan menikmati waktu. Di seluruh Jawa [maksudnya mungkin di Surabaya] hanya ada empat pastor yang semuanya berkebangsaan Belanda. Di kepulauan yang lain tidak ada sama sekali. Tiga minggu kami mampir di Surabaya. Perhentian ini merupakan anugerah liburan bagi kami yang kelelahan karena perjalanan lama. Itu merupakan sebuah liburan yang menyenangkan. Panas terik udara Jawa [Timur] yang membakar terkurangi oleh kesejukan angin yang ditiupkan oleh gunung-gunung yang berdekatan di sana. Sekali atau dua kali seminggu kami pergi ke kota untuk mengorbankan Misa [di Gereja dekat jalan Kepanjen, Surabaya]. Kadang-kadang kami berjalan-jalan di pantai Jawa dan Madura. Tanggal 7 Agustus kami berangkat dari Surabaya menuju Macao untuk ke Cina, yang menjadi dambaan dan idaman hati saya.[4]

Dari kisah Romo Yohanes Gabriel Perboyre, diketahui bahwa tahun 1835 sudah terdapat Gereja Katolik. Gereja itu barangkali merupakan Gereja Katolik pertama yang ada di Surabaya atau Jawa Timur. Gereja itu terletak di depan lapangan yang disebut "Comedie plein" (lapangan komedi). Gereja itu kini sudah tidak ada lagi, sebab konon terbakar dan lantas dibangun sebagai gantinya Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria di Jalan Kepanjen.

Dalam sejarah karya misi Romo-romo CM di keuskupan Surabaya, para romo CM pertama yang datang dari Belanda tahun 1923 memandang perutusan misionernya sebagai "melanjutkan jejak langkah" Santo Martir Yohanes Gabriel Perboyre CM.[5] Romo Theophile de Backere CM memandang bahwa Yohanes Gabriel Perboyre CM adalah pelindung sekaligus teladan perutusan misinya di keuskupan Surabaya. Inilah sebabnya, nama Yohanes Gabriel menjadi pelindung yayasan yang didirikannya untuk menaungi karya-karya sekolahan pada waktu itu hingga saat ini.

Misionaris di Cina sunting

Romo Yohanes Gabriel Perboyre CM tinggal di Macao sampai akhir Februari 1836. Sesudah itu, ia melakukan perjalanan laut maupun darat yang sangat panjang. Romo Yohanes Gabriel menyusuri perjalanan lewat laut sejauh 900 kilometer, sampai ke Fu-kien. Dan dari sana berjalan lagi lewat jalan darat lebih dari 1300 kilometer, lewat Juangxi, sampai ke Hubei dan akhirnya di Honan. Calon santo martir ini memang luar biasa. Perjalanan yang demikian lama dan jauh, dengan pengalaman dan perjumpaan yang melelahkan, kesulitan, peluh keringat, semuanya terasa tidak berarti apa-apa.[6]

Lima bulan pertama berkarya di pedalaman Cina dijalaninya dengan melakukan banyak kunjungan ke komunitas-komunitas Kristiani di sana. Umat Kristiani belum begitu banyak, tetapi menurut laporan jumlahnya kira-kira hanya 1500-an umat, yang tersebar di mana-mana. Untuk mengunjungi umat sejumlah itu, Romo Yohanes Gabriel Perboyre harus melakukan perjalanan lebih dari 1200 kilometer, jarak yang hampir sama jauhnya dengan keliling Prancis, asal negaranya. Setelah misi di Honan, ia dipindahtugaskan ke Hubei, sebuah daerah pegunungan yang cukup berat medannya. Dalam satu dua suratnya, Romo Yohanes Gabriel Perboyre bercerita bahwa banyak gerejanya sangat kotor, beratap jerami dengan kursi-kursi yang jelek dan kotor.[7]

Santo Martir sunting

Penganiayaan dan penangkapan yang dilakukan oleh raja setempat memaksa umat Kristiani bersembunyi. Romo Yohanes Gabriel Perboyre CM tidak mau lari untuk bersembunyi. Namun, karena penganiyaan, salah seorang muridnya berkhianat. Murid yang tidak setia itu "menjual" imamnya, Romo Yohanes Gabriel Perboyre CM, dengan 30 ons perak. Pagi itu, murid yang bagaikan Yudas Iskariot itu, mengantar para serdadu mengepung Romo Yohanes Gabriel Perboyre dan menangkapnya. Mulailah sebuah fase penderitaan bagi sang misionaris.

Penganiayaan berlangsung terus. Demikian pula yang diterima oleh sang misionaris. Ia diikat, diseret. Ditelanjangi, dijemur. Dirantai, disesah. Ditusuk dengan besi panas. Dicekik dengan tali. Dicambuki. Dan, akhirnya disalib dengan tubuh yang terkulai karena leher dijerat dengan tali dan ia wafat tercekik tanggal 11 September 1840. Rupa-rupa penganiayaan ini merupakan serial pengadilan yang tidak adil yang digelar oleh raja setempat. Semua penderitaan dia jalani dengan iman dan ketekunan seperti Kristus, Tuhannya.[8]

Yohanes Gabriel Perboyre CM sebenarnya belum berbuat banyak sebagai misionaris. Jika dihitung dari kedatangan ia hanya kurang lebih lima tahun menjalankan tugas misi. Konon dua tahun untuk belajar bahasa Cina. Dua tahun untuk melakukan perjalanan panjang dan melelahkan. Dan, tahun terakhir, selama dua belas bulan, ia menjalani siksaan dan penganiyaan sampai wafatnya. Tahun 1889, Paus Leo XIII menyatakannya sebagai beato. Dan tahun 1996, Paus Yohanes Paulus II menganonisasikannya sebagai Santo Martir Cina yang pertama.

Doa Yohanes Gabriel Perboyre sunting

Yohanes Gabriel Perboyre CM adalah seorang misionaris yang rendah hati. Ia menyandarkan segala kekuatannya hanya kepada Kristus, Sang Penebus. Ini adalah doa yang diucapkannya beberapa hari menjelang wafatnya:[9]

"O Sang Penebus Ilahi,
ubahlah aku menjadi seperti Engkau.
Buatlah tanganku menjadi tangan-Mu;
lidahku menjadi lidah-Mu;
hatiku menjadi hati-Mu.
Buatlah agar aku mampu menyerahkan tubuhku demi kemuliaan-Mu.
Ubahlah pikiran, kehendak dan perasaanku menjadi pikiran, kehendak, dan perasaan-Mu.
Buatlah agar aku hanya hidup oleh-Mu dan untuk-Mu."

Referensi sunting

  1. ^ Luigi Mezzadri CM, "Introduzione", dalam San Giovanni Gabriele Perboyre: Lettere Scelte, Roma: CLV 1996.
  2. ^ P. Fenelon Castillo CM, La Croce nel celeste impero: Giovanni Gabriele Perboyre, Missionario vincenziano, Martire di Cristo, Roma: CLV, 1995.
  3. ^ Surat Yohanes Gabriel yang ditulis dari seminari Saint-Flour kepada pamannya, Romo Yakobus Perboyre CM, Februari 1832.
  4. ^ Surat Yohanes Gabriel Perboyre CM dari Surabaya kepada pamannya, Yakobus Perboyre CM, tertanggal 24 Juli 1835, dalam Luigi Mezzadri CM, San Giovanni Gabriel Perboyre: Lettere Scelte, Roma, CLV, 1996.
  5. ^ Bdk. Armada Riyanto, 80 Tahun Romo-Romo CM di Indonesia, Surabaya, CM Provinsi Indonesia, 2003, hlm. 17-18, 52-57.
  6. ^ Armada Riyanto, "Yohanes Gabriel Perboyre CM: misionaris dan martir Cina", dalam S. Ponticelli CM dan Armada Riyanto CM, Sahabat-sahabat Tuhan dan orang miskin, Malang, CM&PK, 2002, hlm. 147.
  7. ^ Ibid., hlm. 149.
  8. ^ Ibid., hlm. 150-151.
  9. ^ Ibid., hlm. 157

Pranala luar sunting