Yenny Sucipto

politikus, aktivis

Yenny Sucipto atau nama lengkapnya Endah Sricahyani Sucipto lahir 18 Mei 1980 adalah aktivis transparansi dan pernah menjadi sekretaris jendral FITRA (Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) untuk periode 2013 – 2018. Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga untuk Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran (Letraa). Ia adalah bagian dari 100 tokoh perempuan pemimpin versi HIVOS. Ia juga dikenal sebagai penyusun komik dan buku mengenai transparansi [1]

Dengan posisinya sebagai Sekjen Fitra, Yenny Sucipto terkenal sering memberikan kritik dan masukan atas transparansi dan efisiensi anggaran. Beberapa di antaranya membuahkan teror, ancaman kriminalisasi, dan pembunuhan.[2]

Saat ini ia menjabat sebagai Tenaga Ahli Madya Deputi 2 KSP.

Pendidikan sunting

Ia menyelesaikan pendidikan menengahnya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kediri pada tahun 1996, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Kediri tahun 1999. Pendidikan tingginya ia lalui di Universitas Brawijaya, Malang tahun 2003. Ia melanjutkan pendidikan magister di Universitas Indonesia untuk Kajian Gender dan Transformasi Sosial, lulus tahun 2013. Ia juga masih menempuh pendidikan magister Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

Organisasi sunting

 

Selama menjadi mahasiswa, Yenny aktif di GMNI. Karena keaktivannya, ia menjadi Pengurus GMNI Komisariat FAPET Universitas Brawijaya Malang, Periode 1999 - 2001, lalu menjadi Pengurus Gmni Komisariat Bersama Universitas Brawijaya Malang, Periode 2000 - 2002. Lebih lanjut ia menjadi Pengurus GmnI Cabang Malang, Periode 2001 - 2003 lalu Pengurus Alumni GmnI, Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi, Periode 2010 - 2012.

Mulai tahun 2004 ia aktif menjadi Pengurus Organisasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, hingga tahun 2018. Ia juga menjai Perwakilan Masyarakat Sipil, Extraktif Industri Transparency Inisiative, Periode 2013 - 2017 dan Steward Member, Global Inisiative Financial Transparency, Periode 2015 - 2018.

Kontroversi sunting

Sebagai aktivis, beberapa pernyataan Yenny di publik memunculkan kontroversi. Salah satunya adalah saat ia membantah bahwa pelaksanaan Pilkada tidak langsung oleh DPRD belum tentu menghasilkan efisiensi dalam pemilihan kepala daerah. Untuk mengurangi beban biaya pilkada terhadap APBD, ia lebih memilih langkah mengoptimalkan jumlah pemilih per TPS, standardisasi unit cost, mengurangi belanja sosialisasi, mengalihkan beban biaya pada APBN bukan APBD, bukan mencabut hak rakyat untuk memilih langsung.[3]

Yenny juga menyatakan kesetujuannya untuk membubarkan 14 lembaga negara yang dianggap tidak menghasilkan dampak positif dan malah membebani APBN, sebab hal tersebut bertentangan dengan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara[4]

Referensi sunting