Wayang Topeng adalah wayang yang dimainkan oleh orang dengan menggunakan topeng yang menutupi wajah.[1] Wayang Topeng ini dimainkan dengan iringan gamelan dan tari-tarian.[1] Wayang Topeng ini selain ditampilkan dalam pagelaran budaya, biasanya juga digunakan dalam pesta pernikahan untuk menghibur para tamu undangan sekitar 20 sampai 30 menit dalam pementasannya.[2]

Wayang Topeng

Wayang Topeng dalam budaya Jawa mempunyai perkembangan yang beragam, baik sebagai pertunjukan ritual ataupun sebagai seni pertunjukan.[3] Semula topeng adalah benda yang wujudnya sebagai peniruan wajah leluhur, yaitu orang yang telah meninggal dunia, seperti kepala keluarga, marga, kepala suku, atau pangeran-pangeran dari kerajaan masa lalu.[3] Keterkaitan topeng dengan roh leluhur.[3] Pada dahulu kala ada tradisi yang membawa topeng-topeng milik penari tertentu ke makam khusus (Pundhen) untuk mendapatkan magis, aktivitas itu bagi masyarakat setempat disebut ‘stren’.[3]

Tata Urutan Penyajian Wayang Topeng sunting

Penyajian pertunjukan wayang topeng dengan tata urutan sebagai berikut:[4]

  1. Gending Giro (terlebih dahulu menabuh gending Eleng-eleng, Krangean, Loro-loro, gending Gondel dan diakhiri dengan gending Sapujagad.[4]
  2. Pembukaan dengan tari Beskalan Lanang (topeng Bangtih).[4]
  3. Jejer Jawa (kediri).[4]
  4. Parang Gagal (Selingan tari Bapang).[4]
  5. Adegan Gunungsari-patrajaya.[4]
  6. Adegan Jejer Sabrang (Klana Sewandana).[4]
  7. Adegan Perang Brubuh dan Bubaran.[4]

Sejarah Wayang Topeng sunting

Wayang Topeng merupakan tradisi budaya dan religiusitas masyarakat Jawa sejak zaman Kerajaan Kanjuruhan yang dipimpin oleh Raja Gajayana sekitar abad ke 8 M.[5] Topeng waktu itu yang terbuat dari batu adalah bagian dari acara persembahyangan.[5] Kemudian pada masa [[Raja Erlangga, topeng dikontruksi menjadi kesenian tari.[5] Topeng digunakan menari waktu itu untuk mendukung fleksibilitas si penari.[5] Sebab waktu itu sulit untuk mendapatkan riasan (make up), untuk mempermudah riasan, maka para penari tinggal mengenakan topeng di mukanya.[5] Wayang Topeng Malangan ini mengikuti pola berpikir India, karena sastra yang dominan adalah sastra India.[5] Jadi cerita Dewata, cerita pertapaan, kesaktian, kahyangan, lalu kematian itu menjadi muksa.[5] Sehingga sebutan-sebutannya menjadi Bhatara Agung. Jadi itu peninggalan leluhur kita, sewaktu leluhur kita masih menganut agama Hindu Jawa, yang orientasinya masih India murni. Termasuk wayang topeng juga mengambil cerita-cerita dari India, seperti kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana.[5] Wayang Topeng ini dipakai media komunikasi antara kawulo dan gusti, antara raja dan rakyatnya.[5] Kemampuan untuk menyerap segala sesuatunya dan membumikan dalam nilai kejawaan juga banyak terjadi tatkala Islam dan Jawa mulai bergumul dalam konteks wayang topeng.[5]

Saat kekuasaan Kertanegara di Singasari, cerita wayang topeng digantikan dengan cerita-cerita Panji.[5] Hal ini dapat dipahami ketika Kertanagera waktu itu menginginkan Singasari menjadi kekuasaan yang sangat besar ditanah Jawa.[5] Panji yang didalamnya mengisahkan kepahlawanan dan kebesaran kesatria-kesatria Jawa, terutama masa Jenggala dan Kediri.[5] Cerita Panji dimunculkan sebagai identitas kebesaran raja-raja yang pernah berkuasa ditanah Jawa.[5] Cerita-cerita Panji yang direkonstruksi oleh Singasari adalah suatu kebutuhan untuk membangun legitimasi kekuasaan Singasari yang mulai berkembang.[5]

Pada saat agama Islam masuk Jawa untuk merebut hati orang-orang Jawa.[5] Proses Islamisasi wayang topeng oleh para wali yang menampilkan kisah marmoyo sunat merupakan sederet cerita bagaimana Islam memproduksi nilai didalamnya.[5] Cerita menak merupakan tanda masuknya Islam ditanah Jawa.[5] Oleh karena itu cerita menakjinggo yang selama ini dominan berkembang adalah cerita menak yang dikonstruk oleh keraton Mataram yang pada dasarnya adalah Islam.[5]

Lihat Pula sunting

Rujukan sunting

  1. ^ a b "Wayang Topeng". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-04. Diakses tanggal 6 mei 2014. 
  2. ^ "Wayang Topeng or Wayang Gedog". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-07-17. Diakses tanggal 6 mei 2014. 
  3. ^ a b c d "Wayang Topeng Malang". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-04. Diakses tanggal 6 mei 2014. 
  4. ^ a b c d e f g h Robby Hidajat. 33, Nomor 2 , By Bahasa dan Seni Universitas Muhammadiyah Malang, Agustus 2005 Struktur, Simbol, dan Makna Topeng Malang (Tesis). http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/Struktur-Simbol-dan-Makna-Wayang-Topeng-Malang-Robby-Hidajat.pdf,Tahun 33, Nomor 2 , By Bahasa dan Seni Universitas Muhammadiyah Malang, Agustus 2005. [pranala nonaktif permanen]
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s "Sejarah Topeng Malangan". Diakses tanggal 6 mei 2014.