Warta Bhakti dulu adalah sebuah koran di Indonesia yang terbit selama periode Demokrasi Terpimpin. Koran ini merupakan suksesor dari koran Tionghoa Indonesia paling laris di Hindia Belanda, yakni Sin Po. Pada puncak kejayaannya, koran ini adalah koran dengan sirkulasi tertinggi kedua di Indonesia.[1]

Sejarah sunting

Selama periode Demokrasi Terpimpin sunting

Warta Bhakti adalah suksesor dari koran berbahasa Indonesia, Pantja Warta, yang merupakan hasil perubahan nama dari koran Tionghoa Indonesia, Sin Po, yang didirikan pada tahun 1910. Sementara itu, sebagaimana koran berbahasa Mandarin lain di Indonesia saat itu, edisi bahasa Mandarin dari Sin Po, yakni Xin Bao, ditutup oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1958 pasca adanya pemberontakan di Sumatra yang pemerintah yakini didukung oleh Taiwan, serta karena adanya sentimen anti-Tiongkok di Indonesia saat itu.[2]

Supremasi nasionalisme Indonesia pasca berakhirnya Hindia Belanda kemudian menekan koran Tionghoa Indonesia untuk mempekerjakan lebih banyak pribumi Indonesia sebagai staf dan tidak lagi berorientasi pada Tiongkok untuk menegaskan kesetiaan mereka pada Indonesia.[2]

Selama periode Demokrasi Terpimpin di Indonesia (1959 - 1966), Presiden Sukarno sangat membatasi kebebasan pers serta meminta para pemilik dan editor koran untuk bersumpah setia.[3] Sejumlah koran yang menolak untuk setia pun ditutup, seperti Abadi dan Pedoman.[3] Namun, Warta Bhakti adalah sekutu dari Sukarno dan editornya, Karim Daeng Patombong, adalah tokoh penting di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).[3]

Pada tahun 1963, pemerintah Indonesia memperbolehkan versi bahasa Mandarin dari Warta Bhakti untuk kembali terbit dengan nama Zhongcheng Bao.[2] Versi bahasa Mandarin tersebut pun rutin menunjukkan kesetiaannya kepada Sukarno dengan mencetak pidato dan pemikirannya di halaman depan setiap hari.[2]

Koran ini tetap populer dan pemerintah Amerika Serikat pun memperkirakan bahwa sirkulasi koran ini pada bulan Juli 1964 saja mencapai 45.000 eksemplar.[4]

Koran ini sangat aktif di kancah politik di Indonesia atas nama sayap kiri dan atas alasan anti-imperialis. Contohnya, pada tahun 1963, koran ini menyatakan bahwa mereka sangat mendukung kebijakan Konfrontasi dari Sukarno terhadap Malaysia.[5] Pada tahun 1965, koran ini menyatakan bahwa mereka sangat mendukung pembentukan kolom kelima nasional untuk menahan interferensi dari luar.[6] Pada tahun 1965, elemen konservatif di lingkungan TNI Angkatan Darat pun khawatir bahwa pers di Indonesia akan didominasi oleh koran sayap kiri seperti Harian Rakjat and Warta Bhakti.[3]

Penutupan paksa sunting

Warta Bhakti ditutup oleh pemerintah Indonesia selama periode Transisi ke Orde Baru oleh Jenderal Suharto pada tahun 1965. Koran ini dituduh simpatik dengan Gerakan 30 September oleh elemen dari Partai Komunis Indonesia, sehingga akhirnya koran ini ditutup.[7] Salah satu hal yang dilakukan oleh koran ini selama periode Gerakan 30 September adalah mencetak komentar dukungan untuk kudeta yang dilakukan oleh KSAU Omar Dani.[8]

Sejumlah editor dari koran ini kemudian menjadi tahanan politik, seperti Djoni Sitompul.[9] Jabatan Karim Daeng Patombong di PWI kemudian digantikan oleh seorang brigadir jenderal dari TNI Angkatan Darat,[10] sementara direktur dari koran ini, Ang Jan Goan beremigrasi ke Kanada pada tahun 1968. Sejumlah direktur, editor, dan jurnalis dari koran sayap kiri dan koran berbahasa Mandarin yang ada di Indonesia saat itu kemudian dikirim ke Pulau Buru.[2]

Pada tahun 1966, semua koran berbahasa Mandarin dan budaya Tionghoa dilarang (kecuali koran resmi pemerintah, Yindunixiya Ribao).[11]

Referensi sunting

  1. ^ Roosa, John (2020). Buried histories : the anticommunist massacres of 1965-1966 in Indonesia. University of Wisconsin Press. hlm. 49. ISBN 9780299327309. 
  2. ^ a b c d e Sun, Wanning (2009). Media and the Chinese Diaspora: Community, Communications and Commerce. Routledge. hlm. 95–6. ISBN 9781134263592. 
  3. ^ a b c d Roosa, John (2020). Buried histories : the anticommunist massacres of 1965-1966 in Indonesia. University of Wisconsin Press. hlm. 47. ISBN 9780299327309. 
  4. ^ Area Handbook for Indonesia. U.S. Government Printing Office. 1964. hlm. 242. 
  5. ^ "Tolerantie". De Telegraaf (dalam bahasa Belanda). July 24, 1963. Diakses tanggal 29 June 2020. 
  6. ^ "Twee linkse bladen in Indonesië keuren Vijfde colonne goed". Het vrije volk : democratisch-socialistisch dagblad. July 7, 1965. Diakses tanggal 29 June 2020. 
  7. ^ Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia. hlm. 424. ISBN 9789797990527. 
  8. ^ "Bezette Stad". Algemeen Handelsblad (dalam bahasa Belanda). October 4, 1965. Diakses tanggal 30 June 2020. 
  9. ^ Roosa, John (2020). Buried histories : the anticommunist massacres of 1965-1966 in Indonesia. University of Wisconsin Press. hlm. xii. ISBN 9780299327309. 
  10. ^ Roosa, John (2020). Buried histories : the anticommunist massacres of 1965-1966 in Indonesia. University of Wisconsin Press. hlm. 53. ISBN 9780299327309. 
  11. ^ Sun, Wanning (2009). Media and the Chinese Diaspora: Community, Communications and Commerce. Routledge. hlm. 97. ISBN 9781134263592.