Wahdatul Wujud

Ajaran di Jawa sering dikenal dengan Manunggaling Kawulo Gusti
(Dialihkan dari Wahdatul wujud)

Wahdatul wujud berasal dari kata wahdah (وحدة) yang berarti tunggal atau kesatuan dan al-wujud (الوجود ) yang berarti ada, eksistensi, atau keberadaan. Secara harfiah moonwahdatul wujud artinya adalah "kesatuan eksistensi".[1]

Ajaran ini menyebutkan bahwa Tuhan adalah Dzat Yang Maha Esa, sedangkan makhluk adalah bagian dari Dzat Yang Maha Esa tersebut, dan Tuhan memperlihatkan Diri pada apa saja yang ada di alam semesta ini, karena tak ada satupun di alam semesta ini kecuali wujud Tuhan.[1] Dengan kata lain, eksistensi alam semesta merupakan manifestasi dari keberadaan Tuhan.

Sejarah sunting

Wahdatul wujud selalu dihubungkan dengan Ibnu Arabi, karena Ibnu Arabi dianggap sebagai penggagasnya. Walaupun Wahdatul wujud dikaitkan dengan aliran Ibnu Arabi tetapi sebetulnya Wahdatul wujud sudah diajarkan oleh beberapa sufi sebelum Ibnu Arabi.[2]

Sufi sebelum Ibnu Arabi yang membuat pernyataan yang dianggap mengandung doktrin Wahdatul wujud adalah Abu Hamid Al-Ghazali, dalam sebuah karyanya Al-Ghazali berkata ”sesuatu yang maujud dengan sebenar-benarnya adalah Allah Swt, sebagaimana cahaya yang sebenar-benarnya adalah Allah Swt”, ”tidak ada wujud kecuali Allah dan wajah-Nya, dengan itu pula, maka segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya secara azali dan abadi[3]”.

Ma'ruf Al-Karkhi salah satu sufi yang hidup empat abad sebelum Ibnu Arabi adalah orang pertama yang mengungkapkan syahadat dengan kata-kata “tiada sesuatupun dalam wujud kecuali Allah”.[3]

Tokoh yang cukup berperan mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Ibnu Taimiyah, seorang pemikir dan ulama Islam guru dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.[3] Walaupun Ibnu Taimiyah menggunakan istilah Wahdatul Wujud untuk mengkritik terhadap doktrin Wahdatul wujud,[4] Tetapi istilah ini sudah banyak digunakan oleh kalangan sufi di ajaran tasawuf.

Tokoh-tokoh Wahdatul wujud sunting

Al-Hallaj sunting

 
Lukisan Amir Khosrow tentang penggambaran eksekusi Al-Hallaj

Abu Abdullah Husain bin Mansur Al-Hallaj dikenal dengan nama Al-Hallaj seorang Syekh Sufi keturunan Persia abad ke-9 dan ke-10 dilahirkan di kota Thur di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866 M.[5][6] Ia terkenal dengan ucapannya: "Ana al haq" (Akulah kebenaran) karena ucapannya itu mengakibatkannya dieksekusi. Sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri.[6]

Siti Jenar sunting

Nama aslinya adalah Raden Abdul Jalil, lahir di Iran/Persia tahun (1348-1439 H/1426-1517 M)[7] bertempat tinggal di Jepara, Jawa Tengah, Indonesia. Siti Jenar terkenal sebab ajarannya Manunggaling Kawula Gusti istilah Wahdatul wujud yang dijawakan. Siti Jenar mengembangkan paham jalan hidup sufi yang dianggap bertentangan dengan ajaran Wali songo. Pertentangan praktik sufi oleh Siti Jenar dengan Wali songo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariat yang dilakukan oleh Wali songo.[8][9]

Ibnu Arabi sunting

Ibnu Arabi, salah satu sufi terkenal dalam perkembangan tasawuf. Lahir pada tahun 560 H[10] merupakan tokoh yang cukup kontroversial Ia mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan lahiriah dari-Nya. Perkataan yang diungkapkannya: “Maha Suci Dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri.[11]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b Uswatun 2015, hlm. 26.
  2. ^ Siregar 2019, hlm. 36.
  3. ^ a b c Siregar 2019, hlm. 39.
  4. ^ Usman 2020, hlm. 50.
  5. ^ Siregar 2019, hlm. 43.
  6. ^ a b Siregar 2019, hlm. 44.
  7. ^ Reza Gunadha; Chyntia Sami l Bhayangkara (Sabtu, 16 Mei 2020). "Mengungkap Sosok Syekh Siti Jenar yang Sebenarnya, Siapa Dia?". www.suara.com. Diakses tanggal 15 Februari 2022. 
  8. ^ Siregar 2019, hlm. 45.
  9. ^ Siregar 2019, hlm. 46.
  10. ^ Mukarromah 2017, hlm. 141.
  11. ^ Mukarromah 2017, hlm. 140.

Bibliografi sunting