Waduk Darma
Waduk Darma (aksara Sunda: ᮝᮓᮥᮊ᮪ ᮓᮁᮙ) adalah sebuah waduk yang dibangun di Darma, Kuningan untuk menampung air Sungai Cisanggarung. Sebelum dibangun jalan lingkar, Jalan Nasional Rute 14 juga melewati puncak bendungan dari waduk ini, sehingga sempat membuat bendungan miring ke arah utara.[1]
Waduk Darma | |
---|---|
Lokasi | Darma, Kuningan, Jawa Barat |
Koordinat | 7°00′49″S 108°24′34″E / 7.013641°S 108.409550°E |
Kegunaan | Irigasi |
Status | Beroperasi |
Mulai dibangun | 1958 |
Mulai dioperasikan | 1962 |
Pemilik | Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat |
Kontraktor | Pemerintah Provinsi Jawa Barat[1] |
Perancang | PT Gateni |
Bendungan dan saluran pelimpah | |
Tipe bendungan | Urugan |
Tinggi | 37,5 m |
Panjang | 445 m |
Lebar puncak | 12,5 m |
Volume bendungan | 165.000 m3 |
Ketinggian di puncak | 715 mdpl[2] |
Membendung | Aliran hulu Sungai Cisanggarung |
Jumlah pelimpah | 1 |
Tipe pelimpah | Ambang lebar |
Kapasitas pelimpah | 125 m3 / detik |
Waduk | |
Kapasitas normal | 37.900.000 m3 |
Kapasitas aktif | 33.900.000 m3 |
Kapasitas nonaktif | 4.000.000 m3 |
Luas tangkapan | 23,5 km2 |
Luas genangan | 400 hektar |
Waduk ini dikelilingi oleh bukit dan lembah, serta pemandangan yang indah dengan udara yang sejuk. Waduk ini berjarak sekitar 12 kilometer dari pusat kota Kuningan dan sekitar 37 kilometer dari pusat kota Cirebon.
Sejarah
sunting1920 - 1962
suntingPada tahun 1920, Pabrik Gula Tersana Baru mengusulkan kepada Residen Cirebon agar membangun waduk untuk memenuhi kebutuhan air dari kebun tebu dan pabrik gula yang ada di Karesidenan Cirebon selama musim kemarau. Pada tahun 1924, Ir. G.A. de Jengh pun mulai melakukan studi kelayakan mengenai pembangunan waduk ini. Pada tahun 1929, atas desakan Departemen Pekerjaan Umum Hindia Belanda, dilakukan penelitian yang lebih rinci mengenai kelayakan pembangunan waduk ini. Pada tahun 1930, Dinas Pertanian Cirebon pun menyimpulkan bahwa pembangunan waduk ini membutuhkan biaya sebesar 1,5 juta gulden. Pabrik Gula Tersana Baru kemudian menyanggupi untuk menanggung separuh dari total biaya pembangunan waduk ini.[1]
Mulai tahun 1935 hingga 1936, dilakukan penelitian geologi oleh A. Harting dan penelitian sifat tanah oleh Prof. Springer di lokasi pembangunan waduk ini. Pada tahun 1939, Pemerintah Hindia Belanda memesan pintu untuk bendungan dari waduk ini di Swiss, dan dua tahun kemudian, pintu tersebut mulai dikirim ke Jakarta melalui Singapura. Pada tahun 1942, terowongan pengelak untuk mengalihkan aliran Sungai Cisanggarung selama proses pembangunan waduk ini pun telah selesai dibangun, tetapi proses pembangunan waduk ini kemudian terhenti, karena adanya peralihan pendudukan Indonesia dari Belanda ke Jepang. Pintu untuk bendungan dari waduk ini lalu juga batal dikirim ke Jakarta, karena dialihkan ke Australia.[1]
Pada tahun 1951, pemerintah Indonesia mulai merencanakan untuk melanjutkan kembali pembangunan waduk ini. Mulai tahun 1956 hingga 1957, kembali dilakukan penelitian mekanika tanah di lokasi pembangunan waduk ini oleh Lembaga Penyelidikan Masalah Air (LPMA). Pada tahun 1958, pembangunan waduk ini mulai dilanjutkan kembali oleh Dinas Pekerjaan Umum Jawa Barat, dan akhirnya dapat diselesaikan empat tahun kemudian.[1]
1963 - sekarang
suntingSetelah waduk ini mulai dioperasikan, ditemukan kebocoran yang cukup besar di dasar bendungan dari waduk ini. Rerata volume air yang bocor diperkirakan mencapai 33.137.000 m3 per tahun. Dinas Pekerjaan Umum Jawa Barat memperkirakan bahwa kebocoran tersebut terjadi akibat pemadatan urugan bendungan yang dulu dilakukan secara tergesa-gesa, karena adanya ancaman gangguan dari DI/TII. Pada tahun 1967, dilakukan penelitian mengenai kebocoran tersebut oleh LPMA dan Pusat Reaktor Atom Bandung (PRAB), yang kemudian menyimpulkan bahwa 75% kebocoran terjadi melalui badan bendungan, sementara sisanya terjadi melalui dasar bendungan.[1]
Mulai tahun 1969 hingga 1970, dilakukan perbaikan terhadap bendungan, sehingga jumlah air yang bocor sempat berkurang, tetapi kemudian kembali meningkat pada tahun 1971. Untuk keperluan penelitian kebocoran, kemudian dilakukan pembangunan drainase di bagian belakang bendungan oleh Pembangunan Perumahan. Pada tahun 1972, dibangun sebuah bendung di Sungai Cilutung, agar air dari sungai tersebut dapat dialirkan ke waduk ini melalui Sungai Cinangka.[1]
Pada tahun 1975, setelah melakukan penelitian mengenai waduk ini, DPMA menyarankan agar dilakukan perbaikan terhadap semua bagian dari waduk ini yang belum pernah diperbaiki. Berdasarkan saran tersebut, kemudian dilakukan perbaikan terhadap waduk ini, antara lain oleh Pembangunan Perumahan, Waskita Karya, dan Barata Indonesia. Pada tahun 1991, dengan bantuan dari Bank Dunia, juga dilakukan penghijauan di sekeliling waduk ini.[1]
Pemanfaatan
suntingWaduk ini terutama dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian seluas sekitar 22.600 hektar di Kuningan dan Cirebon. Selain itu, waduk ini juga dimanfaatkan untuk menyediakan air bersih bagi masyarakat Luragung, Ciawigebang, Garawangi, dan sebagian Kuningan.[1]
Waduk ini pun dimanfaatkan sebagai sarana perikanan darat oleh masyarakat sekitar dengan menggunakan jala terapung. Waduk ini juga dapat dijadikan sarana rekreasi dan olahraga, terutama di sore hari. Fasilitas yang tersedia di waduk ini antara lain kawasan perkemahan, perahu wisata, penginapan, panggung hiburan, wahana permainan anak, aula, spot foto, dsb.
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ a b c d e f g h i Sinaro, Radhi (2007). Menyimak Bendungan di Indonesia (1910-2006) (dalam bahasa Indonesia). Tangerang Selatan: Bentara Adhi Cipta. ISBN 978-979-3945-23-1.
- ^ Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum (1995). Bendungan Besar Di Indonesia (PDF). Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. hlm. 40.