Trois Glorieuses (1963)

Trois Glorieuses (bahasa Indonesia: Tiga Hari Kegemilangan) adalah sebuah pemberontakan di Republik Kongo antara 13 hingga 15 Agustus 1963. Pemberontakan tersebut mengakhiri kekuasaan presiden pertama Republik Kongo, Fulbert Youlou, setelah gerakan serikat buruh yang menjadi oposisi dan Persatuan Pemuda Kongo berhasil menjalin suatu persekutuan dengan militer.[1]

Presiden pertama Republik Kongo Fulbert Youlou

Latar Belakang

sunting

Pasca kemerdekaan Republik Kongo pada tahun 1960, kepemimpinan presiden pertama, Fulbert Youlou, semakin bersifat otoriter. Saat mengunjungi wilayah Haut-Congo pada Agustus 1962, Youlou menggagas agar Republik Kongo menjadi negara satu partai di bawah pimpinan UDDIA (Union démocratique de défense des intérêts africains, bahasa Indonesia: Uni Demokratis Pertahanan Kepentingan Afrika). Situasi politik dalam negeri Kongo kala itu menunjukkan bahwa partai-partai politik lainnya tidak lagi berfungsi efektif sebagai oposisi sementara gerakan serikat buruh CGAT (Confédération générale aéfienne du travail) dan Persatuan Pemuda Kongo, dua kelompok yang dituduh 'komunis' oleh Youlou, berusaha diredam oleh Youlou.[2]

Pada pertengahan tahun 1963, gerakan buruh Kongo semakin keras. Kunjungan kenegaraan oleh presiden Guinea, Sékou Touré, pada 5 hingga 6 Juni 1963 menjadi momen penting. Para pengunjuk rasa dari berbagai serikat buruh dan gerakan pemuda menyerukan Touré dan mengejek Youlou. Gerakan serikat buruh pun bersatu. Pada 2 Juli 1963, dua komite serikat buruh didirikan, salah satunya terdiri atas serikat buruh CGAT, CSAL, dan CATC. Berbagai serikat buruh kemudian mengimbau mogok massal pada 13 Agustus 1963 menentang gagasan penerapan kekuasaan satu partai.[2]

Namun sehari sebelum mogok massal yang ditentukan, unjuk rasa yang diikuti oleh buruh dan penganggur telah dimulai. Mereka menuntut kenaikan upah dan pembebasan aktivis-aktivis buruh yang ditahan. Tentara Kongo menggunakan senjata api untuk meredam unjuk rasa yang mengakibatkan tiga anggota serikat buruh tewas. Unjuk rasa pun berubah menjadi kerusuhan yang mengakibatkan penjarahan terhadap rumah-rumah dan tewasnya seorang pendukung Youlou.[2]

Pada 14 Agustus 1963, Youlou masih berkuasa sebagai presiden. Dia lantas menghubungi presiden Prancis, Charles de Gaulle, agar Prancis melakukan intervensi militer demi kesinambungan pemerintahannya. Gaulle menolak permohonan Youlou. Pada 15 Agustus 1963, militer Kongo mengalihkan dukungannya dari Youlou kepada serikat buruh dan Persatuan Pemuda Kongo.[1]

Konsekuensi

sunting

Usai jatuhnya Youlou dari kekuasaan, militer dan serikat buruh menguasai negara. Namun keduanya tidak memiliki representatif dalam pemerintahan sementara yang dibentuk pada 15 Agustus 1963 yang dipimpin oleh Alphonse Massemba-Débat sebagai perdana menteri. Pada 16 Agustus 1963, serikat buruh membentuk Conseil National de la Révolution (CNR).[2]

Gerakan selama tiga hari tersebut lantas dinamai Trois Glorieuses yang terinspirasi dari kisah Revolusi Juli dan juga memberikan acuan kepada perebutan kekuasaan di Persekutuan Afrika Prancis Khatulistiwa antara 26 hingga 28 1940. Tanggal jatuhnya Youlou juga bertepatan dengan hari kemerdekaan Kongo yakni pada 15 Agustus serta perayaan Kenaikan Yesus Kristus, suatu kebetulan yang menambah kesan mitis pada gerakan tersebut.[2]

Pada tahun 1970, Kongo mengganti lagu kebangsaannya dengan Les Trois Glorieuses yang dinamakan untuk mengenang revolusi tersebut.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Le Vine, Victor T. Politics in Francophone Africa. Boulder, Colo: Lynne Rienner Publishers, 2004. p. 143
  2. ^ a b c d e f Bazenguissa-Ganga, Rémy (1997). Les voies du politique au Congo: essai de sociologie historique. Karthala.