Tradisi pemakaman Tionghoa
Tradisi Pemakaman Tionghoa adalah Adat Pemakaman Tionghoa yang dilatarbelakangi oleh kepercayaan bahwa relasi manusia dengan Tuhan atau kekuatan lain yang mengatur kehidupan, seperti: Reinkarnasi, Hukum karma atas semua perbuatan manusia.[1][2]
Sejarah
suntingBudaya Neolitik
suntingPada masa Dadiwan (5800-5000 SM) sampai Yangshao (5000 SM), Bekal kubur dalam masyarakat agraris mencakup tembikar, manic-manik, pahat, dan tulang rahang babi.
Pada masa Hongshan (4500-3000) hngga Liangzhu (3300 SM), Makam mencerminkan hierarki social. Giok dan tembikar halus diletakkan di makam orang yang berkedudukan tinggi.
Pada masa Longshan (3000-2000 SM), Upacara untuk menghormati arwah leluhur berkembang dalam kebudayaan Tionghoa bagian utara.[1]
Zaman Perunggu
suntingPada masa Dinasti Xia (2000-1600 SM), Beberapa makam elite terbuat dari bejana perunggu cetakan dan peti mati yang divernis.
Pada masa Dinasti Shang (1600-1045 SM), upacara pemakaman para raja dan bangsawan dilaksanakan dengan memberikan tumbal manusia.
Pada masa Dinasti Zhou (1045-256), tumbal manusia diubah dengan menggunakan patung keramik berbetuk manusia dan lainnya.[1]
Zaman Kekaisaran
suntingPada masa Dinasti Qin (221-207 SM), patung tentara terakota dikubur untuk melayani kaisar pertama Tiongkok. Kegiatan ini dilanjutkan oleh Dinasti Han (206 SM – 220 M) dan Wei Utara (386-534).
Pada masa Dinasti Tang (618-906), Rakyat jelata diperbolehkan memberikan sesajian bagi empat generasi leluhur. Tradisi ini berlanjut pada masa Dinasti Ming (1368-1644) dan Dinasti Qing (1644-1911).[1]
Pada tahun 1940, para pejabat dilarang melakukan penguburan tradisional dan mengamanatkan bahwa semua kematian harus kremasi. Penguburan merupakan pemborosan ruang, berbahaya bagi lingkungan, dan lebih mahal daripada kremasi.
Saat ini di Tiongkok, pemakaman dengan kremasi di kota besar hampir 100%. Tapi di pedesaan, masih menggunakan cara penguburan. Tradisi pemakaman di keluarga dan masyarakat masih berlaku di seluruh pedesaan Tiongkok sampai hari ini.
Tata upacara pemakaman
suntingUpacara Jib Bok dilaksanakan saat memasukkan jenazah ke dalam peti.[3] Ketika upacara doa selama berkabung akan berakhir, peti mati dipaku rapat. Kertas emas dan perak disisipkan di peti mati sebagai bekal kubur untuk melindungi tubuh dari gangguan roh ganas. Selama penyegelan peti mati, semua yang hadir berpaling dari peti mati karena dianggap tidak beruntung bila melihat proses tersebut. Peti mati dibawa (dengan kepala almarhum menghadap ke depan) dari rumah dengan menggunakan sepotong kayu yang diikat di atas peti mati.
Upacara Mai Song (Pintu duka) yang dilaksanakan pada malam menjelang pemberangkatan jenazah.[3] Peti mati ditempatkan pada sisi jalan di luar rumah, di mana lebih banyak doa-doa dikumandangkan dan kertas disebarkan. Model kertas antara lain: mobil, patung kapal, dibawa saat pemakaman. Hal ini melambangkan kekayaan keluarga yang meninggal.
Upacara Sang Cong dilaksanakan saat mengantar jenazah ke tempat pemakaman.[3]
Upacara Jib Gong dilaksanakan saat memasukan jenazah ke dalam liang kubur.[3] Prosesi pemakaman dilakukan tanpa dilihat oleh keluarga bahkan keluarga pergi jauh saat peti diturunkan. Pada saat itu, putra tertua dari almarhum akan mengambil tanah dari kubur untuk ditaruh di mangkuk dupa yang akan diletakkan di meja leluhur sebagai tempat persembahyangan. Anggota keluarga dan kerabatnya melempar segenggam tanah sebelum ditimbun. Setelah pemakaman, semua pakaian yang dikenakan oleh para pelayatakan dibakar untuk menghindari nasib buruk.
Upacara Peng Tuh atau Ki Hok dilaksanakan dengan cara membalikkan meja-meja yang digunakan untuk sembahyang pada saat pemakaman jenazah, dan ini menunjukkan bahwa upacara pengurusan jenazah sudah dianggap selesai. Upacara ini dilakukan pada malam menjelang hari ke tujuh dan dihitung mulai dari jenazah dimakamkan.[4]
Upacara Siau Siang (1 tahun) dan Upacara Tai Siang (3 tahun) sebagai upacara berkabung selama 1 tahun dan 3 tahun bagi penganut Konghucu, dihitung sejak penguburan jenazah.[3] Periode berkabung keluarga berlangsung selama seratus hari setelah upacara pemakaman selesai. Sepotong kain berwarna dikenakan pada lengan masing-masing anggota keluarga: hitam oleh anak-anak almarhum, biru oleh cucu dan hijau oleh cicit. Keluarga yang lebih tradisional akan memakai kain-kain ini sampai 3 tahun (mengikuti ajaran Kong Hu Cu).
Tradisi Pemakaman
suntingArwah para leluhur dapat diminta datang untuk dijamu pada saat Festival Qing Ming, menghormati para leluhur dan orang pandai (Toapekong), Kutukan para leluhur, dan perbuatan semasa hidup akan dialami di akhirat. Kuburan Tionghoa umumnya terletak di tempat yang lebih tinggi untuk meningkatkan Fengshui.
Para arwah leluhur dipercaya memiliki kekuatan besar atas kejadian sehari-hari. Kebudayaan Tionghoa menghormati arwah para leluhur melalui upacara. Pemujaan leluhur dengan pemberian sesaji pada musim semi (Festival Qingming) dimulai lebih dari satu millennium yang lalu.
Kuburan Tionghoa umumnya terletak di tempat yang lebih tinggi untuk meningkatkan Fengshui.
Referensi
sunting- ^ a b c d Jiwa yang gelisah, National Geographic Indonesia Vol 6 No. 02 Februari 2010, hal 90-99
- ^ Tradisi upacara pemakaman dan kematian Diarsipkan 2015-12-22 di Wayback Machine. dalam budaya Tionghoa
- ^ a b c d e [1]Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khong Hu Cu
- ^ Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, Jakarta: Keng Po, 1961. hal 188.