Tradisi mamaca[1] merupakan salah satu tradisi lisan masyarakat Madura berupa kegiatan mendendangkan naskah macapat yang dilakukan oleh tokang tembhang (penembang) yang kemudian dilanjutkan proses penerjemahan oleh penerjemah yang biasanya disebut tokang tegghes. Naskah macapat yang didendangkan dalam tradisi mamaca biasanya menggunakan aksara pegon (tulisan arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa).

Tradisi mamaca sejatinya merupakan suatu kebiasaan lokal yang kini menjelma menjadi pengetahuan nasional berbasis kearifan lokal. Dalam proses pelaksanaannya, tradisi mamaca memiliki keunikan yang sepertinya sulit ditemukan dalam tradisi-tradisi lainnya. Keunikan tersebut yakni tembang macapat jawa dalam tradisi mamaca didendangkan oleh orang madura dan dipertontonkan di hadapan seluruh penonton yang juga berasal dari masyarakat Madura. Menariknya, baik penembang, penerjemah hingga penonton sama-sama tidak memiliki dasar kemampuan berbahasa jawa yang baik. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam proses pelaksanaan tradisi mamaca, performer (penembang & penerjemah) tidak menghafalkan seluruh isi naskah macapat melainkan hanya mengingat formula-formula tertentu yang terkandung dalam tema tembang macapat.

Formula[2] oleh Parry-Lord dalam bukunya yang berjudul the Singer of Tales[3] diartikan sebagai kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan suatu ide yang esensial atau pokok. Formula dapat muncul berkali-kali dalam cerita yang mungkin berupa kata, frasa, klausa, atau larik. Formula tersebutlah yang digunakan penembang dalam tradisi mamaca sehingga mampu membuatnya tampil profesional dalam mendendangkan tembang-tembang macapat Jawa. Selanjutnya, formula juga digunakan oleh penerjemah yang juga memilki keterbatasan kemampuan berbahasa Jawa. Dengan keterbatasan tersebut, penerjemah tidak memaksakan dirinya untuk menerjemahkan kata per kata dari tembang yang didendankan penembang, tetapi ia hanya perlu mengingat inti dari satu atau beberapa larik tembang yang didendangkan penembang kemudian ia terjemahkan melalui proses improvisasi yang disebut proses komposisi. Hal itu yang sekaligus menjadikan seorang penerjemah sebagai seorang yang sangat berperan dalam ketersampaian makna tembang yang didendangkan dalam tradisi mamaca.

Sejarah

sunting

Tadisi mamaca pada zaman dahulu tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Namun kini, dengan berbagai alasan seperti kuno, usang, dan primitif, tradisi mamaca mulai diabaikan keberadaannya.

Indonesia sendiri memiliki sekitar 4.521 tradisi lisan yang memerlukan perlindungan[4]. Jelas inventarisasi berbagai tradisi lisan tersebut seperti tradisi mamaca wajib dilakukan, karena justru dalam tradisi yang dianggap primitif tersebutlah kerap memuat berbagai ajaran luhur yang sangat berguna sebagai bekal untuk mengarungi masa kini hingga masa yang akan datang.

Referensi

sunting
  1. ^ Rifa'i, Ahmad (2021-12-31). Tradisi Mamaca Madura Sepenggal Kearifan Bondowoso (dalam bahasa Inggris). Penerbit BRIN. hlm. 1. ISBN 978-602-496-302-6. 
  2. ^ "(PDF) [Albert B. Lord] the Singer of Tales (Harvard Stud(BookFi.org)". dokumen.tips (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-06-02. 
  3. ^ "The Center for Hellenic Studies". The Center for Hellenic Studies (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-06-02. 
  4. ^ Mediana (2020-07-16). "4.521 Tradisi Lisan Memerlukan Perlindungan". kompas.id. Diakses tanggal 2023-06-02.