Tengku Buwang Asmara

Tengku Buwang Asmara, putra kedua Raja Kecil, ditabalkan menjadi Sultan ke-2 Kesultanan Siak Sri Indrapura menggantikan ayahandanya tahun 1746. Setelah menaiki takhta, ia digelari Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Syah. Mana kala beliau juga kerap disebut dengan Sultan Mahmud.

Raja Buwang
Sultan Muhammad Abdul Jalil Muzaffar Syah
Raja Kesultanan Siak Sri Inderapura ke-2
Berkuasa17461760
PendahuluRaja Kecil
PenerusRaja Ismail
Informasi pribadi
KelahiranTengku Buwang Asmara
Siak Sri Indrapura
Kematian Siak Sri Indrapura, 1760
WangsaMauli
Nama anumerta
Marhum Mempura
AyahRaja Kecil
IbuTengku Kamariah binti Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV Johor
Istri
  • O Puwan
  • Tok Wai
Anak

Dalam catatan sejarah Pekanbaru, Tengku Buwang Asmara merupakan sosok pejuang yang sangat ditakuti dan disegani oleh Belanda. Yang paling populer dikalangan Masyarakat Melayu Riau, Tengku Buwang pernah berperang menaklukkan Belanda di Guntung atau dikenal Perang Guntung I dan Perang Guntung II.

Untuk mengenang jasanya dalam melawan dan mengusir penjajah, pemerintah Kabupaten (Pemkab) Siak telah mengusulkan Tengku Buang Asmara sebagai Pahlawan Nasional.[1]

Keluarga

sunting

Tengku Buwang Asmara merupakan putera kedua dari Raja Kecil, pendiri dan Sultan pertama Siak. Dan ibunya bernama Tengku Kamariah binti Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV Johor.

Penabalan

sunting

Di hari tua Raja Kecil, ketika beliau sudah mulai sakit-sakitan, terjadi perselisihan di antara kedua putra beliau terkait takhta, Tengku Alamuddin dan Tengku Buwang Asmara. Peselisihan ini sedikit banyak tidak terlepas dari pengaruh yang ditanamkan Belanda.

Menurut lazimnya ketentuan adat istiadat Melayu sejak kakek mereka dahulu, Diraja Johor-Melaka, pengganti Sultan adalah putera sulungnya, Tengku Alamuddin. Namun sebagian orang besar kerajaan mendesak agar Tengku Buwang Asmara lebih layak dijadikan sultan berikutnya. Akibatnya, terjadilah perselisihan yang semakin berkembang, menimbulkan huru hara di dalam negeri Siak dan ancaman perang saudara.

Raja Kecik murka dan memanggil kedua putranya untuk berdamai. Bila tidak ada yang mau berdamai maka salah satu diantara mereka harus keluar dari Siak. Raja Kecil mencium pengaruh Belanda disebalik ini. Langkah terbaik adalah memisahkan mereka.

Tengku Alamuddin memilih mengalah sambil mengatakan "Tiada guna tahta jika harus diwarnai dengan pertumpahan darah antara orang-orang kita sendiri, saudara sendiri, rakyat sendiri."

Tengku Alamuddin memilih meninggalkan Siak tahun 1735. Sementara kedua putranya, Tengku Muhammad Ali dan Tengku Akil tetap tinggal di Siak.

Dalam Syair Perang Siak, sepeninggal Raja Kecil, kedudukannya digantikan oleh Raja Mahmud untuk menjadi penguasa Siak selanjutnya.[1] Peralihan kekuasaan ini diperkirakan sekitar tahun 1746, Raja Mahmud kemudian memerintah sampai tahun 1761.

Perang Guntung

sunting

Masa pemerintahannya merupakan masa-masa yang sulit, karena sering terjadi konflik melawan Kompeni Belanda. Puncak perlawanan yang terjadi pada masa pemerintahan beliau adalah meletusnya Perang Guntung I selama 4 tahun (1752-1756)

Rujukan

sunting
  1. ^ Cave, J., Nicholl, R., Thomas, P. L., Effendy, T., (1989), Syair Perang Siak: a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, MBRAS. A. Flicher, Les Etats princiers des Indes néerlandaises, Dreux 2009

Daftar kepustakaan

sunting
  • Donald James Goudie, Phillip Lee Thomas, Tenas Effendy, (1989), Syair Perang Siak: a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, MBRAS.
  • Christine E. Dobbin, (1983), Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra, 1784-1847, Curzon Press, ISBN 0-7007-0155-9.
  • Journal of Southeast Asian studies, Volume 17, McGraw-Hill Far Eastern Publishers, 1986.
Didahului oleh:
Raja Kecil
Sultan Siak Sri Inderapura
1746 - 1761
Diteruskan oleh:
Raja Ismail