Perang Guntung
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Januari 2023. |
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Perang Guntung adalah peperangan yang berlangsung di Pulau Guntung di kawanan Kesultanan Siak (sekarang Kabupaten Bengkalis) dari tahun 1752 hingga 1760.[1]
Perang Guntung | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Kesultanan Siak | Belanda | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Tengku Buwang Asmara Panglima Besar Tengku Muhammad Ali Raja Indra Pahlawan | Vandrig Hansen † | ||||||
Kekuatan | |||||||
80 penjajap 1 kits dan calup 50 kapal | 80 kapal | ||||||
Korban | |||||||
tidak diketahui |
Seluruh kapal dirampas. Seluruh senjata dan amunisi. 65 orang terbunuh |
Perang antara Kerajaan Siak dan VOC mulai berkobar di bawah pimpinan Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Setelah Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah wafat, perlawanan dilanjutkan oleh putranya, Sultan Muhammad Abdul Jalil Muzhaffar Syah atau dikenal sebagai Tengku Buwang Asmara. Untuk menghadapi serangan pasukan Siak, VOC melakukan blokade ekonomi. Upaya ini dilakukan dengan membangun benteng-benteng pertahanan di sepanjang jalur pelayaran menuju Sungai Siak.
Kapal-kapal dagang yang akan menuju Sungai Siak ditahan VOC di benteng-benteng tersebut hingga akhirnya membuat perekonomian kerajaan terganggu. Siak pun menyiapkan kekuatan lebih besar dengan mengirim kapal perang yang dilengkapi persenjataan lengkap ke Pulau Guntung untuk melawan aksi VOC. Nama kapal perang Kerajaan Siak untuk melawan VOC ini disebut "Harimau Buas". Namun, pertahanan berlapis VOC di Pulau Guntung masih membuat Siak kewalahan. [2]
Pertempuran
suntingpasukan perang Kerajaan Siak yang terdiri 40 buah penjajab besar, satu kits dan calup berangkat menuju Pulau Guntung. Ketika telah sampai di depan pelabuhannya maka Sultan Mahmud memerintahkan seorang "Imam" berketurunan Arab menghadap komandan benteng di Pulau Guntung yang bernama Tuan Vandrig Hansen untuk menyampaikan pesan Sultan Mahmud bahwa Sultan ingin berbaik dan berdamai. Selain itu disampaikan pula bahwa Sultan Mahmud membawa isterinya karena ianya baru saja kawin dengan puteri Sultan Johor dan akan memasuki Sungai Siak. Hal ini adalah tipu muslihat Sultan Mahmud supaya komandan Vandrig Hansen yakin dan percaya. Kemudian Sultan Mahmud menyampaikan salam hormatnya dan beliau berjanji serta menjamin dan merasa terikat dengan Kompeni. Untuk menunjukkan keterikatannya maka ia meng- hadiahkan dua tong arak, lima karung beras, empat karung kacang dan dua bal kain Jawa. Oleh karena itu, mohon sudi kiranya Tuan Komandan dapat memberi izin kepada Sultan Mahmud untuk masuk ke dalam benteng. Netscher mencatat bahwa peristiwa perang yang terjadi di Guntung terjadi pada tanggal 6 Nopember 1759 sekitar jam 10 pagi ketika matahari pagi sedang bersinar, Sultan Mahmud melangkah menuju benteng di Pulau Guntung dengan membawa anak buahnya yang terpilih sebanyak 80 orang dengan membawa barang-barang persembahan yang akan diberikan kepada Tuan Vandrig Hansen komandan benteng Belanda di Pulau Guntung tersebut. Barang persembahan itu diletakkan di dalam peti dan sebagian di dalam dulang berkaki dan ditutup dengan tudung saji yang berlapis kain sutera berwarna warni. Peti-peti dipikul juga ditutup dengan kain sutera berwarna indah lalu dibawa oleh orang-orang Sultan Mahmud. Peti-peti tersebut di dalamnya bukanlah hadiah yang dijanjikan, tetapi senjata keris- keris dan sondang.
Sewaktu Sultan Mahmud masuk ke dalam benteng, rombongan disambut dengan tujuh kali tembakan meriam. Vandrig Hansen sama sekali tidak mempersiapkan kesiagaan anak buahnya selain hanya 5 orang anak buah mengawal Vandrig bersenjata lengkap. Dia sangat yakin bahwa Sultan Mahmud ingin bersahabat dengannya. Sultan Mahmud diterima di tingkat atas tempat duduk komandan dan di sanalah dia menyerahkan hadiah yang dibalut dengan kain putih, untuk kehormatan itu dilepaskan pula tembakan meriam sebanyak lima kali. Setelah Sultan Mahmud duduk lalu panglima-panglima yang bijak dan tangkas sebanyak 50 orang dari Sultan Mahmud diberi izin masuk melewati pintu gerbang benteng tertutup. Begitu masuk mereka menyembah dan sujud dikaki Sultan Mahmud sambil berkata "kabar apa yang dibawa" dan dengan cepat sebagai pendekar terlatih, mereka menghunus kerisnya menghunjam ke lambung Komandan Vandrig Hansen dan kepada pengawal komandan tersebut sehingga Vandrig terbunuh demikian pula pengawal yang menjaganya. Pasukan 80 hulubalang dan 50 panglima mengamuk dan membunuh semua laskar Kompeni Belanda di benteng Pulau Guntung itu, kecuali dua orang Eropa, seorang Portugis dari Melaka dan seorang kelasi orang bumiputra. Semuanya tidak lepas dari amukan hulubalang dan para panglima Sultan Mahmud. Banyak korban dari pihak serdadu kompeni, Semua perlengkapan dan alat perang seperti senjata dan amunisi dibawa oleh anak buah Sultan Mahmud. Semua kapal-kapal dirampas termasuk penjajab dan pencalang yang ada di pelabuhan Guntung diangkut ke kota Mempura pusat pemerintahan Kerajaan Siak.[3]
Referensi
sunting- ^ Lutfi, Muchtar (1977). "Riau Menghadapi Kolonialisme Belanda". Sejarah Riau. Percetakan Riau - Pekanbaru.
- ^ Makfi,2019.
- ^ sejarah perjuangan tengku bawang menupas belanda di pulau guntung, siak(1746-1760)