Taman Kudus

taman di Indonesia

Taman Kudus atau Kudusan Garden adalah Taman Khas Kabupaten Kudus yaitu taman yang dibangun dengan gaya[1] tradisional Kabupaten Kudus. Prinsip dasar taman Kudus adalah miniaturisasi dari lanskap atau pemandangan alam Kabupaten Kudus. Taman Kudus dahulunya hanya di bangun di areal halaman Kemantren di Kudus, halaman Wedana di Kudus, Masjid seperti di Masjid Al-Aqsa (Masjid Menara Kudus), juga di Masjid Wali Loram Kulon, dan Masjid Bubrah Desa Demangan. fungsi taman tersebut untuk sarana hiburan serta untuk menyegarkan pikiran.

ornamen yang menjadi simbol budaya khas Kudus. Ornamen pada taman Kudus dahulu hanya menerapkan konsep arsitektur tradisional. Kini taman Kudus lebih mengarah keminiatur alam, arsitektur, dan kultur budaya Kabupaten Kudus dengan sentuhan sedikit modern. ornamen yang menjadi simbol budaya khas Kudus, Bahkan sekarang taman Kudus dapat di buat oleh masyarakat umum, taman Kudus kini di bangun di hotel yang bertema Kudus, kantor, dan rumah milik pejabat, atau pengusaha.

Tanaman sunting

Taman Kudus terdapat tanaman yang khas dan harus ada di Taman Kudus, yaitu:

  • Tanaman Ganyong

Ganyong sangat terkenal di Kudus, bahkan Ganyong menjadi buah tangan oleh pengunjung dari luar kota.

Pohon sunting

Taman Kudus terdapat pohon yang khas dan harus ada di Taman Kudus, yaitu:

  • Pohon Jambu Bol

Jambu bol merupakan flora identitas Kabupaten Kudus.

  • Pohon Sukun

pohon sukun dahulunya banyak di Kudus

Gerbang sunting

Candi Bentar sunting

Candi bentar adalah sebutan bagi bangunan gapura berbentuk dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk. Candi bentar tidak memiliki atap penghubung di bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di bagian bawah oleh anak tangga. Bangunan ini lazim disebut "gerbang terbelah", karena bentuknya seolah-olah menyerupai sebuah bangunan candi yang dibelah dua secara sempurna. Bangunan gapura tipe ini terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Bangunan gerbang terbelah seperti ini diduga muncul pertama kali pada zaman Majapahit. Di kawasan bekas Kesultanan Mataram, di Jawa Tengah dan Yogyakarta, gerbang semacam ini juga disebut dengan "supit urang" ("capit udang"), seperti yang terdapat pada kompleks Keraton Solo, Keraton Yogyakarta, Keraton Kasepuhan dan Pemakaman raja-raja Imogiri. Meskipun makna supit urang biasanya mengacu kepada gerbang dengan jalan bercabang dua, biasanya jalan dan gerbang yang mengapit kiri dan kanan bangunan pagelaran keraton.

Paduraksa sunting

Paduraksa adalah bangunan berbentuk gapura yang memiliki atap penutup, yang lazim ditemukan dalam arsitektur kuno dan klasik di Jawa dan Bali. Kegunaan bangunan ini adalah sebagai pembatas sekaligus gerbang akses penghubung antarkawasan dalam kompleks bangunan khusus.

Kala sunting

Kala berfungsi sebagai elemen dekoratif umum pada gerbang masuk dan dinding

Dwarapala sunting

Dwarapala adalah patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa dan Buddha, berbentuk manusia atau raksasa yang memegang gada. Biasanya dwarapala diletakkan di luar untuk melindungi tempat suci atau tempat keramat didalamnya. Jumlah arca dwarapala dapat hanya sendirian, sepasang, atau berkelompok. Bangunan suci yang kecil biasanya memiliki hanya satu arca dwarapala. Seringkali dwarapala diletakkan berpasangan di antara gerbang masuk. beberapa situs bangunan suci yang lebih besar memiliki empat, delapan, bahkan duabelas arca dwarapala yang menjaga empat penjuru mata angin sebagai Lokapala, dewa penjaga empat atau delapan penjuru mata angin.

Dwarapala terbesar di Jawa terdapat di Singosari terbuat dari batu andesit utuh setinggi 3,7 meter dengan berat 23 ton. Di pulau Jawa dan Bali arca dwarapala biasanya diukir dari batu andesit, berperawakan gemuk dan digambarkan dalam posisi tubuh setengah berlutut, menggenggam senjata gada. Dwarapala di Kamboja dan Thailand memiliki perawakan tubuh lebih langsing dengan posisi tubuh tegak lurus memegang gada di tengah tepat di antara kedua kakinya. Patung dwarapala di Thailand dibuat dari tembikar tanah liat yang dilapisi glazur pucat susu. Patung seperti ini dibuat pada masa kerajaan Sukhothai dan Ayutthaya. Dalam budaya Jawa, dwarapala dijadikan figur penjaga keraton, misalnya dapat ditemukan di gerbang masuk Keraton Yogyakarta dan gerbang Kamandungan Lor Keraton Surakarta.

Gazebo sunting

Gazebo merupakan suatu bangunan yang ada di taman, biasanya tiap sisinya terbuka karena sesuai dengan tujuan utamanya, gazebo merupakan tempat yang nyaman untuk menikmati taman. Dengan sisi yang terbuka, Anda yang sedang berada di dalamnya dapat menikmati pemandangan taman dengan lebih bebas juga dapat menikmati udara yang bertiup tanpa terhalang penutup pada tiap sisi. Kudus memiliki bentuk gazebo yang khas atapnya berbentuk Tajug, karena Tajug merupakan cikal bakal Kabupaten Kudus, dahulunya di Kudus banyak bangunan Tajug. dari bentuk gentengnya hingga ornamen pada gazebo tersebut. seperti di bawah ini.

Genteng sunting

Genteng Kerpus Tradisional Kudus atau Genteng Wuwungan Khas Kudus merupakan genteng yang memiliki bentuk yang indah dan terkandung filosofi di dalamnya. yaitu:

  • Genteng Kelir

genteng ini hanya ada satu dan terdapat pada bagian paling atas dan tepat ditengah. Genteng Kelir berbentuk daun yang memekar sempurna yang artinya kedewasaan, filosofinya yaitu kedewasaan yang bisa menata yang lebih muda dan bisa menjadi tauladan yang baik bagi yang lebih muda.

  • Genteng Pengapit

genteng ini terdapat pada bagian kanan dan kiri Genteng Kelir. Genteng Pengapit berbentuk daun yang memekar setengah melipat yang artinya muda atau remaja, filosofinya yaitu masa muda (remaja) harus melihat masa depan ketika dewasa dan mencontoh yang lebih tua.

  • Genteng Cungkrik

genteng ini terdapat pada bagian paling sudut bawah dan menghadap atas. Genteng Cungkrik berbentuk kuncup daun, filosofinya yaitu kelahiran.

Ornamen sunting

Taman Kudus terdapat beberapa ornamen khas yang merupakan ciri khas konsep taman gaya Kudus, yaitu:

Padasan 8 Pancuran sunting

Padasan atau pancuran yang masing masing sisi berjumlah 8 pancuran konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni "Delapan Jalan Kebenaran" atau Asta Sanghika Marga. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Kini Pancuran ini juga dibangun di taman kota yang berfungsi untuk masyarakat mencuci tangan ataupun untuk cuci muka, sehingga mendorong masyarakat hidup bersih dan sehat. Padasan tersebut terdapat Motif figuratif lainnya berupa kedhok[2] (menyerupai kala penghias candi Budha). Kedhok ini berjumlah 16 buah (dua deret, masing-masing 8 buah) difungsikan sebagai pancuran padasan. Ornamen tersebut dengan delapan jalan keutamaan (astasanghikamarga), ajaran yang pertama-tama disampaikan Sang Budha kepada murid-muridnya. Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa secara ikonografis keberadaan ornamen bermotif figuratif yang menghiasi masjid Menara Kudus dimaknai sebagai pernyataan simbolis nilai dan sikap toleransi terhadap pluralitas kultural yang dihayati oleh masyarakat pendukung (communal support). Secara estetis, ornamen bermotif figuratif tersebut menegaskan terjadinya pola kesinambungan tradisi budaya pra-Islam dan Islam.

Lampu Taman sunting

Lampu Taman khas kudus adalah sebuah lampu dengan tiangnya yang berbentuk seperti Menara Kudus.

Patung Sapi sunting

Sapi merupakan binatang yang sangat berhubungan dengan sejarah dan budaya Kabupaten Kudus. Taman yang mengusung konsep Taman Kudus atau Kudus Garden dipasang ornamen patung sapi sebagai ciri khas dari kabupaten Kudus yang warganya di larang memotong binatang sapi karena di perintah oleh Sunan Kudus. Sapi merupakan binatang yang sangat dihormati oleh penganut agama Hindu di India. Tak ada orang di sana berani mengusir sapi yang berbaring di tengah jalan, misalnya. Sapi dianggap sebagai binatang suci. Hal ini didasarkan pada salah satu peninggalan bersejarah agama Hindu yang menceritakan keterkaitan antara sapi dan Dewa Khrisna. Dalam peninggalan itu disebutkan Dewa Khrisna pernah menampakkan diri di bumi dalam wujud pengembala sapi, yang kemudian mereka sebut sebagai Bala-Gopala atau Govinda yang artinya seseorang yang melindungi kawanan sapi. Bahkan dalam salah satu kitab suci lain, sapi diumpamakan sebagai ibu kehidupan karena air susunya yang banyak berguna buat manusia. Konon pada zaman dahulu ada sekelompok pendeta Hindu yang mendatangi kediaman Sunan Kudus. Mereka melakukan "topo pepe"(memanggang diri di terik matahari) di halaman rumah Sunan Kudus sebagai tanda protes karena di beberapa tempat masyarakat Kudus menyembelih hewan yang mereka hormati dan keramatkan yaitu sapi. Sunan Kudus akhirnya mendapatkan akal untuk menjawab keinginan para pendeta tersebut. Suatu kali beliau pernah menambatkan sapi di depan masjid Menara sehingga penduduk baik yang beragama Hindu maupun Islam berdatangan ke masjid. Disinilah beliau menerangkan bahwa suatu saat ketika masih kecil beliau pernah hampir mati kehausan. Kemudian datang seekor sapi yang menolongnya dengan memberikan air susunya. Karena itu beliau melarang pengikutnya untuk menghormati hewan yang telah menolongnya dengan cara tidak meyembelih sapi. Tindakan Sunan Kudus yang bijaksana ini mendapatkan simpati dari para pengikut agama Hindu, bahkan banyak dari mereka akhirnya menyatakan diri menjadi pengikut Sunan Kudus dan memeluk agama Islam. Demi menghormati keyakinan agama Hindu beliau melarang masyarakat Kudus untuk menyembelih sapi. Itulah sebabnya sampai sekarang di Kudus tidak ada rumah pemotongan hewan yang menyembelih sapi. Untuk mencukupi kebutuhan akan daging sapi biasanya didatangkan dari daerah sekitar. Orang Kudus percaya kalau mereka melanggar larangan ini maka akan timbul malapetaka di kemudian hari. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih mengikuti peraturan yang diperintah oleh Sunan Kudus untuk menyembelih sapi.

Patung Barongan Gembong Kamijoyo sunting

Barongan Gembong Kamijoyo (Barongan Khas Kudus) untuk taman yang mengusung konsep Taman Kudus atau Kudus Garden dipasangi ornamen patung barongan khas Kudus yaitu Patung Barongan Gembong Kamijoyo sebagai ciri khas taman bertema dengan konsep Kudus

Lingga Yoni sunting

adalah ornamen ini bertujuan menandakan bahwa suatu daerah kemakmuran dan sejahtera. Karena Kudus merupakan kota yang sejahtera dan makmur maka tiap taman di Kudus terdapat tugu lingga yoni.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ [1]
  2. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-04-01. Diakses tanggal 2016-03-19. 

Pranala luar sunting