Tōya Maru (Bahasa Jepang: 洞爺丸, とうやまる) adalah sebuah kapal feri pengangkut kereta milik Kereta Api Nasional Jepang yang melayani Rute Seikan antara Honshu dan Hokkaido. Pada 26 September 1954 pukul 18.30 WIB, kapal ini berangkat meninggalkan Hakodate menuju Aomori membawa 1.250 penumpang dan 45 buah gerbong. Saat berada di Selat Tsugaru, kapal ini terjebak topan dan berusaha kembali ke Pelabuhan Hakkodate. Namun, gagal dan terpaksa menurunkan jangkar di luar pelabuhan. Jangkar yang digunakan tidak kuat untuk menahan terpaan topan yang mengakibatkan kapal terbawa arus, menabrak karang, terbalik dan tenggelam di Nanaehama.[1] Kecelakaan ini memakan korban jiwa sebanyak 1.172 penumpang. CNN mencatat kecelakan Tōya Maru sebagai salah satu kecelakaan kapal terbesar di dunia.[2]

Kapal Tōya Maru, salah satu kapal feri pengangkut kereta api dengan teknologi paling mutakhir di Jepang pada masanya.
Sejarah
Nama Tōya Maru
Pemilik Kereta Api Nasional Jepang
Registrasi  Japan Tokyo
Rute Hakodate ke Aomori atau sebaliknya
Pembangun Mitsubishi Heavy Industries, Kobe
Nomor galangan 816
Beroperasi 21 November 1947
Tidak beroperasi 26 September 1954
Nasib list error: <br /> list (help)
Karam tanggal 26 September 1954
setelah tujuh tahun beroperasi akibat Badai/Topan Marie di Selat Tsugaru
Ciri-ciri umum
Kelas dan jenis RO/RO feri
Tonase 3.898 GRT
Panjang 1.187 m (3.894 ft)
Lebar 1.585 m (5.200 ft)
Kecepatan 20 knots
Kapasitas 1.128 passengers
Awak 120 crew

Tōya Maru dan Rute Seikan

sunting

Rute Seikan adalah rute laut yang dilayani oleh Tōya Maru dan berbagai kapal feri pengangkut kereta lainnya. Rute ini menghubungkan Aomori, prefektur paling utara di Pulau Honshu dengan Hokkaido.[3] Para penumpang yang bepergian ke dan dari Sapporo, Hokkaido menggunakan kereta api dari Stasiun Ueno, Tokyo akan berhenti di Pelabuhan Aomori. Di pelabuhan ini, para penumpang diharuskan keluar dari kereta. Gerbong-gerbong kereta lantas dinaikkan ke dalam feri pengangkut kereta untuk kemudian dibawa berlayar melintasi Selat Tsugaru ke Pelabuhan Hakkodate. Dari sana, kereta api akan melangsungkan perjalanan hingga ke Sapporo, ibu kota Prefektur Hokkaido.

Rute Seikan tergolong sebagai rute yang sibuk. Rute ini menjadi salah satu perairan Jepang yang diintai oleh Militer Amerika Serikat. Militer Amerika Serikat melancarkan serangan udara mematikan pada 14 Juli 1945 yang mengakibatkan sembilan kereta api pengangkut kereta tenggelam dan rusak berat.[3] Sembilan kapal tersebut adalah Seikan Maru Nomor 2, 3, 4, 6, dan 10, Hiyan Maru, Matsumae Maru, Shoho Maru, dan Tsugaru Maru. Empat di antaranya tenggelam di Pelabuhan Aomori, dua di pelabuhan Hakkodate, dan tiga kapal tenggelam di laut. Sehari kemudian Amerika Serikat kembali melancarkan serangan terhadap Rute Seikan. Dalam serangan itu, Seikan Maru Nomor 1 yang berada di Teluk Mimaya ditenggelamkan. Sedangkan Seikan Maru Nomor 7 dan 8 berhasil selamat.[3]

Sebelum Perang Pasifik, Jepang mempunyai 36 kapal pengangkut kereta. Setelah perang hanya tersisa 24 kapal saja.[3] Dua tahun kemudian Tōya Maru (bobot 3.898 ton) yang selesai dibangun oleh Mitsubishi Heavy Industries diresmikan penggunaannya sebagai salah satu armada di Rute Seikan. Kapal ini dioperasikan dalam rangka meningkatkan jumlah kapal pengangkut kereta api yang menghubungkan Aomori dan Hokkaido dikarenakan armada kapal pengangkut di daerah itu hancur sepenuhnya selama perang.[1] Antara tahun 1947-1949, 10 kapal feri pengangkut yang baru dioperasikan di rute ini.[3] Pada tahun 1950, kapal ini menjadi kapal pertama di Jepang yang dilengkapi dengan radar dan teknologi terbaru pada zamannya. Masa itu Terowongan Seikan belum ada, Tōya Maru dan armada kapal pengangkut menjadi urat nadi yang menghubungkan Honshu dengan Hokkaido.[1]

Kecelakaan

sunting

Kecelakaan Tōya Maru ini disebut sebagai kecelakaan kapal terbesar dan paling mematikan dalam sejarah Jepang yang tidak banyak diketahui oleh generasi muda Jepang masa kini.[4] Jumlah penumpang yang berada di dalam kapal serta jumlah korban jiwa dan penyintas kecelakaan sulit untuk diketahui secara pasti dikarenakan banyak penumpang gelap yang tidak terdata serta ada pula sebagian penumpang yang memilih untuk membatalkan perjalanan. The Lewiston Daily pada 11 November 1963 menyebutkan bahwa kecelakaan kapal ini merenggut 1.172 korban jiwa, 58 di antaranya merupakan warga Amerika Serikat. Artikel pada The Japan Times menyebutkan jumlah korban lebih dari 1.200 jiwa dengan 150 penumpang serta kru yang berhasil selamat.[4]

Respon

sunting

Investigasi Kecelakaan

sunting

Menteri Transportasi dan Wakil Presiden Kereta Api Nasional Jepang pergi ke Hakkodate pada 27 September 1954 untuk mengetahui situasi lebih lanjut.[1] Komite yang bertugas untuk menginvestigasi penyebab kecelakaan tersebut pun mulai melakukan tugasnya. Komite mengumpulkan informasi dari kru penyintas yang memiliki pangkat tertinggi di kapal karena kapten kapal tewas. Kru tersebut mengatakan, "Kami sebenarnya dijadwalkan berangkat pada 14.50, tetapi keberangkatan kami tunda karena ombak yang ganas. Pada pukul 17.30, cuaca mulai membaik. Ada peringatan topan, tetapi kami tidak terdampak apa pun dari Topan Nomor 12, sehingga kami tidak berekspektasi bahwa cuaca akan jadi sangat buruk. Akhirnya kami berangkat pada 18.40, dan tak lama kemudian kami dihantam angin berkecepatan 32 m/s. Ketika kami telah meninggalkan pelabuhan, cuaca sangat buruk, dan kami memutuskan untuk kembali. Kami menurunkan jangkar di luar pelabuhan, tetapi tak dapat memperbaikinya. Kami menyalakan mesin berkekuatan penuh untuk menahan angin, tapi pada pukul 22.00 kedua mesin yang kami miliki mati, kapal kemudian tersapu gelombang dan menabrak karang pada 22.26. Dalam tujuh atau delapan menit kapal terbalik. Penumpang yang memiliki pelampung langsung melompat ke laut. Perkiraan kami mengenai topan saat itu ternyata salah."[1]

Pembangunan Terowongan

sunting

Rencana pembangunan jalur lalu lintas kereta api Honshu-Hokkaido sebenarnya sudah ada sejak Zaman Taisho. Namun, tidak terpernah terealisasikan. Kegiatan survei yang serius mengenai rencana pembangunan jalur penghubung ini baru dilakukan pada tahun 1946, setelah Perang Dunia II usai. Tenggelamnya kapal Tōya Maru tahun 1954 membuat Pemerintah Jepang mempercepat proyek jalur penghubung Honshu-Hokkaido. Pada 1955 Kereta Api Nasional Jepang mulai mengadakan survei awal pembangunan terowongan.[5]

Pada tahun 1971, proyek pembangunan terowongan disetujui. Proyek itu diberi nama Proyek Terowongan Seikan. Pada 27 Januari 1983 Perdana Menteri Yasuhiro Nakasone meresmikan selesainya jalur evakuasi terowongan ini. Dua tahun berselang, Menteri Transportasi Jepang, Tokuo Yamashita meresmikan selesaikan jalur utama terowongan pada 10 Maret 1985. Terowongan Seikan diperkirakan menelan biaya sebesar 1,1, triliun yen atau setara dengan 7 milliar dollar. Terowongan yang menghubungkan Aomori dan Hokkaido itu kemudian dibuka untuk umum pada 10 Maret 1988.[6] Bertepatan dengan pembukaan terowongan secara resmi, dua kapal feri pengangkut kereta api terakhir yang melayani Rute Seikan masing-masing meninggalkan Pelabuhan Hakkodate dan Aomori serta secara simbolis mengakhiri 80 tahun Rute Kereta Api Seikan.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 Juli 2010. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  2. ^ "Major Ferry/Ship Sinkings Fast Facts". Diakses tanggal 2019-12-6. 
  3. ^ a b c d e "Japanese Railway Ships Page 2". Diakses tanggal 2019-12-6. 
  4. ^ a b "There but for Fortune ..." Diakses tanggal 2019-12-6. 
  5. ^ a b Matsuo, S. (1986). "An overview of the Seikan Tunnel Project Under the Ocean". Tunnelling and Underground Space Technology. 1 (3–4): 323–331. doi:10.1016/0886-7798(86)90015-5. 
  6. ^ "Toya Maru Ferry Disaster". Diakses tanggal 2019-12-6. 

Pranala luar

sunting