Suku Maybrat

suku bangsa di Indonesia

Suku Maybrat (Ra ro Meibrat) adalah kelompok etnis yang berasal dari Papua Barat Daya, Indonesia. Suku ini umumnya mendiami Kabupaten Maybrat dan Sorong Selatan.[1]

Maybrat
Ra ro Meibrat
Daerah dengan populasi signifikan
Papua Barat Daya
Bahasa
Maybrat
Agama
Kekristenan
Kelompok etnik terkait
Moi • Arfak • Abun

Sub-suku sunting

Suku Maybrat terbagi menjadi beberapa sub-suku:[2]

  • Ra ro Mare (orang Mare) adalah sub-suku yang tinggal di bukit-bukit di sebelah Danau Ayamaru.
  • Ra ro Karon (orang Karon) adalah sub-suku yang tinggal di Kecamatan Sausapor.
  • Ra ro Aifat/Brat (orang Aifat) adalah sub-suku yang tinggal di sebelah timur Kecamatan Aifat.
  • Ra ro Aitinyo (orang Aitinyo) adalah sub-suku yang tinggal di Kecamatan Aitinyo.

Mitologi sunting

Dalam mitologi suku Maybrat di ceritakan bahwa alam serta segala isinya diciptakan oleh suatu mahluk gaib yang mempunyai kekuatan maha sakti yang bernama Suiwa yang bertempat di langit dan mempunyai sifat suku menari. Apabila mahluk itu ingin menciptakan sesuatu, ia akan menari maka apa yang diinginkannya akan tercapai.[2]

Suiwa mempunyai saudara yang bernama Mafif yang menetap di bumi. Mafif yang memberikan pengetahuan kepada manusia mengenai segala sesuatu yang diperlukan dalam hidupnya seperti; pengetahuan bertani, berburu, membuat api, rumah, berperang dan lain-lain, serta memberikan aturan-aturan adat dan tata cara menyelenggarakan upacara.[2]

Budaya sunting

Di dalam masyarakat Meybrat dikenal orang-orang tertentu yang dapat berhubungan dengan dunia gaib, golongan orang tersebut disebut Wofte. Mereka yang memimpin upacara-upacara adat disebut Tochmi dan ra uon, ada yang menjadi dukun untuk mengobati penyakit dengan ramuan-ramuan gaib disebut Bofit, dan ada yang melakukannya untuk membunuh, mempengaruhi orang lain disebut bo mbaw.[2]

Di samping golongan-golongan ini juga terdapat beberapa golongan yang disebut kabes fane. Di tanah Papua lebih dikenal dengan swanggi. Golongan orang yang memegang ilmu hitam dan bisa merubah wujud menjadi apa saja. Orang-orang tersebut mendapat pendidikan di lembaga tradisional yang disebut wion (rumah berhala), tetapi lembaga tersebut telah dimusnahkan oleh pemerintah Belanda tahun 1967.[2]

Untuk melindungi masyarakat atau penduduk dari hal-hal seperti ini, maka masyarakat Mey Brat mengadakan upacara-upacara tradisional untuk memohon perlindungan dari roh-roh nenek moyang mereka. Salah satu Upacara adat yang diselenggarakan adalah upacara pada masa kehamilan yang di sebut Morus Tere.[2]

Upacara Morus Tere sunting

"Morus" artinya melepaskan/memotong, sedangkan "Tere" artinya gelang. Nama tersebut merupakan kiasan yang mengandung makna membebaskan si wanita yang mengandung dan bayinya dari pengaruh kekuatan gaib yang ada disekitarnya. Upacara ini hanya dilakukan satu kali dalam kehamilan, walau pada masa ini upacara tersebut sudah jarang dilakukan.[2]

Upacara ini biasanya diselenggarakan pada setiap kehamilan kecuali pada kehamilan anak perempuan. Upacara ini diadakan setelah diketahui pasti bahwa si wanita telah hamil. Upacara juga diselenggarakan pada pagi hari, dengan anggapan masyarakat bahwa fajar menyingsing merupakan permulaan dari suatu hari yang baru dan memberikan ketentuan baru bagi mahluk hidup.[2]

Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki (suami) dan diadakan di halaman rumah. Upacara ini dipimpin oleh seorang pria yang sudah berumur dari pihak suami, didampingi oleh kepada adat dari kampung pihak suami untuk memberikan saran-saran kepada pemimpin acara jika hal itu diperlukan. Upacara ini melibatkan semua kerabat dari pihak suami dan istri. Kerabat-kerabat tersebut manurut adat harus ikut mengambil bagian memberikan bahan-bahan yang di perlukan dalam upacara tersebut baik berupa makan/minum dan lain-lain. Kerabat pihak suami harus membawa ?bo? (kain timur) yang akan diberikan kepada pihak istri. Selain kaum kerabat dari pihak suami dan istri hadir pula tokoh-tokoh adat dari kampung maupun klen pihak suami dan istri yang berperan sebagai penasehat adat.[2]

Inti dari kegiatan utama jalannya upacara yaitu; semua kain timur ?bo? yang diserahkan akan disusun teratur secara bersaf diatas lantai rumah. Kain yang harganya paling mahal terletak di urutan pertama dan bagian belakang harganya paling belakang. Kemudian wanita di panggil dan duduk berlutut, setelah itu pihak laki-laki akan menaruh kain yang paling mahal di atas kepala wanita hamil seraya mengucapkan kata; ey po mese safo morus mamo fari, nebe here moros matak mam tabam yang artinya "hei kekuatan dan kekuasaan gaib dan roh-roh yang tidak baik yang berniat jahat ingin mendatangkan kesusahan dan malapetaka, lepaskan genggamannya dan pergi jauh agar dia melahirkan dengan selamat dan yang lahir hidup sentosa."[2]

Sementara kata-kata itu diucapkan oleh pemimpin upacara, kepala adat yang mendampinginya menghentakkan kaki ke lantai dan secara bergurau mencaci maki keluarga dan kaum kerabat pihak perempuan dengan kata-kata yang sinis. Hal ini melambangkan pengertian bahwa keluarga suami (pihak laki-laki) merupakan keluarga terhormat dan tidak bisa dianggap remeh karena mereka telah berhasil mengumpulkan harta (kain Timor) yang diserahkan ke pihak perempuan. Upacara diselenggarakan dengan tujuan untuk meningkatkan status keluarga si penyelenggara di mata masyarakat terutama di mata keluarga pihak istri dan kaum kerabatnya.[2]

Kain Timor sunting

Dalam masyarakat Mey Brat apabila seseorang/satu keluarga dapat mengumpulkan kain timor dalam jumlah yang banyak, dan bisa memberikan jumlah banyak kepada pihak lain, maka orang/keluarga itu dianggap orang kaya dan terhormat serta disegani. Masyarakat Mey Brat rupa-rupanya sangat menghargai kain timor. Memiliki kain timor dalam jumlah banyak merupakan gengsi dan menjadi dasar untuk memperoleh kedudukan sebagai tokoh pimpinan tradisional dalam masyarakat. [2]

Hal ini terlihat dari penggunaan istilah bobot (orang kaya) yaitu orang yang memiliki banyak kain timur disebut bobot dan seorang bobot biasanya menduduki jabatan kepala klen atau kepala kampung. Solidaritas dan gotong royong antara orang yang berkerabat sangat kuat pada orang Mey Brat, dimana dalam upacara-upacara cukup besar peranan kaum kerabat dalam membantu bahan maupun biaya yang diperlukan oleh keluarga berkepentingan.[2]

Referensi sunting

  1. ^ "Pokja Adat MRPB Resmikan 9 Sub Suku dan Lantik Sub Suku Maybrat". suaraindonesia-news.com. Diakses tanggal 21 Desember 2022. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m "Morus Tere". Warisan Budaya Takbenda. Diakses tanggal 2023-03-17.