Suku Lahat

suku bangsa di Indonesia

Suku Melayu Lahat atau sering disebut juga sebagai Jeme Lahat, merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang mendiami beberapa kecamatan di Kabupaten Lahat dan beberapa wilayah lainnya di Provinsi Sumatera Selatan. Suku Lahat terbagi kedalam 4 kelompok (Sub-Suku Lahat) yang dahulu disebut dengan Kelompok Lekipali, atau kepanjangan dari Lematang, Kikim, Pasemah (atau Besemah), dan Lintang. Komunitas masyarakat Suku Lahat sebagian besar tinggal di daerah-daerah pegunungan atau area perbukitan yang subur. Di bagian barat dan selatan terdapat gugusan Pegunungan Bukit Barisan dengan puncaknya yang tertinggi Gunung Dempo (3.159 meter di atas permukaan laut).[1]

Suku Lahat (orang Pasemah atau Basemah) di sebuah desa di dataran tinggi Pasemah sedang menari. Tampak di depan hasil perkebunan mereka, biji kopi yang sedang dikeringkan (Koleksi Tropen Museum Belanda).

Karena tinggal di wilayah yang subur, sistem mata pencaharian hidup Masyarakat Suku Lahat adalah bertani. Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan jenis tanaman keras, seperti tanaman karet, kopi ataupun cengkeh. Mereka juga menanam padi, sayur-sayuran dan palawija. Ada juga yang beternak ikan sebagai mata pencaharian hidupnya. Bagi komunitas Suku Lahat yang tinggal di wilayah perkotaan biasanya mereka berdagang sebagai mata pencaharian hidupnya.

Kepercayaan

Orang-orang komunitas Suku Melayu Lahat sudah lama memeluk Agama Islam. Meskipun demikian mereka masih mempercayai dan menjalankan kepercayaan nenek moyangnya. Dalam berbagai upacara adat, mereka masih mencampur ritual-ritual dalam ajaran Islam dengan kepercayaan terhadap mahluk-mahluk halus. Misalnya menyajikan sesajen atau mengucapkan mantra-mantra. Salah satu yang dimaksud adalah upacara adat Sedekah Rame, atau tradisi adat tentang pengelolaan sawah. Dengan melaksanakan tradisi tersebut Orang Suku Lahat berharap hasil yang mereka tanam akan memuaskan serta dilindungi oleh Yang Maha Kuasa.[1]

Bahasa

Bahasa Melayu Lahat termasuk dalam rumpun Bahasa Melayu, dan keempat kelompok sub suku tadi menggunakan bahasa yang sama. Yang membedakan adalah dialek mereka yang berbeda-beda. Orang Lematang menggunakan Bahasa Melayu Lahat dengan dialek Lematang, Orang Kikim dengan dialek Kikim, Orang Besemah dengan dialek Besemah dan Orang Lintang dengan dialek Lintang. Jadi jika seandainya sesama orang Lekipali bertemu dan berkomunikasi, lewat dialeknya itu bisa diketahui berasal dari kelompok manakah lawan bicara mereka.[1]

Sistem Kekerabatan

Suku Lahat menganut sistem kekerabatan patrilineal, atau garis keturunan dari laki-laki. Maka dari itu pewarisan gelar diturunkan melalui garis laki-laki (ayah). Gelar yang diwariskan ini salah satunya berlaku juga untuk jabatan Jurai Tue.[2] Jurai Tue memiliki posisi yang sangat penting dalam adat Suku Lahat. Mereka ini adalah pembina moral bagi para anggota suku. Mereka harus selalu memberikan contoh, mampu menjadi panutan di mana pun mereka berada.[3] Syarat mutlak yang menjabat posisi tersebut adalah mereka ini tidak boleh seorang perempuan. Alasannya, laki-laki dianggap memiliki sifat kepemimpinan, memiliki kesigapan untuk menjalankan tugas sebagai Jurai Tue, dan tidak memiliki batasan-batasan terlalu banyak jika dibandingkan dengan perempuan. Syarat utama yang juga harus dipenuhi adalah dia harus anak laki-laki pertama dari keturunan Jurai Tue sebelumnya. Jabatan ini merupakan jabatan turun-temurun, tidak melewati pemilihan. Sedangkan alasan mengapa harus anak laki-laki tertua adalah karena bagi orang Suku Lahat laki-laki tertua dianggap mampu menjadi pembina moral tadi.

Sistem Pemerintahan Adat

 
Kepala Desa Muara Beliti Pasemah Sumatera Selatan berpose bersama keluarganya (koleksi Tropen Museum Belanda).

Seperti halnya masyarakat modern, Masyarakat Adat Suku Lahat juga memiliki sistem pemerintahan yang menjalankan tradisi suku tersebut. Dusun-dusun orang Suku Lahat dipimpin oleh Rie sebagai kepala pemerintahan setempat. Rie juga sekaligus menjadi kepala adat. Dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala adat, Rie dibantu oleh tua-tua, atau yang dianggap sesepuh (orang yang dituakan) di dusun tersebut. Lalu ada Penghulu atau disebut juga dengan Khatib. keduanya memiliki tugas memimpin hal-hal yang terkait dengan ritual-ritual keagamaan atau adat. Ada juga yang bertugas khusus mengatur soal persawahan, mulai dari menanam, pemakaian air hingga saat masa panen tiba. Jabatan ini disebut sebagai Ketua Ataran.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d Melalatoa, DR. M. Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L – Z. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  2. ^ "Jurai Tue, Jabatan Turun-temurun". pagaralam pos online. 19 Maret 2016. Diakses tanggal 18 Maret 2019. 
  3. ^ Murniatmo, Gatut; H. Nugroho, Hermawan; Dradjad, Sjamsu (2000). Khazanah Budaya Lokal: Sebuah Pengantar Untuk Memahami Kebudayaan Daerah di Nusantara. Yogyakarta: Adicita. ISBN 979-9246-29-6.