Suku Bali Majapahit

suku bangsa di Indonesia

Suku Bali Majapahit merupakan salah satu suku yang mendiam wilayah pulau Bali yang dipengaruhi oleh adat budaya Majapahit, yang berawal dari tujuan Mahapati Gajah Mada yang ingin mempersatukan Nusantara, beserta rombongan masyarakat Majapahit datang ke wilayah Bali.[1] Adapun suku-suku yang mendiami pulau Bali yaitu Bali Mula, Bali Aga dan Bali Majapahit, walaupun mayoritas merupakan Suku dari Bali Aga dan Bali Majapahit. Suku Bali Majapahit yaitu suku yang berasal dari masyarakat yang menganut kepercayaan Hindu dan adat istiadat Majapahit. Suku ini datang setelah adanya utusan dari Majapahit. Zaman Bali Majapahit atau Wong Majapahit bermula pada abad 14, yang tepatya ketika tahun 1350 M, pada masa Sri Kresna yang berasal dari Kepakisan Kediri sebagai utusan Gajah Mada untuk mendiami wilayah Bali.[2]

Kekhasan suku Bali Majapahit dalam hal mata pencaharian yaitu bercocok tanam di sawah, pada daerah dataran. Dan mempunyai satu subak atau satu sumber air yang sama.[1] Suku Bali Majapahit juga diyakini memberikan pengaruh besar terhadap arsitektur Puri atau Keraton. Pengaruh Majapahit berkembang pada daerah pakraman bali pada wilayah dataran dan juga pengaruh kerajaan Majapahit ini berkembang di desa Menyali pada perkiraan tahun 633 M. Pada awalnya tidak ada suatu konsep dasar pemukiman di desa Menyali ketika Majapahit masuk ke desa tesebut. Desa Menyali kemudian memiliki struktur konsep Tri Hita Karana. Hal ini dibuktikan adanya letak Pura Kahyangan Tiga, pemukiman penduduk, dan juga tempat setra agung. Desa Menyali merupakan tempat percampuran adanya kebudayaan Suku Bali Mula dan Suku Bali Majapahit, yang memiliki sikap saling toleran dalam hal upacara ritual keagamaan, pemerintahan, ataupun perilaku keseharian. Saling toleransi ini tercermin dari kegiatan upacara adat dan ritual dari Suku Bali Mula dan Bali Majapahit bersama-sama dalam menjalankan kegiatan di suatu Pura yang sama dan pemuka adat dari masing-masing suku saling bertoleransi dengan melakukan ritual pada satu tempat khusus di Pura Desa, dan juga saling toleran seperti pembagian subak, maupun pemukiman di desa tersebut.[2]

Pengaruh Puri/Keraton oleh Majapahit sunting

Mendiami wilayah Bali bagi masyarakat Majapahit berawal dari ekspedisi yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1343 M. Hal ini terbukti adanya puri yang berarti istana atau keraton. Puri berasal dari kata pur yang mengartikan benteng pertahanan. Belum ditemukan adanya peninggalan sisa bukti akan adanya puri atau keraton dari Raja-raja Bali terdahulu sebelum pemerintahan tahun 1343 M, hal ini memberikan keyakinan bahwa pengaruh Majapahit memberikan kebangkitan adanya Puri di wilayah Bali tersebut. Raja Bali terdahulu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten yang telah dikalahkan oleh kerajaan Majapahit tidak meninggalkan jejak keraton/puri yang diperkirakan sekitar Pejeng-Bedahulu.[3]

Ketika Bali telah dikuasai Majapahit, dilantiklah raja Bali baru yang bernama Sri Kresna Kepakisan yang mendiami Puri atau Kraton Samprangan daerah Gianyar sekarang ini.[3] Puri Samprangan merupakan tempat pemerintahan sebagai pusat dari Bali yang baru. Pada sekarang ini daerah tersebut merupakan daerah yang dikenang sebagai bekas markas tentara Majapahit, ketika Gajah Mada telah menaklukkan Raja Bali yaitu Sri Asta Sura.[4]

Sri Kresna Kepakisan yang berasal dari Majapahit ini memberikan dampak yang dapat mempengaruhi sistem pemerintahan yang baru. Bangsawan-bangsawan yang tergolong dalam kelompok bangsawan elite ikut andil dalam membentuk lapisan-lapisan pemerintahan. Hal tersebut menjadikan dampak akan pergeserannya takhta dan peran dari bangsawan kerajaan Bali Kuno.[5]

Sri Kresna Kepakisan mengiring sejarah pada abad ke 17. Setelah berdirinya puri-puri baru dari Keturunan Raja Gelgel ataupun para arya (bangsawan), secara keseluruhan puri-puri tersebut didirikan atas dasar mempertahankan kesinambungan pengaruh Majapahit. Tak hanya itu Puri atau keraton Majapahit ini dijadikan acuan dalam pendirian puri-puri selanjutnya. Dalam aspek sosial puri sebagai tempat kediaman raja yang mempunyai kuasa dari seluruh kerajaan. Adapun dalam segi politik puri sebagai pusat pemerintahan dalam suatu kerajaan.[6]

Sejarah Identitas Majapahit sunting

Berawal dari penaklukan Suku Bali Aga yang mendiami wilayah Bali terlebih dahulu sebelum Majapahit. Suku Bali Aga ini merupakan diyakini sebagai Suku yang sulit dikalahkan oleh Mahapatih Gajah Mada yang hendak mempersatukan Nusantara pada wilayah Bali.[1] Bali telah ditaklukan Gajah Mada tahun 1343. (Ginarsa, 1968: 1; Yamin, 1957: 47-48). Hal ini berpengaruh adanya segi sosial dan budaya, yang melahirkan perbedaan kelas-kelas sosial atau stratifikasi yang dipengaruhi oleh kaum bangsawan atau bisa disebut feodal. Sebelum penaklukan Bali oleh Majapahit, masyarakat Bali mengenal stratifikasi sosial yang lebih terbuka dan egaliter yaitu bersifat sama atau sederajat. Kedatangan Majapahit ini yang sekarang disebut Suku Bali Majapahit atau Wong Majapahit dan Bali Asli yaitu Suku Bali Aga. Suku Bali asli inilah yang membuat Majapahit memerlukan waktu Sembilan tahun untuk menaklukan wilayah Bali.[3]

Setelah penaklukan Bali patih Gajah Mada memberikan mandat Sri Kresna Kepakisan pada tahun 1352-1380 M yang diutus sebagai raja Bali mendiami istana Samprangan, Gianyar. Dengan 15 orang arya (gelar pegawai tinggi atau bupati dalam administrasi kerajaan jawa pada zaman dahulu), Sri Kresna Kepakisan membentuk kasta sendiri. Sri Kresna Kepakisan memiliki latar belakang sebagai Brahmana Majapahit yang berasal dari Kediri. Tidak hanya 15 arya, terdapat 3 orang Wesia dan Prajurit Kaula Jawa ikut andil dalam pemerintahan baru yang dipimpin oleh Sri Kresna Kepakisan. Hal ini membentuk suatu susunan pemerintahan yang berkembang di Bali sebagai Wangsa dan soroh (sub-wangsa).[3]

Ciri khas suku Bali Majapahit ini memiliki pengaruh besar akan kepercayaan religi yaitu agama Hindu,[7] oleh karena itu Suku Bali Majapahit ini memiliki nama lain yaitu warga Bali Hindu. Warga Bali Hindu ini tergolong dalam empat wangsa, yaitu Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra. Yang dinobatkan menjadi penguasa elite pemerintahan. Sedangkan Sri Kresna Kepakisan menduduki sebagai tingkat wangsa Kesatria yang paling tinggi dan disebut Ksatrya Dalem. Para arya dari Jawa dan keturunannya dinobatkan dalam tingkat wangsa Kesatria yang disebut arya pula. Wangsa Waisya ditempati oleh keturunan Ton Kober, Tan Kaur, Tan Mundur. Sedangkan Wangsa Sudra merupakan masyarakat dari Prajurit Majapahit dan rakyat Jawa yang telah membaur dengan rakyat Bali asli.[3]

Bangsawan Majapahit yang memiliki kekuasaan menimbulkan dominasi dan perbedaan paham atau dualisme antara lapisan masyarakat Bali Majaphit atau Bali Hindu dengan Bali asli atau Bali Aga. Hal ini disebabkan karena Bali asli tak memiliki sistem wangsa akibat kalah perang yang menjadi rakyat biasa. Sistem inilah yang diberlakukan oleh masyarakat Suku Bali Majapahit atau wong Majapahit yang didominasi oleh para penguasa bangsawan Jawa.[3]

Setelah Sri Kresna Kepakisan digantikan oleh Putranya yang bernama Agra Samprangan, hal ini tidaklah lama, lalu kekuasaan digantikan oleh Dalem Ketut Ngelesir pada tahun 1380 M-1400 M, yang semula di pura Samprangan, Gianyar dipindahkan ke kraton Gelgel, Klungkung. Kerajaan Gelgel ini yang menjadi istana besar dengan hubungan antara VOC dan istana Makassar. Gelgel ini telah berkuasa di wilayah Lombok dan Blambangan, yang masih tetap di bawah kekuasaan Majapahit.[3]

Periode masa kraton Gelgel ini, lapisan pemerintahan Bali mengalami perkembangan yang semakin rumit. Susunan lapisan Pemerintahan berkembang menyerupai kasta yang begitu tertutup. Kerajaan Gelgel ini yang akan dianggap menjadi kelanjutan kebesaran Majapahit. Kususnya pada bidang keagamaan Hindu. Jati diri kontemporer secara fungsi ini mengalami kelanjutan pada masa abad ke 21 oleh “Kerajaan Majapahit Bali (Bali Post, 23 Agustus 2016).

Ksatrya Dalem yang merupakan keturunan langsung dari Sri Kresna Kepakisan mengalami perkembangan dari generasi ke generasi yang memiliki kekhasan dalam menunjukan jabatan pada masing masing identitas stratifikasi. Dalam keturunan vertical dari Raja Ksatrya Dalem memiliki jabatan I Dewa Agung (Raja), I Dewa bagi pria dan I Dewa Ayu bagi Wanita dan berbagai macam variasi tergantung dari Isteri. Sedangkan bagi arya sebagai pengikut Kresna Kepakisan, yang memiliki jabatan I Gusti bagi pria dan I gusti Ayu bagi wanita yang memiliki variasi juga tergantung pada isteri. Lalu untuk Waisya memiliki jabatan Gusi atau Si, yang nantinya menjadi Gusti, karena Gusi atau Si dianggap kurang tinggi.[3]

Pemberian gelar atau jabatan baru memiliki dampak kebijakan politik yang telah dilakukan Gajah Mada yang memiliki tujuan untuk memperoleh suatu kesetiaan dan pengabdian pada kekuasaan Majapahit. Strategi inilah yang nantinya dilakukan oleh Belanda pada abad 20 yaitu pada tahun 1920 dengan cara memberlakukan suatu gelar baru untuk keturunan Ksatrya Dalem yang menjadikan Regent bagi jabatan Bupati pada daerah Bali yang dinamai dengan gelar baru Anak Agung atau Cokorda. Jabatan Cokorda bagi Regent wilayah Badung, Tabanan, dan Klungkung. Jabatan Anak Agung untuk Regent Jembrana, Buleleng, Bangli dan Gianyar. Gelar Anak Agung lainnya pada Regent Karangasem. Pada wilayah raja bawahan di daerah Ubud untuk Regent Ubud memiliki gelar Cokorda ataupun Anak Agung. Gelar terdahulu Dewa dan Gusti mengalami kepunahan disebabkan anggapan yang kurang tinggi.[3]

Sembilan tahun merupakan waktu yang dibutuhkan untuk Majaphit dapat menaklukkan wilayah Bali, walaupun dengan tipu daya. Pada tahun 1343 dan 1380 Bali telah tunduk dengan pengangkatan Raja Bali. Namun perlawanan tak berhenti, kelompok masyarakat suku Bali asli yang tak kuasa menerima kekalahan dan tak bisa menerima kedatangan Majapahit, mereka mengungsi ke wilayah pegunungan Bali. Walaupun Majapahit telah merangkul tokoh-tokoh Bali Aga yaitu para Bendesa dan juga Pasek, namun tak sedikit yang melakukan perlawanan, sehingga ada katagori Triwangsa dan Jaba Wangsa yang saling berlawanan. Kelompok Triwangsa ini mencari akar-akar leluhurnya sampai ke Majapahit. Triwangsa dibedakan antara keturunan langsung raja (Dalem), sehingga dikenal Kesatrya Dalem dan Ksatrya.[3]

Ratusan tahun silam telah berlalu, sekarang Kerajaan Majapahit memang tak lagi ada, tepatnya sejak tahun 1478 M. Sekarang dalam kehidupan sosial memang tidak ada lagi kasta tetapi dalam beberapa pergaulan secara informal dalam keseharian terdapat komunikasi akan penanyaan status kebangsawanan atau antuk linggih. Dan sekarang kenyataannya masih ada kasta dalam mobilitas tertutup. Sekarang ini masih ada masyarakat Bali yang mencari keturunan sah atau suatu legitimasi dari bangsawan yang bergelar arya dari Majapahit, Kediri atau dari Jawa. Orang masih bangga jika mereka adalah keturunan Majapahit, yang memberikan kesan dalam mempertahankan sistem asal terdahulu mereka dalam mencintai diri.[8]

Sistem Ilmu Pengetahuan sunting

Lontar merupakan ciri suku Bali Majapahit. Hal ini sebagai sarana dalam pencatatan nama silsilah dengan memakai huruf Jawa atau Aksara Jawa. Bahan Lontar dan aksara Jawa ini yang menunjukkan bahwa mereka adalah salah satu keturunan dari Suku Jawa atau keturunan Majapahit.[1]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d Netralnews.Com. "Netralnews.com - Ingin Mengenal Suku Bali Majapahit, Ini Dia". netralnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-06. Diakses tanggal 2019-04-06. 
  2. ^ a b http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80461/potongan/S2-2015-338443-chapter1.pdf
  3. ^ a b c d e f g h i j Sidemen, Ida Bagus, dkk. (1983). Sejarah Klungkung: Dari Smarapura sampai Puputan. Klungkung: Pemerintah Daerah Tk. II Klungkung. Staatsblad 1920
  4. ^ Mirsha, dkk. (1986). Sejarah Bali. Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
  5. ^ "Berdirinya Kerajaan Gelgel [Sri (Dalem) Kresna Kepakisan]". kabardewata.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-06. 
  6. ^ Munandar, Agus Aris (2005). Istana Dewa Pulau Dewata: Makna Puri di Bali Abad 14-19. Jakarta: Komunitas Bambu.
  7. ^ Sidemen, Ida Bagus, dkk. (1983). Sejarah Klungkung: Dari Smarapura sampai Puputan. Klungkung: Pemerintah Daerah Tk. II Klungkung. Staatsblad 1920
  8. ^ Wijaya, I. (2009). “Mencintai Diri Sendiri: Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali, 1910-2007”. Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.