Adipati Soero Adinegoro (1752–1833), atau juga ditulis sebagai Adipati Suroadinegoro, lahir dengan nama Han Sam Kong (Hanzi: 韓三江), dan terkadang dikenal sebagai Baba Sam, dulu adalah seorang priyayi dan pejabat pemerintah berlatar belakang Tionghoa-Jawa yang terkenal karena memimpin wilayahnya dengan baik.[1][2][3][4]

Soero Adinegoro
Ronggo Besuki
Masa jabatan
1772–1776
Daerah pemilihanBesuki
Tumanggung Bangil
Daerah pemilihanBangil
Bupati Malang, Sidayu, dan Tuban
Masa jabatan
1809–1818
Daerah pemilihanMalang, Sidayu, dan Tuban
Informasi pribadi
Lahir1752 (1752)
Jawa Timur
Meninggal1833
Jawa Timur
HubunganHan Siong Kong (kakek)

Kyai Tumanggung Soero Adhi Negoro (cucu)
Raden Soero Adiwikromo (saudara)
Pakunataningrat I, Sultan Sumenep (saudara ipar)
Han Bwee Kong, Kapitan Cina (paman)
Han Chan Piet, Mayor Cina (sepupu)

Han Kik Ko, Mayor Cina (sepupu)
AnakRaden Panderman
Orang tua
Tempat tinggalJawa Timur
PekerjaanBirokrat, priyayi
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Latar belakang keluarga sunting

Ia lahir pada tahun 1752 sebagai anak dari Ngabehi Soero Pernollo (1720 – 1776), pendiri cabang Muslim dari keluarga Han dari Lasem, sehingga ia juga merupakan cucu dari Han Siong Kong (1672 – 1743).[5] Ayahnya, Ngabehi Soero Pernollo, bekerja di VOC dalam berbagai jabatan hingga akhirnya ditunjuk sebagai politiehoofd, atau kepala polisi dari Besuki dan Panarukan pada tahun 1764.[5] Salah satu saudaranya kemudian menikahi Pakunataningrat I, Sultan Sumenep (menjabat mulai tahun 1812 hingga 1854).[1] Anggota keluarga Han dari Lasem lain yang terkenal meliputi adiknya, Raden Soero Adiwikromo; pamannya, Han Bwee Kong, Kapitan Cina (1727 – 1778); serta sepupunya, Han Chan Piet, Mayor Cina (1759 – 1827), dan Han Kik Ko, Mayor Cina (1766 – 1813).[2][3][5] Keluarganya memainkan peran penting dalam mengkonsolidasi kekuasaan Belanda dan kemudian memimpin sejumlah wilayah di Jawa Timur.[5][6]

Karir pemerintahan sunting

Karir Baba Sam di dunia pemerintahan dimulai saat ia ditunjuk oleh VOC pada tahun 1772 sebagai Ronggo dari Besuki dengan nama Jawa Soemodiwirjo.[2][6] Ia dapat menduduki jabatan tersebut berkat campur tangan pamannya, Han Bwee Kong, Kapitan Cina Surabaya dan Pachter dari wilayah Besuki.[2] Pada tahun 1776, Baba Sam dipromosikan menjadi Tumanggung dari Bangil dengan gelar Ngabehi Soero Widjojo (1776 – 1788) dan Tumanggung Soero Adinegoro (1788 – 1808).[3] Menurut Jacques Julien de Labillardière dan Ch. F. Tombe, pengunjung dari Prancis selama jeda kekuasaan di Jawa (1806 – 1815), Soero Adinegoro tidak hanya dapat berbicara dalam bahasa Belanda, tetapi juga sangat mengagumi Napoleon Bonaparte.[1]

Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda selama jeda kekuasaan, pun pernah mengunjungi Bangil pada tahun 1808.[1] Terkesan dengan kepemimpinan Soero Adinegoro di sana, Daendels kemudian menjadikan Soero Adinegoro sebagai Ridder, atau Knight, di Order of Holland, yang baru didirikan pada tahun 1807 oleh Louis Bonaparte, Raja Belanda.[3]

Setahun kemudian, pada tahun 1809, Daendels mempromosikan Soero Adinegoro menjadi Adipati, yang merupakan gelar tertinggi dalam aristokrasi Jawa.[5] Adipati Soero Adinegoro juga diangkat menjadi Bupati dari Malang.[5][7] Kemudian, Soero Adinegoro juga ditugaskan untuk memimpin Sidayu dan Tuban.[5][7] Sejumlah anaknya lalu juga ditunjuk sebagai pejabat pemerintah.[1][5]

Namun, pada tahun 1818, Soero Adinegoro dan anak-anaknya tiba-tiba diberhentikan dari jabatan mereka.[1] Diperkirakan bahwa pemerintah Hindia Belanda mulai merasa terancam dengan kekuatan dari keluarga Han dari Lasem, sehingga pemerintah Hindia Belanda ingin menguasai Tapal Kuda secara langsung.[1]

Adipati Soero Adinegoro akhirnya meninggal pada tahun 1833.[1]

Keturunan sunting

Adipati Soero Adinegoro memiliki 26 orang anak.[5] Ia menyerahkan salah satu anaknya, Raden Panderman (lahir pada tahun 1778), untuk diadopsi oleh adiknya, Raden Soero Adiwikromo, yang menjabat sebagai Ronggo dari Besuki (1776), Tumanggung dari Puger dan Bondowoso (1796), serta terakhir sebagai Bupati dari Tegal.[3][5] Raden Panderman kemudian menggantikan ayah angkat dan pamannya, di bawah pengawasan dari Mayor Han Chan Piet, tuan tanah dari Besuki, sebagai Ronggo dari Besuki pada tahun 1794, Tumanggung dari Puger dan Besuki pada tahun 1804, serta sebagai Bupati dari Puger pada tahun 1813, tetapi akhirnya juga diberhentikan bersama anggota keluarga Han dari Lasem yang lain pada tahun 1818.[3][5]

Walaupun begitu, keturunan Raden Panderman berhasil kembali menduduki jabatan pemerintahan, sehingga melanjutkan tradisi keluarga Han dari Lasem.[1][3] Garis keturunan Raden Panderman yang paling terkenal diturunkan dari anaknya, Raden Karaman, yang kemudian dikenal sebagai Kyai Tumanggung Soero Adhi Negoro, yang ditunjuk sebagai Tumanggung dari Kendal, dan kemudian sebagai Bupati dari Probolinggo pada tahun 1856.[3] Anaknya, Pangeran Ario Noto Amiprodjo; cucunya, Raden Mas Adipati Ario Notonegoro; dan cicitnya, Raden Mas Adipati Ario Notohamidjojo, kemudian menggantikannya secara berturut-turut sebagai Bupati dari Kendal.[3]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h i Salmon, Claudine (1991). "The Han Family of East Java. Entrepreneurship and Politics (18th-19th Centuries)". Archipel. 41 (1): 53–87. doi:10.3406/arch.1991.2711. Diakses tanggal 22 February 2016. 
  2. ^ a b c d Lombard, Denys; Salmon, Claudine (1994). "Islam and Chineseness". Indonesia. 57 (57): 115–132. doi:10.2307/3351244. JSTOR 3351244. Diakses tanggal 22 February 2016. 
  3. ^ a b c d e f g h i Han, Bing Siong (2001). "A Short Note on a Few Uncertain Links in the Han Lineage". Archipel. 62 (1): 53–64. doi:10.3406/arch.2001.3661. Diakses tanggal 22 February 2016. 
  4. ^ "Raden Adipati Suroadinegoro/Babah Sam". id.rodovid.org. Diakses tanggal 2 February 2017. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k Salmon, Claudine (1997). "La communauté chinoise de Surabaya. Essai d'histoire, des origines à la crise de 1930". Archipel. 53 (1): 121–206. doi:10.3406/arch.1997.3396. Diakses tanggal 22 February 2016. 
  6. ^ a b Margana, Sri (2007). Java's last frontier : the struggle for hegemony of Blambangan, c. 1763-1813. Leiden: TANAP. hlm. 210–236. Diakses tanggal 22 February 2016. 
  7. ^ a b Zhuang, Wubin (2011). Chinese Muslims in Indonesia. Singapore: Select Publishing. ISBN 978-9814022682.