Soenting Melajoe

surat kabar perempuan Hindia Belanda

Usahlah uni-ku berdiam saja
ataupun amai-ku bermuram durja
ambillah kalam duduk di meja
tulis gubahan apapun saja.

Gubahan tentang kesah kemajuan
untuk sekalian kita perempuan
janganlah uni malu-maluan
menuliskan riwayat atau seruan.

Soenting Melajoe, No. 3, 20 Juli 1912

Sunting Melayu (ejaan asal: Soenting Melajoe) adalah surat kabar perempuan di Hindia Belanda yang pernah terbit di Padang. Isinya terdiri dari tajuk rencana, sajak-sajak, tulisan-tulisan mengenai perempuan, dan riwayat tokoh-tokoh ternama. Sunting Melayu terbit atas inisiatif Roehana Kudus. Walaupun penerbitannya dibantu oleh Datuk Sutan Maharaja, redaksi majalah sepenuhnya dipegang oleh perempuan.[1][2][3]

Sunting Melayu terbit perdana pada tanggal 10 Juli 1912 dan berhenti terbit pada 28 Januari 1921. Dalam empat halaman setiap edisinya, Sunting Melayu merekam diskusi dan perdebatan perempuan Hindia Belanda tentang pendidikan, kesehatan, agama, dan budaya.[4]

Sejarah sunting

 
Rohana Kudus
 
Sunting Melayu

Roehana Kudus dan Zoebeidah Ratna Djoewita adalah redaktur awal Sunting Melayu.[5] Berdirinya majalah ini bermula dari hasrat Roehana untuk membuat surat kabar yang khusus menampung aspirasi perempuan. Roehana yang berasal dari Koto Gadang menyampaikan keinginannya kepada Datuk Sutan Maharaja, pendiri surat kabar Oetoesan Melajoe di Padang. Sutan Maharaja menyanggupi untuk membantu percetakan majalah khusus yang akan diterbitkan.[2] Namun, mengingat Roehana tidak bisa pindah ke Padang karena ia mengajar di Kerajinan Amai Setia, Roehana mengusulkan agar ia cukup mengirimkan tulisan-tulisan dari Koto Gadang. Menyetujui usulan Roehana, Sutan Maharaja menunjuk putrinya sendiri, Ratna Djoewita untuk mengurusi redaksi surat kabar di Padang.[1][6]

Dalam perjalanannya, Sunting Melayu mengangkat kontributor mereka sebagai redaktur, di antaranya Sitti Noermah binti S.M Kajo yang diangkat sebagai redaktur di Padang pada tahun 1917, Amna binti Abdul Karim sebagai redaktur di Bengkulu pada tahun 1917, dan Sitti Djatiah Pasar Djohar sebagai redaktur di Kayu Tanam pada tahun 1919.[3]

Penerbitan sunting

Sunting Melayu terbit sekali seminggu, lebih sering dari Oetoesan Melajoe yang terbit sekali dalam tiga minggu. Penerbitannya ditangani oleh percetakan milik Datuk Sutan Maharaja yaitu Snelpersdrukkerij Orang Alam Minang Kabau.[3][7]

Pada mulanya, surat kabar ini terbit setiap Sabtu. Memasuki tahun kedua, tepatnya edisi ke-2 pada tanggal 8 Januari 1913, Sunting Melayu terbit setiap Kamis. Sejak edisi ke-18, Sunting Melayu terbit setiap Jumat. Setahun kemudian, Sunting Melayu kembali terbit setiap Kamis dan ini berlangsung hingga akhir penerbitan. Tidak ada penjelasan dari redaksi terkait perubahan-perubahan waktu terbit media ini.[7]

Pertama kali terbit, harga langganan Sunting Melayu adalah f.1,80 setahun atau 0,45 sen per tiga bulan. Harga ini berlaku hanya untuk pelanggan di Hindia Belanda, sedangkan untuk pelanggan di luar Hindia Belanda adalah f.2,50 setahun. Seiring dengan melonjaknya harga produksi, maka sejak tahun 1914 harga langganan untuk wilayah Hindia Belanda yang semula dihitung per tahun diubah menjadi per bulan yakni f.0,25. Adapun harga langganan untuk luar Hindia Belanda yang semula f.2.50 setahun menjadi 4.80 setahun.[7]

Sejumlah perusahaan mendukung biaya penerbitan surat kabar ini dengan memasang iklan. Sunting Melayu memuat iklan dengan harga pasang 5 sen per kata dan sekali muat minimal f.1.[2] Iklan-iklan yang dimuat dalam Sunting Melayu kebanyakan perusahaan kain, antara lain beberapa pengusaha batik dari Yogyakarta, seperti Moekari dan Mochamad Hadjad, serta pengusaha-pengusaha lokal. Tempat pemuatan iklan di lembaran ketiga dan empat. Pada lembaran ketiga, ruang iklan sering bergabung dengan berita atau artikel.[7]

Penerimaan sunting

Sirkulasi Sunting Melayu menjangkau hingga keluar wilayah Minangkabau hingga ke luar wilayah Hindia Belanda. Luasnya sirkulasi media ini setidaknya tercermin dari daerah asal penulis dalam Sunting Melayu yang berasal dari berbagai daerah di Sumatra. Bahkan, ada pembaca dari Johor dan Mesir yang secara berkala mengirimkan tulisan untuk Sunting Melayu.[7]

Menurut peneliti dari UIN Imam Bonjol Danil Mahmud Chaniago, Sunting Melayu berusaha mematahkan anggapan bahwa perempuan hanya berkutat pada urusan domestik saja. Surat kabar ini mendorong perempuan Minangkabau terlibat dalam urusan-urusan sosial kemasyarakatan.[7]

Lihat pula sunting

Referensi sunting