Sastra Sasak merupakan salah satu khazanah / budaya kesusastraan Nusantara. Suku Sasak merupakan suku yang berada di daerah Nusa Tenggara Barat, dan merupakan suku yang kaya akan sastra dan budaya. Beberapa dari mereka yang membuat karya sasrta sering mengadakan upacara dan menginap beberapa malam sambil mencari anugerah dari sang Dewa, salah satunya tempat yang sering diadakan upacara tersebut adalah Sumur Pitu di Desa Bentek.[1] Berdasarkan kepercayaan, agama, keadaan masyarakat serta pandangan hidup yang mereka miliki terungkap dalam karya sastra mereka yang kental dan kaya akan sastra suci. Diantaranya, karya tulis pada zaman dahulu (naskah lama) seperti: Babad Selaparang, Babad Lombok, Babad Praya, Jatiswara, Silsilah Batu Dendang, Cilinaya, Cupak Gerantang, Dewi Rengganis, Dewi Sinarah Hulan, Kertanah, Kotaragama, dll. Dalam perkembangannya, naskah-naskah tersebut banyak diubah ke dalam bentuk puisi yang selanjutnya ditembangkan. Tembang-tembang tersebut banyak dipergunakan untuk menulis sastra-sastra seperti Takepan Monyeh, Lontar Demung Sandubaya, dan lainnya. Dan kurang lebih ada enam tembang yang biasa ditembangkan oleh suku Sasak pada masa dulu yaitu: tembang Maskumambang, tembang Asmarandana, tembang Dangdang, tembang Sinom, tembang Pangkur dan tembang Durma.[2]

Referensi sunting

  1. ^ Hasjim, Nafron (1993). Sastra Daerah di Nusa Tenggara Barat: Analisis, Tema, Amanat, dan Nilai Budaya. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 8–9. ISBN 9794593729. 
  2. ^ Sastra Sasak Pesisiran. Mataram: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Mataram, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 1997.