Sastra Korea Utara

Membaca adalah hobi yang populer di Korea Utara, di mana karya sastra dan buku mendapat tempat tersendiri dalam kebudayaan Korea Utara, dan usaha rezim yang berkuasa untuk menyebarkan propaganda dalam bentuk teks. Karena hal itulah, penulis mendapat prestise yang tinggi. .[1]

A shelf of books with Korean writing on them
Buku-buku yang dipajang di Rumah Belajar Rakyat Agung, Pyongyang

Pembagian Korea setelah Perang Dunia Kedua menyebabkan banyaknya perpindahan lintas batas, termasuk penulis yang pindah dari Utara ke Selatan atau dari Selatan ke Utara.

Tradisi sastra Korea Utara dibentuk dan diatur oleh Negara.[2][3] "Pedoman untuk Kesusastraan Juche",yang diterbitkan oleh Aliansi Penulis Choson (Chosŏn hangul: 조선 작가 동맹 ), menekankan bahwa sastra harus mengagungkan pemimpin negaranya, Kim Il-sung, dan Kim Jong-il.[2] Hanya anggota dari Aliansi Penulis yang dapat menerbitkan karyanya.[2][4]

Sejarah sunting

Latar belakang sunting

Sastra Rusia sangat populer di era sebelum kemerdekaan Korea Utara. Pembaca di Korea menggemari jenis sastra Rusia yang berbeda dari pembaca Barat. Sementara orang Barat mengapresiasi karya-karya Leo Tolstoy seperti Anna Karenina dan Perang dan Damai, sebagian besar orang Korea tidak membacanya dan lebih menikmati karyanya mengenai agama dan moral.[5] Penulis Soviet, Maxim Gorky khususnya, sangat populer di Korea Utara.[5]

Abad ke-20 sunting

Dasar sastra Korea Utara dibentuk pada masa antara tahun 1945 dan 1960-an, lembaga pemerintah seperti di Soviet menguasai seluruh aspek kehidupan warga Korea Utara. Bersamaan dengan hal itu, pembatasan dan perintah politik mempengaruhi karya sastra yang dibuat.[5] Segera setelah kemerdekaan, Korea Utara meniru jejak sastra Soviet. Tetapi ketika de-Stalinisasi di pertengahan 1950-an, Kim melihat momen ini sebagai kesempatan untuk mengurangi pengaruh Soviet dan meningkatkan pengaruhnya sendiri. Ia berhasil menyingkirkan sastra "asing" dalam sebuah pidato yang berjudul "Untuk Menghilangkan Dogmatisme dan Formalisme dan Membangun Juche dalam Karya Ideologis". Karenanya, sastra Korea Utara memiliki pandangan nasionalistik,[5] tetapi unsur-unsur Soviet yang diperkenalkan selama tahun 1940-an tetap ada.[5]

Menurut B. R. Myers, karya Cho Ki-chon di akhir 1940-an menjadi contoh dari awal kultus individu Kim Il-sung yang dibangun berdasarkan Marxisme–Leninisme di Blok Timur. Kemudian karya tersebut segera digantikan oleh karya nasionalisme etnis Korea seperti karya Han Sorya.[6] Cho menggambarkan Kim Il-sung sebagai pemikir brilian yang memiliki kekuatan dan kecerdasan, sementara Han menggambarkannya dengan kearifan lokal Korea dengan kenaifan "menguasai Marxisme–Leninisme dengan hatinya, bukan otaknya". Karya dari Han lebih dipilih sebagai standar propaganda daripada Karya Cho.[7]

Menurut Jang Jin-sung, sebelum tahun 1994, ketika Kim Il-sung masih hidup, karya novel menjadi karya sastra utama.[3] Hampir semua penghargaan negara tersebut sebagai Medali Kim Il-sung diberikan kepada novelis.[3] Panjangnya cerita pada novel menjadi media yang sempurna untuk menjelaskan mengenai tindakan yang dilakukan Kim Il-sung, yang dirinya juga merupakan pembaca dan penulis novel.[3] Setelah kematiannya pada tahun 1994, novel diganti dengan puisi, yang sebagian besar disebabkan karena masalah ekonomi sehingga harga kertas menjadi mahal dan puisi tentang Kim Jong-il bisa dicetak kembali dengan mudah dalam satu halaman koran.[3] Puisiipendek merupakan karya yang paling umum, sementara epos dibatasi untuk hanya enam puisi.[3] Epos (dan film) menjadi alat propaganda politik utama di bawah Kim Jong-il.[3]

Kementerian Kebudayaan Korea Utara mempromosikan sastra Korea Utara di Rusia dan Cina selama era Perang Dingin. Beberapa akademikus Rusia mempublikasikan penelitian mengenai karya Sastra Korea Utara. Beberapa novel yang telah diterjemahkan ke bahasa Rusia.dan Mandarin antara lain:

Banyak penulis pada akhirnya disingkirkan dari politik. Akibatnya, Korea Utara menerapkan kebijakan untuk menuliskan nama pencipta karya sebagai karya kolektif dan menghilangkan kontributor individu. Praktik ini terjadi mulai tahun 1970-an dan mulai berkurang pada tahun 1980-an. Dampaknya, warga Korea Utara tidak peduli terhadap detail dari penulis karya yang mereka baca.[1]

Abad ke-21 sunting

Pada tahun 2006, sebuah organisasi internasional menerjemahkan karya dari beberapa penulis berbagai negara termasuk empat penulis Korea Utara ke dalam bahasa Inggris, dalam antologi yang berjudul Sastra dari "Poros Setan". Cerita pendek Kang Kwi-mi "Sebuah Cerita dari Musik", yang diterbitkan oleh Choson Munhak di Februari 2003, menceritakan kisah seorang pemuda Korea Zainichi berbakat memainkan trompet, pindah ke Korea Utara, dan melepaskan karier bermusik untuk bekerja sebagai ahli pahat. Gairahnya pada "musik" di dalam batu ini disebabkan oleh kehebatan Kim Jong-il yang tergambar melalui monumen batu. Cerita pendek Lim Hwa-won "Foto Kelima" menceritakan perempuan Korea Utara yang melakukan kunjungan ke Rusia pasca-Soviet di awal 1990-an, dan menemukan Rusia berada dalam keadaan gejolak untuk bisa kembali menjadi negara sosialis. Narator menyalahkan pengaruh Amerika atas keadaan Rusia, dan menekankan kebutuhan komitmen ideologis yang kuat di Korea Utara. Puisi Byungu Chon "Kesemek yang Jatuh" membangkitkan penderitaan emosional yang disebabkan oleh pembagian Korea, dan berharap adanya reunifikasi.

Antologi tersebut juga berisi kutipan novel Hong Seok-jung Hwangjini, yang menerima Penghargaan Manhae pada tahun 2004 – yang untuk pertama kalinya penghargaan kesusastraan Korea Selatan diberikan kepada penulis Korea Utara. Hwangjini adalah sebuah novel sejarah yang berlatar pada abad ke-16.

Penulis kontemporer Korea Utara datang dari berbagai kalangan yang berbeda, beberapa mendapat penghasilan lebih dari yang lain. Terlepas dari itu, kebanyakan biodata penulis tetap samar-samar: foto atau biografi mereka tidak diketahui oleh pembaca dan tidak disebutkan dalam antologi dan wawancara. Penghargaan sastra memang ada, tetapi hasilnya tidak dipublikasikan secara luas. Akibatnya, bahkan golongan profesional kesusastraan di Korea Utara relatif tidak menyadari tentang Sastra Korea Utara. Tatiana Gabroussenko menjelaskan hal tersebut, ketika dia mewawancarai pembelot, dia beberapa kali mengamati guru bahasa, ketika Na Do-hyang, yang karyanya dipelajari dan diajarkan, diduga milik KAPF (Federasi Artis Proletar Korea), atau Musim Semi Baru di Seokkaeul yang ditulis oleh Ri Ki-yong. Hal tersebut seperti menduga karya Shakespeare sebagai karya Kipling.[1]

Masalah-masalah sunting

Penyensoran sunting

Semua karya yang diterbitkan harus melewati sensor terlebih dahulu, dan harus memberikan sejumlah pujian untuk kebijakan Partai Buruh Korea. Selain itu, banyak penulis yang memilik mental penyensoran sendiri. Namun, penulis diberikan akses ke materi "subversif" terlarang yang mereka terbiasa dengan hal itu. Mereka dapat mengutip berbagai isu masa lampau yang ada dengan mendekati kebenaran aslinya. Hal normal bagi karya Korea Utara untuk mengutip materi yang didapat dari Internet yang warga Korea Utara biasanya tidak memiliki akses ke materi tersebut.[1]

Pilihan tema sastra dan metode penulisan bagi penulis Korea Utara saat ini sangat terbatas jika dibandingkan dengan penulis Soviet, bahkan di era Stalinisme sekalipun.[1]

Tema dan teknik kesusastraan sunting

Sastra Korea Utara hampir selalu dikarakterisasi sebagai realisme sosialis. Satu-satunya cendekiawan Barat yang menolak paradigma itu adalah B. R. Myers yang berpikir bahwa realisme sosialis telah "gagal" di Korea Utara dan karya sastranya tidak mempunyai ciri-ciri sastra realisme sosialis.[5]

Karya fiksi Korea Utara fiksi berusaha untuk menanamkan hikmah dalam pikiran pembaca.[12] Hampir setiap karya menceritakan karakter teladan dengan sikap baik yang harus ditiru,[12] dengan alur cerita kesalahpahaman tokoh protagonis mengenai tokoh pekerja keras yang sangat dingin dan akhirnya sadar bahwa kerja keras tersebut merupakan bentuk cinta yang dirasakan bagi bangsa.[12]

Transisi merupakan teknik sastra sebagai simbolisasi pesan didaktik.[12] Pembaca harus mengidentifikasi karakter sebagai karakter yang tidak bisa apa-apa dan akan berkembang, sehingga saat ingin kembali melaksanakan salah satu komitmen revolusioner, karakter tersebut dipandang layak untuk melakukannya oleh para pembaca.[12] Dengan demikian, acara transisi seperti Tahun Baru, memiliki makna simbolis.[12]

Cerita sering membangkitkan sesatan iba: emosi karakter cenderung akan tercermin dalam fenomena alam seperti cuaca. Salah satu alasan digunakannya teknik ini karena dapat menjadi ruang ekspresi artistik yang terbebas dari politik.[12] Namun, tema alam telah mengalami transformasi. Sampai tahun 1990-an, "perjuangan revolusioner" manusia adalah tuan dari alam, tetapi sejak itu, alam menjadi ancaman eksternal. Pesan yang dimaksudkan adalah bahwa banjir dan krisis ekonomi tahun 1990-an disebabkan oleh faktor-faktor yang di luar kendali pemerintah.[12] Secara umum, tahun 1990-an, penggambaran dalam sastra Korea Utara menjadi kurang romantik.[12] Namun, meskipun sering menggambarkan kesulitan, cerita cenderung bersifat optimistis dan memiliki akhir yang bahagia.[12]

Tema utama dari fiksi korea Utara fiksi adalah hagiografi para pemimpin. Kim Il-sung digambarkan dalam konteks sejarah (perjuangan Anti-Jepang) dan kontemporer. Karya Han Sorya, Sejarah (MR:Ryŏksa ) merupakan karya pertama yang menceritakan Kim Il-sung selama perjuangan Anti-Jepang, sedangkan Sejarah Abadi (MR: " Pulmyŏl-ŭi ryŏksa ) dan Kepemimpinan Abadi (MR: Pulmyŏl-ŭi hyangdo ) merupakan karya klasik yang memuji Kim Il-sung dan Kim Jong-il.[12]

Karya yang diterbitkan di luar sunting

Beberapa otobiografi oleh eksil Korea Utara yang diterbitkan sejak tahun 2000 berisi kehidupan di Korea Utara yang suram, seperti Kang Chol-hwan dalam karya Akuarium Pyongyang (2000) dan Hyok Kang dalam karya Ini adalah Surga! (2005).[13][14]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e Gabroussenko, Tatiana (September 27, 2013).
  2. ^ a b c Matthew Dennis, ed.
  3. ^ a b c d e f g Jang Jin-sung (2014).
  4. ^ Hayun Jung (October 2006).
  5. ^ a b c d e f Gabroussenko 2010.
  6. ^ Myers, B. R. (2015).
  7. ^ Myers, B. R. (2011).
  8. ^ Ivanov, Viktorina Ivanovna (b. 1929) A creative way to Lee Ki-Yong. 1960. The life and work of Lee Ki-Yong. 1962. New Fiction of Korea. Nauka. 1987
  9. ^ Grave of North Korean Writer Ri Ki Yong
  10. ^ Grave of North Korean Writer Hong Myong Hui
  11. ^ Grave of North Korean Writer Han Sorya
  12. ^ a b c d e f g h i j k Epstein 2002.
  13. ^ Kang Chol-hwan (2001).
  14. ^ Hyok Kang (2007).

Karya yang dikutip sunting

Referensi umum sunting

Bacaan lebih lanjut sunting