Rumah Cililitan Besar

Rumah Cililitan Besar, (Belanda: Landhuis Tjililitan Besar atau Het Huis Tjililitan Besar)[1] biasa disebut Cililitan Besar atau Lebak Sirih, adalah sebuah rumah tua peninggalan kolonial Belanda di Cililitan, Kramat Jati, Jakarta Timur. Rumah ini berlokasi di kompleks Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto (Rumah Sakit Polri). Gaya arsitektur pada rumah ini adalah sebuah percontohan untuk gaya arsitektur Rumah kongsi.[2] Seluruh bagian dari rumah ini tertutup oleh bangunan permukiman padat.[1]

Tampak samping Rumah Cililitan Besar pada tahun 1930

Sejarah sunting

Rumah ini dibangun pada 1775, sekitar 225 tahun lalu, Van der Cup saat akhir pekan beserta keluarganya menikmati udara segar di peristirahatannya di Cililitan, Kramatjati, terletak jauh dari tembok Batavia.[3]

Untuk mendatangi tempat ini, mereka harus menaiki kereta yang ditarik oleh dua sampai empat ekor kuda. Pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, banyak warga Belanda membangun peristirahatan di wilayah Meester Cornelis (Cililitan, Kramat Jati, Tanjung Barat dan Cijantung) untuk meninggalkan kepadatan pusat Kota Batavia dan lingkungan Batavia yang tidak sehat karena wabah kolera dan malaria.[3]

Pasca meninggalnya Hendrikus Laurens Van De Crap, Landhuis Lebak Sirih atau Rumah Besar Cililitan diwariskan kepada istrinya yang bernama Anna Christina Houtman pada tahun 1785.[4]

Pada tahun 1807 Landhuis Lebak Sirih dimiliki oleh Pendeta Calvinist yang bernama Daniel Alberth Reguleth, hingga sepeninggal pendeta Albert Reguleth keberadaan landhuis ini diambil alih oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan dijadikan markas Veldpolitie (polisi lapangan).[4]

Sebagai markas Veldpolitie, landhuis ini digunakan sebagai tempat untuk memantau keamanan di wilayah Ommelanden atau daerah pinggiran Batavia, yang di akhir abad 19 sampai tahun 20an marak dengan perampokan yang ditujukan kepada bangsa Eropa, khususnya para tuan tanah yang termasuk dalam hal ini adalah tuan tanah Tionghoa.[4]

Di masa pemerintahan militer Jepang, landhuis Lebak Sirih dan sekitarnya dijadikan Sekolah Kepolisian Istimewa, guna menunjang angkatan perang Jepang di bidang keamanan masyarakat. Sekolah kepolisian ini terus berlangsung hingga sampai pada masa kolonial Belanda.[4] Pada masa Perang Dunia II, rumah ini diduduki oleh Kapten Kentaro Tanaka, pemimpin kamp intern di wilayah Kampung Makassar.[5]

Sampai berakhirnya masa kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, sekitar tahun 1949-1950 oleh pemerintah Republik Indonesia, Landhuis Lebak Sirih atau Rumah Besar Cililitan dijadikan Sekolah Polisi Negara (SPN) hingga tanggal 23 Mei 1966 mulai dikembangkan dan menjadi Rumah Sakit Polisi.[4]

Arsitektur sunting

Rumah Cililitan Besar memiliki gaya arsitektur khas pada masa penjajahan Hindia Belanda yang menjadi contoh gaya arsitektur Rumah Kongsi.[2] Rumah tersebut pada masanya memiliki halaman yang luas yang kini menjadi kawasan permukiman padat penduduk dan kompleks Rumah Sakit POLRI.

Ruangan utama Rumah Cililitan Besar terletak di bagian atas, sehingga terdapat tangga di bagian depan rumah untuk ke pintu masuk rumah. Dengan ruangan utama yang terletak di atas, terdapat ruangan bawah yang belum diketahui fungsinya.

Rumah ini juga memiliki pilar-pilar beton penopang atap di bagian depan, samping, dan belakang rumah, namun kini pilar-pilar di bagian samping dan belakang rumah digantikan dengan tiang tiang kayu yang terlihat rapuh.[1]

Keadaan terkini sunting

Sejak tahun 1987, bagian depan dari Rumah Cililitan Besar mulai ditutupi oleh bangunan permukiman penduduk yang kemudian menutupi seluruh bagian rumah. Ada sekitar 20 keluarga yang tinggal di bangunan yang menutupi Rumah Cililitan Besar. Semua warga yang tinggal di bangunan yang menutupi Rumah Cililitan Besar harus berswadaya dan bergotong royong untuk mengumpulkan biaya untuk memperbaiki Rumah Cililitan Besar, karena tidak ada instansi terkait manapun yang memberikan bantuan biaya perbaikan.

Kondisi Rumah Besar Cililitan saat ini dapat dikatakan memprihatinkan. Selain ditutupi oleh bangunan permukiman padat penduduk, sejumlah bagian dari atap dan gedung Rumah Cililitan Besar mulai rusak dan pilar-pilar asli di bagian samping dan belakang rumah sudah digantikan dengan tiang kayu yang terlihat rapuh. Bagian atap rumah sudah mulai berlubang dan ditutup dengan asbes.[1]

Lihat juga sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d GEDONG TINGGI KERAMAT JATI, diakses tanggal 2022-09-22 
  2. ^ a b Tjahjono, Gunawan; Miksic, John N.; Buku Antar Bangsa (Firm) (1999). Architecture. Internet Archive. Singapore : Archipelago Press. ISBN 978-981-3018-30-3. 
  3. ^ a b "Rumah Peristirahatan di Cililitan". Republika Online. 2016-01-05. Diakses tanggal 2022-07-13. 
  4. ^ a b c d e Nawi, Gusman J.; Nawi, Gusman J. (2019-05-23). "Ada Villa Mewah Zaman Kompeni di Kramatjati". Sejarah Jakarta. Diakses tanggal 2022-07-13. 
  5. ^ Deymann, William. "Boyolali, Julie, een Indisch meisje, en andere verhalen uit Indië, Nederland en Europa: 1944 deel 6 - van Cirebon naar Batavia". Boyolali, Julie, een Indisch meisje, en andere verhalen uit Indië, Nederland en Europa. Diakses tanggal 2022-07-13.