Resolusi ES-10/L.22 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

Resolusi ES‑10/L.22 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah resolusi rapat darurat yang menyatakan status Yerusalem sebagai ibu kota Israel "tidak berlaku".[1] Resolusi ini diadopsi dalam rapat pleno ke-37 sidang istimewa darurat ke-10 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa[2] pada sidang ke-72 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 21 Desember 2017. Draf resolusi ini diajukan oleh Yaman dan Turki.[3] Meski ditolak keras oleh Amerika Serikat, resolusi ini disahkan dengan 128 suara mendukung, 9 menentang, 35 abstain, dan 21 tidak hadir.

Resolusi ES‑10/L.22
Majelis Umum PBB
  Mendukung
  Menentang
  Abstain
  Tidak hadir
Tanggal21 Desember 2017
Sidang no.Sidang Istimewa Darurat ke-10 (lanjutan)
KodeA/RES/ES‑10/L.22 (Dokumen)
TopikStatus Yerusalem
Ringkasan hasil
128 mendukung
9 menentang
35 abstain
21 absen
HasilPengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel "tidak berlaku"

Latar belakang

sunting

Pada tanggal 6 Desember 2017, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa ia akan mengakui status Yerusalem sebagai ibu kota berdaulat Israel.[1] Ini bertentangan dengan resolusi-resolusi MU PBB sebelumnya serta norma-norma internasional yang berlaku bahwa tidak satupun negara yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negara atau membangun kedutaan besar di sana. Tindakan ini diprotes oleh negara-negara dan masyarakat di berbagai belahan dunia.[4]

Usai gagalnya resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pembatalan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota negara oleh negara manapun tiga hari sebelumnya karena diveto A.S., Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour mengatakan bahwa Majelis Umum akan mengadakan pemungutan suara untuk draf resolusi penarikan deklarasi Amerika Serikat. Ia menggunakan Resolusi 377 (disebut juga resolusi "Bersatu untuk Perdamaian") untuk membatalkan veto. Resolusi ini menyatakan bahwa Majelis Umum dapat menyelenggarakan Sidang Istimewa Darurat untuk membahas suatu persoalan "dengan tujuan memberi saran bersama yang layak kepada negara-negara anggota" apabila Dewan Keamanan tidak mampu bertindak.[5]

Kampanye

sunting

Pada tanggal 20 Desember, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam memangkas bantuan AS untuk negara-negara yang tidak mau berpihak pada AS.[6] Sehari sebelum pemungutan suara, ia menyatakan: "Biarkan mereka menentang kami...Kami tidak peduli...sudah tidak zaman lagi bersikap menentang lalu menerima bantuan ratusan juta dolar. Kami tidak mau lagi dimanfaatkan."[7] Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley memberi peringatan bahwa negaranya akan mengingat dan "mencatat" setiap negara yang mendukung resolusi ini.[8][9][10][11] Pemerintah Turki dan Iran menganggap ancaman AS "anti-demokrasi" dan "pemerasan".[12][13] Ia telah mengirim surat ke puluhan negara anggota yang berisi peringatan bahwa Trump telah memintanya untuk "melaporkan kembali negara-negara yang tidak berpihak dengan kami."[14] Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan memperingatkan Trump bahwa "ia tidak bisa membeli kehendak rakyat Turki dengan dolar" dan "tentangan dari negara-negara lain akan menjadi pelajaran bagi Amerika Serikat".[15][16]

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa Israel menolak pemungutan suara ini sebelum disahkan dan mencerca PBB sebagai "gudang kebohongan".[17]

Lewat juru bicara Menteri Luar Negeri Chrystia Freeland, Kanada, di tengah negosiasi ulang NAFTA, menyatakan akan abstain dan resolusi ini sepatutnya tidak diangkat di Majelis Umum.[18]

Naskah resolusi mencakup poin-poin penting berikut ini:[19]

Majelis umum,

  • Mengingat status khas Kota Suci Yerusalem dan, khususnya, perlunya perlindungan dan pelestarian dimensi spiritual, agama, dan budaya yang unik di kota ini seperti yang tercantum di resolusi PBB yang relevan,
  • Menegaskan bahwa Yerusalem adalah isu status akhir yang perlu diselesaikan melalui negosiasi sesuai resolusi PBB yang relevan,
  • Menyatakan penyesalan yang mendalam atas keputusan-keputusan terkini terkait status Yerusalem.
  • Menekankan bahwa setiap keputusan dan tindakan yang dinilai telah mengubah karakter, status, atau demografi Kota Suci Yerusalem tidak memiliki kekuatan hukum, tidak berlaku, dan harus dicabut sesuai resolusi DK yang relevan, dan dalam hal ini meminta setiap negara tidak mendirikan misi diplomatik di Kota Suci Yerusalem sesuai resolusi 478 (1980) Dewan Keamanan;
  • Meminta agar semua negara mematuhi resolusi-resolusi Dewan Keamanan tentang Kota Suci Yerusalem, dan tidak mengakui tindakan apapun yang berlawanan dengan resolusi tersebut;
  • Menekankan kembali permintaannya untuk melawan kecenderungan negatif di lapangan yang menghambat solusi dua negara dan pemusatan dan percepatan upaya dan bantuan internasional dan regional yang tanpa henti untuk mencapai perdamaian menyeluruh, adil, dan abadi di Timur Tengah sesuai resolusi PBB yang relevan, kerangka acuan Madrid, termasuk prinsip tanah perdamaian, Inisiatif Perdamaian Arab, dan Kerangka Kuartet, dan berakhirnya pendudukan Israel yang dimulai tahun 1967.

Resolusi ini ditutup dengan pernyataan "setiap keputusan dan tindakan yang dinilai telah mengubah karakter, status, atau demografi Kota Suci Yerusalem tidak memiliki kekuatan hukum, tidak berlaku, dan harus dicabut sesuai resolusi DK yang relevan."[3]

Mosi ini diajukan oleh Yaman dan Turki.[20]

Dalam pidato perkenalan resolusi ini, Duta Besar Yaman selaku Ketua Grup Arab menyatakan bahwa keputusan AS adalah "pelanggaran mentah-mentah terhadap hak bangsa Palestina beserta seluruh penduduk Kristen dan Muslim di sana." Ia menegaskan bahwa keputusan tersebut tergolong sebagai "pelanggaran berbahaya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan ancaman serius terhadap perdamaian dan keamanan internasional serta menutup peluang solusi dua negara dan memantik api kekerasan dan ekstremisme."[21]

Turki, ko-sponsor draf resolusi ini, juga berpidato selaku Ketua Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).[21] Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu menyatakan bahwa keputusan Trump adalah serangan luar biasa terhadap nilai-nilai universal. Katanya, "Bangsa Palestina berhak mendirikan negaranya sendiri sesuai perbatasan tahun 1967 dengan ibu kota di Yerusalem Timur. Ini adalah acuan utama dan satu-satunya harapan dalam mencapai perdamaian yang adil dan abadi di kawasan tersebut. Sayangnya, keputusan terkini oleh sebuah negara anggota PBB untuk mengakui Yerusalem, atau Al-Quds, sebagai ibu kota Israel melanggar hukum internasional, termasuk semua resolusi PBB yang menyangkut hal ini."[20]

Menteri Luar Negeri Palestina Riad Al‑Malki mengatakan bahwa pertemuan ini diadakan "tanpa rasa permusuhan apapun terhadap Amerika Serikat", melainkan atas dasar "menyampaikan pandangan mayoritas masyarakat internasional — dan orang-orang di seluruh dunia — mengenai persoalan Yerusalem/Al‑Quds Al‑Sharif." Ia menyebut keputusan AS yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pemindahan kedutaan besarnya ke sana sebagai "tindakan agresif dan berbahaya" yang daat menambah ketegangan dan memicu perang agama "lintas batas". Ia menambahkan bahwa meski keputusan ini tidak berdampak pada status kota tersebut, tindakan ini tetap saja mengacaukan peran Amerika Serikat dalam proses perdamaian Timur Tengah.[21] Ia meminta negara-negara anggota untuk menentang "pemerasan dan intimidasi."[4]

Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley mengatakan bahwa negaranya "diserang sendirian" karena mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Ia menambahkan bahwa "Amerika Serikat akan mengingat hari ini ketika negara ini diserang sendirian di Majelis Umum karena melaksanakan hak kami sebagai negara berdaulat. Kami akan mengingat ketika kami diminta sekali lagi untuk memberikan sumbangan terbesar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan negara-negara lain datang kepada kami speerti biasa untuk menuntut kami membayar lebih banyak dan memanfaatkan pengaruh kami demi kepentingan mereka."[14] Ia menambahkan bahwa "Amerika Serikat akan membangun kedutaan besar di Yerusalem. Ini yang dikehendaki rakyat Amerika Serikat dan tindakan yang benar. Tidak satupun suara di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dapat mengubahnya...pemungutan suara ini akan mengubah pandangan Amerika Serikat terhadap PBB."[20]

Duta besar Israel, Danny Danon, menyampaikan kepada majelis bahwa "tidak satupun resolusi Majelis Umum yang dapat mengusir kami dari Yerusalem."[1]

Duta besar Venezuela, mewakili Gerakan Non-Blok (GNB), menyatakan "kekhawatiran mendalam atas pelanggaran yang berkelanjutan oleh Israel di wilayah pendudukan Palestina, termasuk upaya-upaya untuk mengubah karakter, status, dan demografi kota Yerusalem. [Negaranya] juga mempersoalkan keputusan pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat [dan] memperingatkan bahwa tindakan provokatif seperti itu akan meningkatkan ketegangan dengan dampak yang parah karena situasinya yang sangat tidak stabil.[21]

Pidato selanjutnya disampaikan oleh perwakilan Pakistan, Indonesia, Maladewa, Republik Arab Suriah, Bangladesh, Kuba, Republik Islam Iran, dan Tiongkok.[21]

Duta besar Malaysia, Datuk Seri Mohammed Shahrul Ikram Yaakob, menyatakan bahwa sebagai anggota OKI dan GNB, "Malaysia bersama masyarakat internasional sangat menyayangkan dan menentang keputusan Amerika Serikat untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Ini juga merupakan pelanggaran hak rakyat dan hak penentuan nasib Palestina." Ia mendukung solusi dua negara yang damai dan menambahkan bahwa Malaysia khawatir situasi ini akan dijadikan dasar agenda kaum ekstremis."[2]

Perwakilan Republik Rakyat Demokratik Korea dan Afrika Selatan turut menyampaikan pandangannya. Pemantau Permanen Takhta Suci, Tomasz Grysa, menegaskan bahwa Yerusalem sangat suci bagi semua agama Abrahamik sekaligus merupakan simbol bagi jutaan umat di seluruh dunia yang memandangnya sebagai "ibu kota spiritualnya". Pentingnya kota Yerusalem "melebihi persoalan perbatasan, kenyataan yang seharusnya dijadikan prioritas di setiap perundingan solusi politik." Takhta Suci meminta "penyelesaian damai yang dapat menjamin kesucian Yerusalem dan nilai universalnya...menegaskan kembali bahwa hanya jaminan internasional yang dapat melestarikan karakter dan statusnya yang unuk dan menjamin dialog dan rekonsiliasi perdamaian di kawasan tersebut."[21]

Setelah mosi disahkan, Estonia menyampaikan pidato atas nama negara-negara lain. Duta besar Australia kemudian menjelaskan bahwa negaranya "tidak mendukung tindakan sepihak yang mengganggu proses perdamaian [dan] negaranya tidak yakin bahwa resolusi hari ini akan membantu membawa pihak-pihak yang terlibat ke meja perundingan."[21]

Duta besar Paraguay menyatakan bahwa negaranya abstain karena "persoalan Yerusalem adalah urusan Dewan Keamanan sebagai lembaga utama yang bertanggung jawab atas penegakan pedamaian dan keamanan internasional."[21] Sikap ini didukung oleh El Salvador, Argentina, dan Rumania.[21]

Duta besar Kanada Marc-Andre Blanchard menyebut proposal ini "sepihak"[21] dan mengatakan, "Kami kecewa karena resolusi ini sepihak dan tidak mempercepat proses mencapai perdamaian yang kita inginkan. Karena itu, kami abstain dalam pemungutan suara hari ini." Ia menambahkan bahwa Kanada menegaskan pentingnya Yerusalem bagi agama Abrahamik Yahudi, Islam, dan Kristen. Katanya, "Membantah adanya hubungan antara Yerusalem dan agama Yahudi, Islam, dan Kristen justru mengancam integritas kota ini bagi semua penduduknya. Kami juga menegaskan kembali perlunya mempertahankan status quo di tempat-tempat suci di Yerusalem.[18]

Nikaragua menjelaskan alasannya mendukung resolusi ini, "Nikaragua menentang upaya sepihak untuk mengubah karakter dan status Yerusalem. Tindakan sepihak seperti itu melanggar resolusi 2234 (2016) dan aturan lainnya...tindakan sepihak mengganggu perdamaian dan kestabilan di Timur Tengah dan menjauhkan masyarakat internasional dari solusi yang diinginkan."[21]

Duta Besar Meksiko kemudian menjelaskan sikap abstain mereka dan menegaskan bahwa sidang darurat ini merupakan respons yang tidak perlu. Katanya, "Amerika Serikat harus menjadi bagian dari solusi, bukan rintangan yang menghambat kemajuan...masyarakat internasional justru tidak menunjukkan itikad membuat kesepakatan."[21]

Republik Ceko menyatakan bahwa meski negaranya mendukung posisi Uni Eropa, negaranya abstain karena "tidak percaya draf resolusi ini akan membantu proses perdamaian."[21]

Armenia menyatakan bahwa posisinya "tetap tidak berubah. Situasi ini harus diselesaikan melalui negosiasi yang menjamin perdamaian dan keamanan."[21]

Hungaria mendukung posisi Armenia dan menyatakan bahwa negaranya tidak akan mengomentari hubungan luar negeri Amerika Serikat.[21]

Latvia menyampaikan pernyataannya, kemudian dilanjutkan Estonia yang kembali menyatakan bahwa posisi negaranya mewakili Albania, Lithuania, dan bekas Republik Yugoslav Makedonia.[21]

Suara[22] Jumlah Negara
Mendukung 128 Afganistan, Afrika Selatan, Albania, Aljazair, Andorra, Angola, Arab Saudi, Armenia, Austria, Azerbaijan, Bahrain, Bangladesh, Barbados, Belanda, Belarus, Belgia, Belize, Bolivia, Botswana, Brasil, Britania Raya, Brunei, Bulgaria, Burkina Faso, Burundi, Chad, Cile, Denmark, Djibouti, Dominika, Ekuador, Eritrea, Estonia, Etiopia, Finlandia, Gabon, Gambia, Ghana, Grenada, Guinea, Guyana, India, Indonesia, Iran, Irak, Irlandia, Islandia, Italia, Jepang, Jerman, Kamboja, Kazakhstan, Kirgizstan, Komoro, Kosta Rika, Kuba, Kuwait, Laos, Lebanon, Liberia, Libya, Liechtenstein, Lithuania, Luksemburg, Madagaskar, Makedonia, Malaysia, Maladewa, Mali, Malta, Maroko, Mauritania, Mauritius, Mesir, Monako, Montenegro, Mozambik, Namibia, Nepal, Nikaragua, Niger, Nigeria, Norwegia, Oman, Pakistan, Pantai Gading, Papua Nugini, Prancis, Peru, Portugal, Qatar, Republik Kongo, Republik Korea, Republik Rakyat Demokratik Korea, Rusia, Saint Vincent dan Grenadines, Selandia Baru, Senegal, Serbia, Seychelles, Singapura, Siprus, Slowakia, Slovenia, Somalia, Spanyol, Sri Lanka, Sudan, Suriah, Suriname, Swedia, Swiss, Tajikistan, Tanjung Verde, Tanzania, Thailand, Tiongkok, Tunisia, Turki, Uni Emirat Arab, Uruguay, Uzbekistan, Venezuela, Vietnam, Yaman, Yordania, Yunani, dan Zimbabwe.
Menentang 9 Amerika Serikat, Guatemala, Honduras, Israel, Kepulauan Marshall, Mikronesia, Nauru, Palau, dan Togo.
Abstain 35 Antigua dan Barbuda, Argentina, Australia, Bahama, Benin, Bhutan, Bosnia dan Herzegovina, Filipina, Guinea Khatulistiwa, Fiji, Haiti, Hungaria, Jamaika, Kamerun, Kanada, Kepulauan Solomon, Kiribati, Kolombia, Kroasia, Latvia, Lesotho, Malawi, Meksiko, Panama, Paraguay, Polandia, Republik Ceko, Republik Dominika, Rumania, Rwanda, Sudan Selatan, Trinidad dan Tobago, Tuvalu, Uganda, dan Vanuatu.
Absen 21 El Salvador, Georgia, Guinea-Bissau, Kenya, Moldova, Mongolia, Myanmar, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia, Samoa, San Marino, Sao Tome dan Principe, Sierra Leone, Swaziland, Timor Leste, Tonga, Turkmenistan, Ukraina, dan Zambia.

Reaksi

sunting

Negara

sunting
  •   - Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak hasil ini tidak lama setelah diumumkan. Ia menyebut hasil ini "memalukan" dan berterima kasih kepada negara-negara yang mendukung "kebenaran" dengan tidak berpartisipasi dalam "parade keanehan." Ia menambahkan bahwa "Yerusalem adalah ibu kota kami. Selalu dan selamanya...Tetapi saya menghargai bahwa semakin banyak negara yang menolak berpartisipasi dalam parade keanehan ini. Jadi saya mengapresiasi sekaligus berterima kasih kembali kepada Presiden [AS] (Donald) Trump dan Duta Besar [Nikki] Haley atas dukungan kuatnya terhadap Israel dan dukungan kuatnya terhadap kebenaran." Menteri Pertahanan Avigdor Liberman mengingatkan rakyat Israel bahwa pemerintah mereka dari dulu tidak menyetujui pemungutan suara seperti ini, "Ingat bahwa ini PBB yang sama seperti pada masa duta besar pertama kita, Abba Eban. Ia pernah berkata: 'Apabila Aljazair mengajukan resolusi bahwa bumi itu datar dan Israel yang membuatnya datar, resolusi ini akan disahkan dengan 164 suara banding 13 dan 26 suara abstain'. Ini sudah biasa terjadi di PBB." Ia juga memuji AS sebagai "acuan moral yang bersinar di tengah kegelapan." Menteri Urusan Strategis dan Keamanan Publik Gilad Erdan mengatakan, "hubungan historis antara Israel dan Yerusalem lebih kuat daripada sidang apapun yang diselenggarakan 'Perserikatan Bangsa-Bangsa' — bangsa yang bersatu karena takut dan menolak mengakui kenyataan sederhana bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel dan bangsa Yahudi."
    • Di sisi lain, ketua oposisi Joint List dan anggota Knesset, Ayman Odeh, menyatakan bahwa pemungutan suara ini membuat Israel sadar: "Di dunia internasional, masih banyak orang yang percaya bahwa bangsa Palestina, layaknya bangsa-bangsa lain, berhak memiliki tempat di dunia ini dan hak menentukan nasib sendiri. Keputusan sebagian besar bangsa di dunia malam ini yang menentang pengumuman Trump, meski ditekan dan diancam, mengabaikan kebijakan diplomatik Trump dan Netanyahu dan merupakan pernyataan jelas masyarakat internasional yang mendukung perdamaian dan hak bangsa Palestina untuk mendirikan negara merdeka yang ibu kotanya terletak di Yerusalem Timur."[7]
  •   - Indonesia sedari awal menentang keras upaya Amerika Serikat menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Dubes Republik Indonesia untuk PBB, Dian Triansyah Djani mengatakan bahwa, "Pengakuan sepihak Amerika Serikat pada 6 Desember 2017 bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel dan akan pindahkannya Kedubes AS ke Yerusalem bertentangan dengan resolusi PBB dan hukum internasional serta harus segera ditolak seluruh negara di dunia yang cinta damai." Pernyataan tersebut disampaikan di depan 192 negara anggota PBB lainnya dalam Sidang Khusus Darurat Majelis Umum PBB mengenai "The Illegal Israel Actions in the Occupied East Jerusalem and the rest of the Occupied Palestinian People" yang diselenggarakan pada 21 Desember 2017.[23]

Noa Landau dari Haaretz menulis sambil mengutip pejabat diplomatik anonim bahwa Israel kecewa dengan negara-negara seperti India yang telah meningkatkan hubungan bilateral belakangan ini. "Israel sangat kecewa dengan negara-negara yang belakangan ini meningkatkan hubungan bilateralnya, khususnya negara-negara yang juga memiliki pandangan konservatif dengan pemerintahan Netanyahu. Misalnya, India – Perdana Menterinya, Narendra Modi, mengunjungi Israel pada bulan Juli, kunjungan yang berkesan karena banyak foto dirinya bersama Netanyahu berpelukan dan melambaikan tangan – mendukung resolusi ini dan bertolak belakang dengan posisi Israel dan Amerika Serikat."[7]

Fox News berupaya memberitakan kekecewaan Israel dan Amerika Serikat atas resolusi ini. Media ini mengutip pernyataan deputi Perdana Menteri Israel, Tzipi Hotovely, bahwa "Kami punya pesan yang sangat sangat sederhana: Jerusalem adalah ibu kota bangsa Yahudi selama 3.000 tahun dan ibu kota Israel selama 70 tahun." Media ini juga memberitakan bahwa Netanyahu memuji sikap Donald Trump.[24] Juga memberitakan langkah Guatemala yang juga akan membuka kedutaan besar untuk Israel di Yerusalem.[25] Sementara CNN memberitakan negara-negara yang akan tertekan akibat resolusi PBB ini. Afghanistan, Yordania, Pakistan, Kenya, Ethiopia, Suriah, Sudan Selatan, Republik Demokratik Kongo, Nigeria, dan Irak masuk dalam daftar penerima hibah terbanyak dari Amerika Serikat. Media ini mengutip kritikan pengamat terhadap Trump, Richard Gowan, bahwa "Menjadikan isu ini personal, seolah serangan langsung terhadap Presiden Trump, adalah strategi yang bodoh."[26]

Lain-lain

sunting

Dalam demonstrasi "Solidarity to Save Jerusalem" yang diadakan oleh pemerintahan Barisan Nasional di Malaysia, Presiden Association of NextGen Christians of Malaysia Joshua Hong menyatakan di Masjid Putra: "Kami di sini karena kami merasa keputusan Presiden Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel hanya berupa keputusan politik. Ia menambahkan bahwa keputusan ini juga menyakiti gereja Kristen dan Arab di Palestina, bukan hanya umat Islam. Bagi kami selaku umat Kristen, Yerusalem adalah kota perdamaian. Usai pengumuman tersebut, kami rasa tidak ada lagi perdamaian. Saya rasa ini tidak benar dan tidak adil. Kami percaya kita harus terus mendukung solusi perdamaian yang berkelanjutan bagi Palestina dan Israel alih-alih menyerahkan kepada satu negara untuk membuat deklarasi sepihak seperti itu." Ia mengklaim bahwa 50 anggota organisasinya turun ke jalan untuk mendukung rakyat Palestina.[2]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c https://timesofindia.indiatimes.com/india/at-un-128-countries-including-india-vote-to-reject-us-decision-on-jerusalem/articleshow/62199348.cms
  2. ^ a b c https://www.msn.com/en-my/news/national/christian-group-joins-jerusalem-rally/ar-BBH8CEH
  3. ^ a b "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-25. Diakses tanggal 2017-12-22. 
  4. ^ a b "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-22. Diakses tanggal 2017-12-22. 
  5. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-23. Diakses tanggal 2017-12-22. 
  6. ^ http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-42431095
  7. ^ a b c http://www.moneycontrol.com/news/trends/current-affairs-trends/israel-rejects-as-preposterous-vote-against-jerusalem-at-unga-2466997.html
  8. ^ Landler, Mark (December 20, 2017). "Trump Threatens to End American Aid: 'We're Watching Those Votes' at the U.N." – via NYTimes.com. 
  9. ^ Beaumont, Peter (December 21, 2017). "UN votes resoundingly to reject Trump's recognition of Jerusalem as capital" – via www.theguardian.com. 
  10. ^ News, A. B. C. (December 21, 2017). "UN votes 128-9 to condemn US Embassy move to Jerusalem". ABC News. 
  11. ^ Beaumont, Peter (December 20, 2017). "US will 'take names of those who vote to reject Jerusalem recognition'" – via www.theguardian.com. 
  12. ^ "PressTV-Muslims slam US threats ahead of UN vote on al-Quds". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-22. Diakses tanggal 2017-12-22. 
  13. ^ Press, Associated. "UPDATE: Iran calls UN vote on Israel 'global no' to US". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-22. Diakses tanggal 2017-12-22. 
  14. ^ a b http://www.dnaindia.com/world/report-un-resolution-rejects-trump-s-recognition-of-jerusalem-as-israel-s-capital-2569574
  15. ^ "Erdogan: Mr Trump, Turkey's democracy is not for sale". www.aljazeera.com. 
  16. ^ "Haley warns UN: US funding at risk over Jerusalem vote". December 21, 2017. 
  17. ^ "Netanyahu: UN is house of lies, Israel rejects expected vote on Jerusalem". 
  18. ^ a b http://www.macleans.ca/news/canada-to-abstain-from-un-vote-on-u-s-decision-to-move-embassy-to-jerusalem/
  19. ^ "Full text of UN resolution rejecting Jerusalem recognition". The Times of Israel. Jerusalem. December 21, 2017. Diakses tanggal December 21, 2017. 
  20. ^ a b c "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-24. Diakses tanggal 2017-12-22. 
  21. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p https://www.un.org/press/en/2017/ga11995.doc.htm
  22. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-07-14. Diakses tanggal 2017-12-22. 
  23. ^ Sikap Indonesia di Sidang PBB: Pengakuan AS Terhadap Yerusalem Harus Ditolak. dari situs Antara
  24. ^ Israel US Team Up to Block UN Vote on Jerusalem. dari situs Foxnews
  25. ^ Guatemala Says It Is Moving Embassy in Israel to Jerusalem. dari situs Foxnews
  26. ^ Which countries are most vulnerable to US pressure over UN Jerusalem vote?. dari situs CNN

Pranala luar

sunting