Parwati adalah puteri Kartikeyasingha dengan Ratu Shima, yang menjadi ratu penguasa kerajaan Kalingga Utara (Bhūmi Mātaram) dengan gelar Sri Maharani Parwati Tunggalpratiwi (Sanskerta: Śrī Mahārājñī Pārvatī Tuŋɡalpṛthivī) yang memerintah sekitar tahun 695-709 M, dan istri dari Suraghana (Rahyang Mandiminyak) yang menjadi raja di Kerajaan Galuh (702-709) M.

Biografi sunting

Sebelum Ratu Shima wafat pada 695 M, wilayah Kalingga dibagi dua untuk kedua anaknya, yakni Parwati dan Rakryan Narayana. Parwati, yang diperistri Rahyang Mandiminyak dari Kerajaan Galuh, menguasai Kalingga Utara (Bhūmi Mātaram). Sedangkan Kalingga Selatan (Bhūmi Sambhāra) diserahkan kepada Rakryan Narayana.[1]

Parwati memiliki putri bernama Sannaha dan cucu bernama Sanjaya, yang menikah dengan Sudiwara putri Rakryan Dewasingha yang tidak lain adalah putra Rakryan Narayana, dari pernikahan Sanjaya dengan Sudiwara Kalingga disatukan kembali menjadi Kerajaan Mataram. Perkawinan antara cicit Ratu Shima ini dikaruniai anak laki-laki bernama Rakai Panangkaran.

Prahara di Bhumi Mataram sunting

Parwati ratu Kalingga (Bhūmi Mātaram) yang beribukota di Pragawatipura, di sekitar Sungai Praga (Kali Progo) dan Sungai Elo (Kali Elo). Ketika Parwati mangkat, dia didharmakan di daerah barat ibukota Pragawatipura, tepatnya di tepi timur Sungai Luku Loh (Sanskerta: Luku Loh; bajak subur), diperkirakan Luku Loh nama kuno dari Sungai Luk Ulo. Pendharmaan itu disucikan oleh para keturunannya. Bertolak dari nama Parwati Tunggalpartiwi itulah pendharmaan itu kemudian disebut Kabhumian (Sanskerta: pṛthivī; ibu bumi) atau dalam bahasa Indonesia "Ibu Pertiwi" yang bermakna wilayah khusus Sang Bhumi.

Kabhumian tempat Sri Maharani Parwati Tunggalpartiwi didharmakan itulah yang menjadi pusat wilayah agung Mataram (Sanskerta: Mātaram; ibu) yang mendatangkan kemakmuran. Derah disekitar Kabhumian disebut Patanahan (kediamana sang bhumi). Kawasan berlimpah kesuburan yang membentang antara Sungai Luku Loh dan Sungai Praga yang sering dijadikan medan perang perebutan takhta diantara keturunan Parwati kemudian disebut dengan nama Bagelen (Sanskerta: Baga Loh; kandungan subur), dalam bahasa Sanskerta baga berarti kandungan dan loh berarti subur/melimpah Bagelen dapat diartikan sebagai warisan ibu yang subur.

Seiring mangkatnya Sang Bhumi (Parwati), terjadilah perebutan takhta. Rakryan Narayana yang telah diberi wilayah Kalingga Selatan (Bhūmi Sambhāra) ingin menguasai seluruh wilayah Kalingga. Dengan dukungan bala tentara dari Kerajaan Indraprahasta, Rakryan Narayana berhasil merebut takhta Kalingga Utara (Bhūmi Mātaram). Akhirnya ibukota Pragawatipura berhasil diduduki oleh Rakryan Narayana.

Sannaha (putri Parwati dengan Mandiminyak) dan Sanna (putra Mandiminyak dengan Pwahaci Rababu) meloloskan diri dari Pragawatipura. Mereka menyingkir ke kawasan antara Gunung Candrageni (Merapi) dan Gunung Candramuka (Merbabu). Atas pertolongan Maharesi Bhanu Mas, Sannaha yang sedang hamil tua diungsikan ke timur, ke kediaman Maharesi Bhanu Wangi, saudara kembar Maharesi Bhanu Mas. Di sana, di tanah timur itu, lahirlah putra Sanna dan Sannaha yang bernama Rakai Jambri alias Sanjaya, yang kelak mendirikan kerajaan Medang i Bhūmi Mātaram.[2]

Referensi sunting

  1. ^ Mamat Ruhimat. Transliterasi Teks dan Terjemahan Pustaka Rājya-Rājya i Bhumi Nusāntara. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga 2009.
  2. ^ Edi Suhardi Ekajati, Undang A. Darsa (1999). Jawa Barat, koleksi lima lembaga: Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Volume 5, T. E. Behrend. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9794613312.