Ratu Nzinga

Ratu Kerajaan Ndongo (1624–1663) dan Matamba (1631–1663), yang sekarang terletak di Angola utara

Ratu Nzinga merupakan salah satu tokoh Angola yang berjuang dalam pembebasan rakyat dari penjajahan Portugal. dia merupakan perempuan Afrika pertama yang tercatat pernah melakukan konfrontasi terhadap negara Eropa. Keahliannya dalam berdiplomasi, membuat taktik perang, dan kemauan yang keras menjadikannya tembok penghalang antara Portugal dengan ambisinya dalam menjadikan tanah Angola sebagai pusat budak. Perang gerilya yang digerakkan olehnya menginsipirasi Perang Kemerdekaan Angola.[1]

Masa Kepemimpinan sunting

Nzinga lahir di Luanda pada abad ke-16 dalam keluarga ningrat kerajaan Kerajaan Ndongo. Pada saat ia lahir, Portugal sedang menginvasi kerajaan-kerajaan Afrika, sehingga Nzinga melihat sendiri ayahnya yang berperang untuk mempertahankan kerajaan.[2] Karena kecerdasan dan keberaniannya, Nzinga menjadi anak favorit ayahnya. Oleh sebab itu, Nzinga akrab dengan pertemuan-pertemuan pemerintahan dan ikut berperang bersama ayahnya. Setelah ayahnya meninggal pada tahun 1617, saudaranya Nzinga Mbanji mengambil alih posisi raja. Sayangnya, kehebatan dan karisma raja yang baru tidak dapat menggantikan raja lama.

Seperti ayahnya, Nzinga Mbanji turu berperang melawan Portugal untuk mempertahankan wilayahnya, namun taktik yang digunakan tidak mampu membendung kekuatan lawah. Kekalahan perang yang dialami oleh kerajaan memaksa Nzinga Mbanji untuk mengirimkan saudarinya, Nzinga untuk ikut dalam negosiasi damai bersama Portugal. Pertemuan ini menjadi kali pertama Nzinga menunjukkan kekuatan diplomasinya. Dalam pertemuan tersebut, Nzinga tidak diberi kursi dengan tujuan untuk merendahkanya, namun Nzinga meminta pembantunya untuk membungkuk dan menjadi kursi baginya.[3] Kemampuan Nzinga dalam berdiskusi dan kemampuan berbahasanya diapresiasi oleh pihak lawan. Perjanjian damai dicapai dengan dihormatinya batas-batas Kerajaan Ndongo dan dibukanya kerajaan sebagai jalur perdagangan. Atas keinginan Pemerintah Portugal, Nzinga diminta untuk tinggal sementara waktu bersama dengan mereka. Hal ini yang membuatnya memutuskan untuk dibaptis dan menerima kekristenan.[4]

Hubungan damai di antara kedua pihak tidak berjalan baik. Pemegang jabatan yang baru tidak mengindahkan perjanjian yang telah dibangun sebelumnya. Nzinga Mbanji menyatakan perang kembali, namun kembali juga ia merasakan kekalahan. Atas alasan tersebut, Nzinga Mbanji mengasingkan diri dan ditemukan tidak bernyawa setelah beberapa waktu. Kematian Nzinga Mbanji membuat Nzinga naik tahta menjadi Ratu Kerajaan Ndongo. Segera setelah ia dkukuhkan, Nzinga segera menginvasi Kerajaan Martamba dan mendudukinya. Karena hal tersebut, Nzinga dikenal sebagai Ratu Ndongo dan Martamba.[5] Setelah menerima jabatan tersebut, ia terus melakukan peperangan terhadap Portugal untuk mempertahankan kedudukan dan wilayahnya.

Kekuatan Nzinga dalam berpolitik serta berperang membuat Portugal harus mencari cara lain untuk menundukkannya. Portugal mengirimkan berita bahwa Nzinga tidak cocok menjabat sebagai pemimpin karena ia seorang perempuan. Oleh karena itu, atas desakan Portugal, diangkat raja baru, yakni pemegang predikat Hari A Kiluanje dalam keluarga mereka. Dukungan politik Portugal yang besar dalam kerajaan membuat Nzinga terpaksa mengasingkan diri dan mencari cara lain. Nzinga kemudian beralih alinasi, yakni dengan Imbangala, kelompok perusuh di sekitar kerajaan-kerajaan Afrika. Dengan ikatan pernikahan, Nzinga menarik kekuatan militer Imbangala dan mengajarkan taktik dan ilmu sihir Imbangala pada para pengikutnya. Namun, hubungan sejarah Nzingan yang kosong dalam Imbangala membuat hubungan antara keduanya menjadi tidak stabil dan memburuk.[6] Karena hubungan yang dijalinnya tidak berhasil, Nzinga kembali ke Martamba. Hingga akhir 1640 ia membangun kerajaan Martamba hingga menjadi salah satu kerajaan terkuat di Afrika. Untuk mempertahankan kekuasaannya, ia mengembangkan wilayahnya ke daerah jajahan Portugal dengan menahan jalur perdagangan ke Martamba dan menyerang Hari A Kiluanje. Kekuasaan daerah Luanda kembali ke tangan Nzinga dan wilayah kekuasaannya bertambah besar.

Pada tahun 1630-an Nzinga menyadari kedatangan Belanda yang cukup intensif dari utara. Nzinga mengikat perjanjian terbuka dengan Belanda dan menyatakan aliansinya dengan Belanda. Pada tahun 1641, Nzinga menyatakan perang geriya terhadap Portugal selama 30 tahun. Pada tahun tersebut, atas bantuan Belanda, Nzinga memperoleh kebebasan politik dan komersial atas Portugal. Hingga tahun 1646, Nzinga mampu memperluas wilayah di daerah tinggian di barat hingga pesisir pantai timur. Bantuan yang ia terima dari Belanda membuatnya menjadi semakin kaya dan berpengaruh.[7]

Kekuatan tersebut tidak sepenuhnya dimiliki oleh Nzinga. Setelah Belanda lepas pada tahun 1648, Portugal berusaha mengklaim kembali daerah jajahan mereka. Untuk menghindari kerusakan yang lebih jauh, pada tahun 1650-an Nzinga dan Portugal menandatangi suatu traktat yang berisi pendudukan Protugal di barat Martamba, pengiriman buruh tahunan, dan bantuan militer pada Portugal bila dibutuhkan. Tidak ada yang mengetahui apakah yang dilakukan Nzinga merupakan salah satu taktik politiknya atau bukan, namun Nzinga kembali melakukan praktik keimanannya. Salah satu praktik yang dilakukan oleh Nzinga adalah dengan pembaptisan besar-besaran yang dilakukan pada keluarganya. Sebagai gantinya, ia mendapatkan kepercayaan dari para pedangang dan [[misionaris Portugal yang tinggal di wilayahnya.[8]

Nzinga meninggal pada 17 Desember 1663 sebagai Katolik di wilayahnya. Ia meminta untuk dimakamkan dengan cara katolik dan dengan itu berakhir pula kepemimpinannya.[9]

Referensi sunting

  1. ^ Snethen, Jessica (2009-06-16). "Queen Nzinga (1583-1663)" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-08. 
  2. ^ Masioni, Pat; Serbin, Sylvia; Joubeaud, Edouard; Balducci, Adrianna (2014). Njinga Mbandi: The Queen of Ndongo and Matamba. UNESDOC Digital Library. hlm. 20. ISBN 978-92-3-200026-2. 
  3. ^ Smith, Bonnie G. (2008). The Oxford Encyclopedia of Women in World History. Oxford University Press. hlm. 346–347. 
  4. ^ Masioni, Pat; Serbin, Sylvia; Joubeaud, Edouard; Balducci, Adrianna (2014). Njinga Mbandi: The Queen of Ndongo and Matamba. UNESDOC Digital Library. hlm. 34. ISBN 978-92-3-200026-2.
  5. ^ Masioni, Pat; Serbin, Sylvia; Joubeaud, Edouard; Balducci, Adrianna (2014). Njinga Mbandi: The Queen of Ndongo and Matamba. UNESDOC Digital Library. hlm. 36. ISBN 978-92-3-200026-2.
  6. ^ Miller, Joseph C. (1975). The Journal of African History. Cambridge University Press. hlm. 207–209. 
  7. ^ Miller, Joseph C. (1975). The Journal of African History. Cambridge University Press. hlm. 211–212.
  8. ^ Miller, Joseph C. (1975). The Journal of African History. Cambridge University Press. hlm. 214.
  9. ^ Masioni, Pat; Serbin, Sylvia; Joubeaud, Edouard; Balducci, Adrianna (2014). Njinga Mbandi: The Queen of Ndongo and Matamba. UNESDOC Digital Library. hlm. 38. ISBN 978-92-3-200026-2.