Pulaka, Cyrtosperma merkusii, atau talas rawa, adalah tanaman umbi-umbian yang tumbuh di Tuvalu, sekaligus salah satu sumber karbohidrat terpenting bagi penduduk negara itu.[1][2] Tanaman rawa ini memiliki kemiripan dengan talas,[3] tapi daunnya lebih besar dan umbinya lebih kasar.[4] Tanaman yang sama dikenal sebagai pulaka di Niue dan Tokelau, babai di Kiribati, purakadi Kepulauan Cook, pula’a di Samoa, via kan di Fiji, simiden di Chuuk, dan navia di Vanuatu.[5]

Cyrtosperma merkusii/ Talas Rawa

Pulaka harus dimasak selama beberapa jam untuk mengurangi racun yang terkandung dalam umbinya, tapi kaya dengan nutrisi, terutama kalsium.[6] Pulaka adalah bagian penting dalam tradisi memasak di Tuvalu. Namun, kini keberadaannya terancam oleh naiknya permukaan air laut dan makin maraknya konsumsi makanan pokok impor yang popularitasnya sedang naik daun.

Penanaman sunting

Tanaman ini tumbuh di lubang-lubang yang digali di atol batu kapur[7] dan dipupuk dengan campuran berbagai daun dari tanaman lain.[8] Pulaka mendapatkan air untuk menyokong pertumbuhannya melalui jaringan akar yang mengambil dari cekungan air tawar yang terletak beberapa meter di bawah atol.[9] Atas alasan ini pula keberadaan pulaka terancam oleh kenaikan permukaan laut yang merupakan dampak dari pemanasan global: tanaman ini tidak dapat tumbuh di lingkungan dengan kadar garam tinggi seperti saat air laut memenuhi lubang-lubang atol:[7] air laut membuat akarnya membusuk, daun layu dan menguning, hingga menyebabkan tanaman tidak berkembang.[6] Masuknya air laut ke habitat pulaka akhir-akhirnya menjadi lebih sering dikarenakan gelombang pasang menjadi lebih tinggi dan lebih sering membanjiri pulau.[8] Dalam rangka menghadapi permasalahan masuknya air laut ini, sebagian penduduk mulai melapisi bagian samping dan bawah lubang dengan semen.[7]

Persiapan dan Pengawetan sunting

Pulaka membentuk jumlah yang besar dari diet atau gaya makan tradisional masyarakat Tuvalu; biasanya ditemani dengan ikan sebagai lauk.[10] Disebabkan umbi yang belum dimasak sangat beracun, pulaka pasti dan selalu dimasak, biasanya diletakkan dalam lubang yang digali dan di dalamnya terdapat batu yang sudah dipanaskan, yang didkenal sebagai oven bumi. Banyak resep yang menggunakan santan kental atau tuak nira ("toddy"), atau keduanya. Di Niutao, santan ("lolo") dituangkan di atas pulaka kocok, untuk membuat hidangan yang disebut tulolo. Hidangan serupa di Nukufetau, dengan umbi yang dibelah dua, disebut "tulolo pulaka"; ada pula fakapapa, yakni umbi yang dipukul. Kemudian di semua pulau terdapat fekei, yaitu pulaka parut (biasanya diparut oleh kaum perempuan) yang dibungkus dengan daun pulaka, lalu dikukus dan dicampur santan.[10]

Pengawetan makanan di Tuvalu agak susah karena cuacanya yang panas. Pulaka umumnya diawetkan dengan cara ditimbun di dalam tanah, dan dapat dibiarkan begitu saja selama tiga bulan. Para juru masak mengambil umbi pulaka panggang dan mengirisnya untuk dijemur di bawah sinar matahari; setelah dijemur selama enam hari, pulaka valuvalu atau irisan kering akan disimpan dalam batok kelapa, kemudian digantung dan dibiarkan hingga selama tujuh tahun. Pulaka kering itu dapat dimasak dengan santan dan air untuk membuat masakan yang dikenal sebagai likoliko. Di Nukufetao, puatolo adalah masakan yang dibuat dari parutan pulaka dan tuak nira, dibakar dalam oven bumi; ketika dijemur dan kering, akan tahan hingga tiga bulan lamanya.[10]

Arti Penting sunting

Lubang digali dan dirawat oleh keluarga masing-masing selama beberapa generasi dan memiliki arti penting baik secara perseorangan maupun budaya: "Kepemilikan dan penanaman lubang pulaka adalah bagian penting dari identitas keluarga, kebanggaan budaya dan untuk bertahan hidup. Masuknya air laut ke lubang pulaka mengancam masa depan masyarakat Tuvalu."[9] Selain itu, rahasia dalam pemanenan umumnya diturunkan dari bapak ke anak laki-laki, dan ketika bapak mengajari anak laki-lakinya cara menanam pulaka, dia sedang "mempraktikkan bagaimana cara hidup sebagai seorang laki-laki."[6]

Selain kenaikan permukaan air laut, "perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan" juga mengancam keberadaan tanaman ini,[3] proses yang sudah terjadi setidaknya pada dan pasca Perang Dunia II, ketika pasukan Amerika Serikat yang menduduki Tuvalu menyuplai penduduk kepulauan ini dengan pelbagai makanan impor, dan banyak lubang tidak lagi dijaga atau dirawat.[11] Makanan impor kebanyakan mengandung kadar gula yang tinggi, hal ini menyebabkan kenaikan kasus diabetes dan sakit gigi.[12]

Referensi sunting

  1. ^ Koch, Gerd (1990) [1983]. The material culture of Tuvalu. Institute of Pacific Studies, University of the South Pacific. hlm. 46. Diakses tanggal 12 May 2010. 
  2. ^ Randy Thaman, Feagaiga Penivao, Faoliu Teakau, Semese Alefaio, Lamese Saamu, Moe Saitala, Mataio Tekinene and Mile Fonua (2017). "Report on the 2016 Funafuti Community-Based Ridge-To-Reef (R2R)" (PDF). Rapid Biodiversity Assessment of the Conservation Status of Biodiversity and Ecosystem Services (BES) In Tuvalu. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-05-25. Diakses tanggal 25 May 2019. 
  3. ^ a b "Tuvalu could lose root crop". Radio New Zealand. 17 September 2008. Diakses tanggal 10 May 2010. 
  4. ^ "Leaflet No. 1 - Revised 1992 - Taro". Food and Agriculture Organization. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-08-28. Diakses tanggal 10 May 2010. 
  5. ^ "Pacific Food Security Tookit Module 4 - Pacific Root Crops" (PDF). FAO. 
  6. ^ a b c Gorišek, Saša (April 2010). "Tuvalu Food Security" (PDF). United Nations. Diakses tanggal 12 May 2010. 
  7. ^ a b c Knox, Angie (28 August 2002). "Sinking feeling in Tuvalu". BBC News. Diakses tanggal 10 May 2010. 
  8. ^ a b Corlett, David (27 November 2008). "Tuvalunacy, or the real thing?". Inside. Diakses tanggal 12 May 2010. 
  9. ^ a b Laban, Winnie (October 1991). "The Plight of the Pacific". Multinational Monitor. 12 (10). 
  10. ^ a b c Koch, Gerd (1990) [1983]. The material culture of Tuvalu. Institute of Pacific Studies, University of the South Pacific. hlm. 73–85. Diakses tanggal 12 May 2010. 
  11. ^ Telavi, Melei (1983). "Tuvalu - A History". Institute of Pacific Studies and Extension Services, University of the South Pacific/Tuvalu Ministry of Social Services. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-04-18. Diakses tanggal 10 May 2010. 
  12. ^ Judd, Terri (15 May 2004). "Sailing the South Seas". The Independent. Diakses tanggal 12 May 2010. [pranala nonaktif permanen]