Prasasti Guntur adalah salah satu prasasti tembaga yang berasal dari masa kerajaan Mataram Kuno pada masa pemerintahan raja Balitung yang berangka tahun 829 Śaka (907 M). Prasasti ini berasal dari daerah Wonosobo, Jawa Tengah dan telah dialihaksara pertama oleh K.F. Holle (VBG 39, 1880), lalu J.L.A Brandes (TBG 32, 1889)[1] dengan nomor register JTG829b pada bukunya, Oud Java Oorkonden.[2] Saat ini, prasasti disimpan di Wereldmuseum, Rotterdam.

Prasasti ini bercerita tentang sengketa utang-piutang antara Pu Tabwel, penduduk desa Guntur dengan Sang Dharma, penduduk desa Wurakum.[3] Sang Dharma menagih utang kepada Pu Tabwel, sedangkan yang berutang adalah Si Campa, istri Pu Tabwel yang sudah meninggal sekaligus adik dari Sang Dharma. Ternyata Si Campa berutang kepada kakaknya tanpa memberitahu Pu Tabwel sehingga dia menolak untuk membayar utang. Keputusan peradilan memenangkan Pu Tabwel karena beberapa alasan. Berdasarkan hukum yang berlaku, jika istri berutang tanpa diketahui suami maka pembayarannya tidak dibebankan kepada suami. Apalagi jika mereka berdua tidak memiliki anak. Keputusan ini diambil dengan disaksikan dari perwakilan desa Pinapan dan tiga desa sekitarnya. Pengadilan memberikan Pu Tabwel surat jayapattra agar perkara ini tidak akan diungkit kembali oleh keturunan kedua belah pihak sampai akhir zaman.[butuh rujukan]

Alih Aksara sunting

Sisi Depan sunting

Sisi belakang sunting

Terjemahan sunting

Selamat tahun 829 Śaka yang telah berlalu, bulan Sravana, tanggal 12, ma,po, bu, pada saat itu, Pu Tabwel, penduduk desa Guntur, diperiksa oleh Samgat Pinapan Pu Gawul dan istrinya yang bernama Pu Gallam. Karena dia ditagih utang oleh Sang Dharma, penduduk dari desa Wurakuṅ. Tetapi Pu Tabwel tidak mau membayar, karena yang berutang ialah almarhumah istrinya (si Campa), di luar pengetahuannya. Istrinya itu, yang bernama Si Campa, masih saudara Sang Dharma. Tidak ada anak dari si Campa dan Pu Tabwel. Apalagi tidak seorang pun yang tahu tentang utang tersebut. Perkara ini dikirimkan ke Samgat Pinapan. Tapi Sang Dharma tidak hadir dalam persidangan. Itulah alasannya dikalahkan oleh Samgat Pinapan. Lagi pula berdasarkan hukum yang berlaku utang yang dibuat istri di luar pengetahuan suami, tidak menjadi tanggung jawab suami, lebih-lebih kalau suami-istri itu tidak beranak. Keputusan itu diambil dengan disaksikan oleh wakil-wakil dari desa Pinapan dan tiga desa di sekitarnya (ada Pembantu Rakryan Putu, Pu Rakak dari desa Tamkil, Pembantu Rakryan Hames, Pu Kirat dari desa Timbun Besi, dan Pu Sunggama, istri tua Samgat Pinapan dari desa Guntur). Jelaslah benar tidaknya. Orang yang menulis lempeng ini adalah dyah Rangal. Tujuan dari lempeng kemenangan ini agar tidak ada yang membicarakan masalah ini ke depannya dan selamanya. (supaya masalah tersebut tidak diungkit-ungkit lagi oleh anak cucu kedua belah pihak sampai ke akhir zaman)[butuh rujukan]

Referensi sunting

  1. ^ "https://twitter.com/motherlander/status/1550378615304769536". Twitter. Diakses tanggal 2022-07-24.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)
  2. ^ Aji Nugroho, Listyanto; Wuryani, Emy. "Kebijakan Penguasa Jawa Kuno: Balitung dalam Sebuah Kajian Epigrafi". Jurnal Cakrawala (ISSN 1693 6248). 
  3. ^ "Prasasti Guntur tahun 907 dan Penghargaan pada Yurisprudensi". Business Law. Diakses tanggal 2022-07-24. 

Daftar pustaka sunting

  • Tugas Workshop Paleografi dan Epigrafi Lombard, Denys.1990. Nusa Jawa Silang Budaya Bagian III : Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Terjemahan oleh Winarsih Partaningrat Arifin dkk. 2000. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Boechari, 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.