Pocut Meurah Intan
Pocut Meurah Intan adalah puteri keturunan keluarga bangsawan dari kalangan kesultanan Aceh. Ayahnya Keujruen Biheue. Pocut Meurah merupakan nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan keluarga sultan Aceh. Ia juga biasa dipanggil dengan nama tempat kelahirannya. Biheue adalah sebuah kenegerian atau ke-uleebalangan yang pada masa jaya Kesultanan Aceh berada di bawah Wilayah Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir abad ke-19, kenegerian itu menjadi bagian wilayah XXII mukim: Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale dan Laweueng.
Keluarga
suntingSuami Pocut Meurah Intan bernama Tuanku Abdul Majid, Putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Alam Syah. Tuanku Abdul Majid adalah salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau berdamai dengan Belanda. Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang Belanda, ia disebut oleh beberapa penulis Belanda sebagai perompak laut, pengganggu keamanan bagi kapal-kapal yang lewat di perairan wilayahnya, sebutan ini berkaitan dengan profesi Tuanku Abdul Majid sebagai pejabat kesultanan yang ditugaskan untuk mengutip bea cukai di pelabuhan Kuala Batee.
Keturunan
suntingDari perkawinan dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Meurah Intan memperoleh tiga orang putera, yaitu
- Tuanku Muhammad yang biasa dipanggil dengan nama Tuanku Muharnmad Batee,
- Tuanku Budiman, dan
- Tuanku Nurdin.
Perlawanan terhadap Belanda
suntingDitakuti Belanda
suntingawal tahun 1900, Pocut tepergok seorang diri dengan 18 pasukan marsose di jalanan kawasan Padang Tiji, Pidie. Dia tak lari, bermodal pedang dan rencongnya, malah nekat menyerang anggota patroli yang dipimpin Letnan TJ Veltman. “Kalau sudah begini, biarlah saya mati,” teriak Pocut Di Biheue. (Ismail Sofyan dkk dalam Prominet Women in The Glimpse of History, 1994)
Pocut mengayunkan pedangnya hingga mengenai beberapa marsose. Ia sendiri kena sabetan pedang di kepada dan bahunya, urat keningnya juga putus. Tubuhnya rebah bersimbah darah. Pocut Di Biheue sekarat.
Seorang marsose meminta izin pada komandannya, Veltman untuk menembak mati Pocut Meurah Intan. Ia ingin mengakhiri penderitaan perempuan tersebut. Tapi Veltman membentak bawahannya itu. Ia membungkuk mengulurkan tangannya, mencoba membantu, namun Pocut meludahi muka Veltman. “Jangan kau pegang aku kafir celaka,” hardiknya.
Mendapat perlakuan seperti itu, Veltman dan pasukannya meninggalkan Pocut Di Biheue yang berlumuran darah seorang diri. Ia beranggapan biarlah perempuan itu meninggal sendiri di hadapan bangsanya.
Namun anggapan Veltman meleset. Ketika ia dan pasukannya kembali patroli dari Sigli ke Padang Tiji beberapa minggu kemudian, ia mendengar Pocut bukan saja masih hidup, tapi berencana menyerang kembali pasukan Belanda bersama para pejuang di wilayah Biheue. Veltman kemudian menuju kediaman Pocut Di Biheue bersama pasukannya, tapi kali ini bukan untuk menyerang. Ia membawa seorang dokter untuk mengobati Pocut. Namun, beliau tetap menolak diobati. Ia tak mau tubuhnya dipegang kafir Belanda. “Lebih baik aku mati dari pada disentuh kafir,” katanya.
Berita itu kemudian sampai kepada Kolonel Scheuer, seorang opsir yang pernah Berjaya merebut Puri Cakra Negara di Lombok. Ia khusus datang dari Lombok (Nusa Tenggara Barat) ke Aceh untuk bertemu dan memberi penghormatan kepada Pocut Di Biheue.
Sampai di Aceh, Berangkatlan Scheuer bersama Veltman dan pasukan pengawalnya ke kediaman Pocut Di Biheue. Scheuer berdiri di sisi Pocut Di Biheue yang masih terbaring sakit. Ia mengangkat tabik, menghormati Pocut.
Zentgraaff dalam Atjeh (1938) menulis: “Scheuer mengambil sikap bagai seorang prajurit. Ia mengangkat tabik tanda hormat, dengan meletakkan ujung jari-jarinya di topi petnya. Kemudian berkata pada Veltman yang paham bahasa Aceh, katakan bahwa saya sangat kagum padanya.”
Veltman pun menterjemahkan apa yang dikatakan Scheuer terhadap Pocut. Perempuan itu tersenyum. “Kaphe ini boleh juga,” katanya.
Hari-hari selanjutnya Pocut Di Biheue terus diawasi. Belanda tak ingin perempuan pemberani itu kembali menggerakkan perlawanan. Setelah sembuh, ia dipenjara di Kutaraja (Banda Aceh) bersama seorang putranya, Tuwanku Budiman. Sementara putranya yang satu lagi Tuwanku Nurdin terus menggerakkan perang gerilya.
Untuk meredakan perlawanan rakyat, serta menghilangkan pengaruhnya, Pocut Di Biheue kemudian diasingkan ke Blora, Jawa Tengah melalui Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda Nomor 24 tanggal 6 Mei 1905.
Srikandi Aceh itu meninggal di tempat pengasingannya pada 19 September 1937. Belanda menyebut Pocut Di Biheue sebagai heldhaftig, perempuan yang gagah berani.[1]
Tokoh anti-Belanda
suntingDalam catatan Belanda, Pocut Meurah Intan termasuk tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang paling anti terhadap Belanda. Hal ini di sebutkan dalam laporan colonial "Kolonial Verslag tahun 1905", bahwa hingga awal tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalan Pocut Meurah Intan. Semangat yang teguh anti Belanda itulah yang kemudian diwariskannya pada putera-puteranya sehingga merekapun ikut terlibat dalam kancah peperangan bersama-sama ibunya dan pejuang-pejuang Aceh lainnya.
Berperang bersama putera-puteranya
suntingSetelah berpisah dengan suaminya yang telah menyerah kepada Belanda Pocut Meurah Intan mengajak putera-puteranya untuk tetap berperang. Ketika pasukan Marsose menjelajahi wilayah XII mukim Pidie dan sekitarnya, dalam rangka pengejaran dan pelacakan terhadap para pejuang, Pocut Meurah Intan terpaksa melakukan perlawanan secara bergerilya. Dua di antara ketiga orang puteranya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, menjadi terkenal sebagai pemimpin utama dalam berbagai gerakan perlawanan terhadap Belanda. Mereka menjadi bagian dari orang-orang buronan dalam catatan pasukan Marsose.
Tertangkapnya Tuanku Muhammad Batee
suntingPada bulan Februari 1900, Tuanku Muhammad Batee tertangkap oleh satuan Marsose Belanda yang beroperasi di wilayah Tangse, Pidie. Pada tanggal 19 April 1900, karena dianggap berbahaya, Tuanku Muhammad Batee dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara, dengan dasar Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 25. pasal 47 R.R.
Tertangkapnya Pocut Meurah Intan
suntingPeningkatan intensitas patroli Belanda juga menyebabkan tertangkapnya Pocut Meurah Intan dan kedua puteranya oleh pasukan Marsose yang bermarkas di Padang Tiji. Namun, sebelum tertangkap ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak Belanda. la mengalami luka parah, dua tetakan di kepala, dua di bahu, satu urat keningnya putus, terbaring di tanah penuh dengan darah dan lumpur laksana setumpuk daging yang dicincang-cincang. Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi, keadaannya lemah akibat banyak kehilangan darah dan tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan, luka-lukanya telah berulat. Mulanya ia menolak untuk dirawat oleh pihak Belanda, akhirnya ia menerima juga bantuan itu. Penyembuhannya berjalan lama, ia menjadi pincang selama hidupnya.
Dimasukkan ke dalam penjara
suntingPocut Meurah Intan sembuh dari sakitnya; bersama seorang puteranya, Tuanku Budiman, ia dimasukkan ke dalam penjara di Kutaraja. Sementara itu, Tuanku Nurdin, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kalee. Pada tanggal 18 Februari 1905, Belanda berhasil menangkap Tuanku Nurdin di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju, yang sebelumnya Belanda telah menangkap istri dari Tuanku Nurdin pada bulan Desember 1904, dengan harapan agar suami mau menyerah. Tuanku Nurdin tidak melakukan hal tersebut.
Setelah Tuanku Nurdin di tahan bersama ibunya, Pocut Meurah Intan dan saudaranya Tuanku Budiman dan juga seorang keluarga sultan yang bernama Tuanku Ibrahim di buang ke Blora di Pulau Jawa berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, tanggal 6 Mei 1905, No. 24. Pocut Meurah Intan berpulang ke-rakhmatullah pada tanggal 19 September 1937 di Blora, Jawa Tengah dan dimakamkan di sana.
Sumber
suntingLihat pula
sunting- ^ "Kisah Pocut Meurah Intan, Pejuang Perempuan Aceh yang Dihormati Belanda - Acehkini.ID". 2023-08-10. Diakses tanggal 2023-10-04.